Tuesday, December 15, 2015

La Famille Bélier - Mengusik Sisi Perasa

Rasa-rasanya, saya punya sensitivitas berlebihan. Saya menangis ketika yang lain merasa biasa. Saya tersentuh, hanya dengan mendengar kata-kata sederhana. Ah, mungkin saya memang sebegini melankolisnya.

Tuesday, December 8, 2015

KACF 2015: Tentang Bioskop Keliling Day #2, Sesi 1 (15:00)

Hari minggu (29/11/2015), saya jalan-jalan ke Kuningan City, Jakarta, demi menengok acara Kopi Keliling Arts & Coffee Festival (KACF) 2015. Beragam sub acara yang menyenangkan mata, tersuguh rapi di tiga lantai berbeda Kuningan City. Mulai dari pameran instalasi seni, pojok kopi, hingga deretan muda-mudi jago ilustrasi yang menjajakan produknya dan berharap dibeli. Tak tahan akan godaan, beberapa lembar rupiah saya keluarkan untuk sekadar mengoleksi pin atau pun art print yang nyenengin. 

Tuesday, December 1, 2015

Merindu Syukur, Mengucap Amin

Satu kata ketika saya rehat mengisi konten di blog ini selama tepat dua bulan: RINDU.

Saya rindu menyusun kata membentuk kalimat demi menyusun satu tulisan yang padu.
Saya rindu mencurahkan pikiran, pendapat, atau apapun itu namanya yang maju mundur di dalam tempurung.
Saya rindu saja. Hanya itu.

Friday, September 25, 2015

Antologi Rasa > Mengaduk Rasa, Menitikkan Air Mata

Telah lama bersarang di rak buku saya, akhirnya Antologi Rasa karya Ika Natassa bisa juga saya lahap dalam satu hari saja. Sosok Keara, Harris, dan Ruly yang seolah sempurna fisik maupun materi-nya ternyata tak membuat mereka luput dari kejaran teror perasaan. Membuat saya yang tadinya enggan untuk menamatkan semua babnya kurang dari 24 jam, toh akhirnya melanggar dengan sendirinya.

Tuesday, September 22, 2015

Dwilogi "SAMAN - LARUNG" Ayu Utami - Dipaksa Menalar dan Merasa

Lagi-lagi, buku yang selesai dibaca setelah hanya terpajang selama sekian bulan di dalam rak buku saya: Dwilogi Saman dan Larung oleh Ayu Utami.

Usai menamatkan trilogi Parasit Lajang (Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuan Eks Parasit Lajang) yang berasal dari penulis yang sama, saya akhirnya memulai babak baru perjalanan membaca saya dengan dwilogi ini. 

Monday, September 21, 2015

Human Bestiality in one of Eka Kurniawan's novels - Lelaki Harimau (Man Tiger)

SYNOPSIS

As he grows up to be a mature guy and leaving his adolescent, a man named Margio feels a tiger live inside his body. Facing the difficulties on his family-life has already been his 'routine' everyday, starting from the very beginning of his life. A father with a very bad attitude to be shown in front of his family, and the depression of her mother owing to the craziness of her husband.

Monday, September 14, 2015

Familienfieber (Family Fever); 2014 - Pelik dan Keluarga

Minggu, 13 September 2015

Hari ini, untuk pertama kalinya, saya menonton film di festival sama mama.

Beberapa hari sebelumnya, ketika saya sedang melihat linimasa Twitter saya, munculah sebuah akun membawa kabar gembira. Katanya, akan ada festival sinema Jerman. Langsung saja saya klik linknya, mengecek film-filmnya, berikut jadwalnya, dan saya langsung mengajak mama. Ia menjawab ia, lantas saya jadi bersukaria.

Hari Minggu, pukul 17.00, bertempat di Goethe-Institut, saya dan mama menonton film berjudul Familienfieber (Family Fever).

Tuesday, September 1, 2015

Selamat Menemaniku, Bulan Sembilan.

Dan saat ini pun tiba.
Saat, ketika aku harus mengucapkan pisah pada satu kali tiga puluh satu hari lalu yang haru. Saat, ketika aku harus melambaikan tangan, berkata selamat datang pada bulan baru.

Kepada kamu bulan delapan yang aku lalui dengan banyak kegiatan, yang menyumbang padaku banyak kejadian, dan yang membuatku agak lari dari tujuan,

Thursday, July 30, 2015

Nikmatilah Lara

Obrolan senja itu akhirnya dibuka dengan sepasang cangkir kopi hangat yang tiba bersamaan dengan menyalanya sebatang rokok di kepit bibir Kemina.

"Jadi kapan kamu akan meninggalkan Bali?"

"Secepatnya. Setelah semua urusan keberangkatanku ke sana diurus, tentu aku akan langsung memulai hidupku yang baru."

"Dan melupakan aku, bukan?"

Wednesday, July 29, 2015

Ya Kalau Gagal, Memangnya Kenapa?

Gagal itu biasa. Tapi, bisa bangkit dari kegagalan itu yang enggak biasa.

Ini rahasia umum.
Yang bukan rahasia umum adalah, setiap kegagalan itu pasti punya suatu maksud di baliknya. Maksud yang, bisa diterima dengan lapang dada, atau ditolak dengan perasaan marah. 
Saya baru saja mengalami kegagalan yang entah ke sekian kalinya dalam hidup saya. Minggu lalu, tepat di satu hari sebelum Rabu, saya kembali bertemu dengan kegagalan baru. Saya dinyatakan tidak lulus dalam seleksi sebuah beasiswa untuk belajar bahasa Italia selama tiga bulan di Eropa situ. 

Sunday, July 26, 2015

Ketika Saya Mengeluh dan Menggerutu.

Bersikap dan berpandangan positif setiap saat itu sulit. Saya mengakuinya.

Menilai banyak hal dari sisi yang baik, tidak cepat mengeluh melihat sesuatu yang rumit, serta memandang sekeliling dengan senyum yang sama sekali tak irit, semua itu sulit. Saya (lagi-lagi) mengakuinya.

Thursday, July 9, 2015

Abang Angkot Juga Manusia, Kok!

Tidak ada manusia yang tidak punya hati nurani karena pada dasarnya, manusia diciptakan satu paket dengan akal budi dan nurani.
Setidaknya, demikian yang saya pelajari di mata pelajaran agama saat bangku sekolah.

Lantas saya berpikir, kalau memang manusia punya hati nurani, mengapa banyak terjadi kejahatan bahkan ada yang hingga menghilangkan nyawa? Saya memang masih terbingung-bingung, namun kemudian, akal saya mencoba berkesimpulan.

Thursday, July 2, 2015

SAIA - Djenar Maesa Ayu: Gelap Gemerlap, Muram, Kelam.

Khas Djenar. Sangat khas Djenar.

SAIA adalah buku Djenar yang keempat yang saya baca. Ceritanya masih berkisar wanita, pria, gairah, narkoba, dan rumah tangga. Semuanya, tidak ada yang bahagia. Meski begitu, saya cukup suka.

Monday, June 29, 2015

Pengakuan Eks Parasit Lajang: Sebuah Pengakuan dan Pencatatan Kesadaran

Berhasil menyelesaikan trilogi Parasit Lajang sepertinya adalah salah satu pencapaian kecil dalam riwayat hobi membaca novel saya.

Yeay!

Trilogi ini mampu mengajak saya berkenalan dengan pikiran-gagasan seorang Ayu Utami. Pun mengenalkan saya pada gaya menulisnya yang halus, namun tegas dan jelas, serta pada perjalanan hidupnya yang (bagi saya) terkesan rumit.

Bagaimana bisa?

Friday, June 19, 2015

Balada Cinta Ramadhan (Kompilasi Kisah Kamu) ♥ (2)

Balada Cinta Ramadhan is back!

Back then to past few years, waktu tahun 2011 dan 2012, atau pas jaman SMA, saya suka sekali mendengarkan radio Prambors saat bulan Ramadhan. Kenapa? Soalnya, di bulan-bulan puasa, Prambors selalu menghadirkan kisah-kisah pendek yang kadang sedih, romantis, kocak, atau bahkan horor.

Untuk lebih jelasnya, coba cek tulisan (coretan) singkat saya yang ini.

Saat itu, youtube belum sepopuler sekarang. Teknik unduh-mengunduh dokumen suara pun saya rasa belum terlalu canggih. Jadi, saya selalu menyisihkan waktu untuk terus mantengin radio Prambors di jam-jam tertentu untuk mendengarkan Balada Cinta Ramadhan. Saya bisa sampai sedih banget kalau-kalau ketinggalan satu episode aja. 

Wednesday, May 27, 2015

Cerita Cinta Enrico: Tak Melulu Harus Ikut 'Yang Seharusnya'

Sesuai komitmen saya di tulisan sebelumnya (Si Parasit Lajang: Membaca Perspektif Pernikahan Yang Lain) bahwa saya akan melahap Cerita Cinta Enrico segera setelah saya kenyang "Si Parasit Lajang", maka di sinilah saya sekarang, mencoba menuangkan hasil bacaan saya dalam bentuk ulasan yang, mungkin tak terlalu mendalam, tapi punya cukup gambaran. 

Seperti Apa Kisah 'Cerita Cinta Enrico'?


Friday, May 22, 2015

Cerita Peniti

Saya punya dua kemeja yang bilamana saya pakai, saya membutuhkan satu peniti untuk disematkan di antara kancing kedua dan kancing ketiga (kancing pertama tentu saja yang terletak pada kerah dan biasanya tak dikancingkan). Hal ini saya lakukan karena kancing kedua terlalu berdekatan dengan kerah sehingga membuat saya tidak begitu merasa nyaman. Tapi kalau seandainya saya melepas kancing kedua, maka nanti saya akan dibilang pamer dada. Makanya, saya membutuhkan peniti untuk disematkan di antara kancing kedua dan kancing ketiga.

Persoalan peniti ini sebenarnya sederhana saja. Dulu, berminggu-minggu yang lalu, saya punya dua buah peniti yang ukurannya sedang-sedang saja. Tidak terlalu besar, tapi tidak terlalu kecil juga. Peniti ini sangat akrab dengan saya, apalagi ketika saya sedang ingin menggunakan salah satu di antara dua kemeja yang butuh peniti. Sayangnya, sekali waktu peniti saya hilang karena kelalaian saya yang lupa meletakkannya entah di mana. Saya mencari peniti itu ke kamar mandi, ke lemari, ke meja belajar, meja rias, tapi tak juga saya temukan. Saya kemudian teringat bahwa saya masih punya satu buah lagi peniti. Ya sudah, saya ikhlaskan saja kehilangan satu peniti.

Tak lama berselang, lagi-lagi karena kelalaian saya, peniti kedua pun turut lenyap. Seingat saya, saya sempat sematkan peniti itu di kemeja saya yang lain, tapi tak juga saya temukan lagi peniti kedua itu. Lagi, saya mencari peniti itu ke kamar mandi, ke lemari, ke meja belajar, meja rias, tapi tak juga saya temukan. Kali ini, saya harus pasrah kehilangan dua peniti.

Dalam beberapa minggu ke depan, pilihan saya hanya dua terkait dua kemeja itu: 1) tidak menggunakannya sama sekali karena tidak ada peniti, dan 2) tetap menggunakannya tanpa rasa nyaman karena harus dikancingkan di kancing kedua. Dan saya memlilih mengambil pilihan yang pertama. 

Alangkah senangnya saya ketika dua tiga hari lalu saya main ke daerah Kota, tepatnya di kawasan Pancoran Glodok, saya menemukan abang-abang penjaja barang rupa-rupa. Ada gelas, ada pisau, ada karet untuk kaki kursi dan meja, ada obeng, dan ada peniti! Saya langsung mengambil satu renceng peniti dan ternyata harganya dua ribu rupiah. Beli tiga renceng jadi lima ribu rupiah. Karena kebetulan uang saya di saku celana berupa uang lima ribuan, saya memutuskan untuk sekaligus membeli tiga.

Sejak hari itu sampai hari ini, akhirnya saya kembali menggunakan salah satu kemeja saya. Kemeja yang tak nyaman dengan mengatupkan kancing kedua, namun nyaman dengan peniti di antara kancing kedua dan ketiga. Malangnya nasib peniti itu, di malam hari ketika saya harus berganti baju, saya menjatuhkan peniti itu ke dalam jamban ketika hendak melepaskannya. Saya tak berusaha mengambilnya, karena peniti di kamar saya masih ada dua renceng plus satu renceng minus satu peniti. Mungkin akan berbeda urusannya jika saja peniti yang terjatuh di jamban itu adalah peniti terakhir yang ada pada saya.

Hari ini, kerinduan saya akan kemeja berpeniti satu lagi membuat saya memutuskan untuk menggunakannya kembali. Tentu, satu peniti lagi dari rencengan peniti yang sudah kehilangan satu penitinya, saya ambil untuk disematkan di antara kancing kedua dan kancing ketiga kemeja agar saya tidak dibilang pamer dada. Saya pun merasa gembira karena kemeja itu bisa saya gunakan lagi dan untungnya masih muat! Mengingat, sudah lama kemeja itu tak saya gunakan karena saya tak punya peniti.

Sepulang saya dari bepergian keluar dengan kemeja berpeniti, saya memutuskan untuk berhati-hati ketika hendak berganti pakaian lagi. Saya tak mau peniti saya yang ini harus masuk jamban lagi. Saya lepaskan dari kemeja dengan hati-hati dan saya selamatkan peniti ini untuk sampai di kamar dan kembali pada rencengannya lagi. Melihat dua renceng plus satu renceng minus satu peniti masih teronggok rapi, seharusnya saya tidak perlu khawatir jika peniti hari ini harus hilang dan masuk jamban lagi. Akan tetapi, peniti saya tetaplah peniti, yang saya selalu butuhkan jika ingin menggunakan dua kemeja itu tadi. Mau hanya dua biji atau sekarang sudah ada dua renceng plus satu renceng minus satu peniti, saya tetap butuh peniti. Dan layaknya orang membutuhkan, ke depan nanti seharusnya saya tidak lalai lagi dan tetap menjaga semua peniti yang saya miliki.

Thursday, May 21, 2015

Si Parasit Lajang: Membaca Perspektif Pernikahan Yang Lain

Saya ingin menikah. Tentu saja. Karena saya ingin punya anak dari suami yang sah. Tapi dengan keinginan saya yang seperti itu, bukan berarti saya tidak mengagumi karya Ayu Utami yang satu ini. Karya ini adalah karya Ayu pertama yang saya baca. Karya dari seorang penggelut sastra yang, tampaknya punya kendali penuh atas dirinya sendiri. Terutama kendali atas keputusan menikah. Atau tidak menikah.

Apa itu Si Parasit Lajang?

Awalnya, pada tahun 2013 ketika saya membeli buku ini, saya kira Si Parasit Lajang adalah sebuah novel yang menceritakan tentang pilihan mantap seorang perempuan muda urban untuk tidak menikah. NOVEL. Nyatanya, setelah pada tahun ini saya akhirnya membaca, buku ini bukanlah ditulis dalam narasi runut berkonflik seperti layaknya sebuah novel. Buku ini lebih layak disebut sebagai kumpulan cercahan pikiran dan catatan keseharian dari seorang A. A di sini saya duga tak lain adalah Ayu Utami sendiri, selaku penulis. Jadi, membaca ini sama saja dengan membaca pikiran-pikiran Ayu Utami serta jurnal sehari-harinya di era 90-an.

Si Parasit Lajang sendiri adalah sebuah istilah yang berasal dari lontaran seorang feminis Jepang. Di mana yang disebut single parasite atau Si Parasit Lajang adalah wanita berkarir maju yang tidak menikah, yang tetap numpang di rumah orangtua mereka tanpa perlu mengurusi segala sesuatu karena ada orang lain yang mengerjakan hal-hal rumahan. Istilah itu dipakai karena selayaknya ciri-ciri itu, begitulah juga tokoh A menggambarkan dirinya sendiri di dalam buku ini.  

Cewek, Cerdik, Cuek

Tak ada yang lebih menyenangkan dari pada menjadi seorang cewek yang cerdik dan cuek. Begitu yang saya kira. Dan mungkin di sini awal kata sepakat antara saya dan Si Parasit Lajang. Bedanya, kesepakatan antara kita terpisah ketika tokoh A ini lebih memutuskan untuk tidak menikah di akhir usia duapuluhannya. Sementara saya, mungkin di awal usia duapuluhan ini, saya tetap bertahan pada keputusan untuk menikah. Soal calon, itu urusan belakang. Betul?

Lagi, sama seperti apa yang saya sampaikan di awal, memutuskan untuk nantinya menikah bukan berarti bahwa saya tidak suka pada keputusan A untuk tidak menikah. Malahan, saya menjadi disegarkan kembali dan dibuat berpikir, apakah keputusan untuk menikah adalah sesuatu yang tepat? Atau, apakah menikah memang menjadi sesuatu yang saya perlukan? Di buku ini, A menyampaikan 10 + 1 gagasan mengapa ia pada akhirnya teguh untuk tidak menikah. Mulai dari alasan yang sederhana, sampai alasan yang menyertakan rumitnya logika. Salah satu alasan yang menarik, terletak pada kepedulian dan niat baik A untuk menaikkan 'harga' istri jika saja dia tidak menikah. 

Jika perkawinan ibarat pasar, orang-orang yang memutuskan tidak menikah sesungguhnya mengurangi pasokan istri seperti organisasi pengekspor minyak mengatur suplai minyak. Juga, mengingatkan para suami bahwa istri bisa tak bergantung pada dia. Dengan demikian, mestinya harga istri jadi lebih mahal sehingga harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. (Nah, saya peduli dan berniat baik, kan?) - hlm. xv
Alasan-alasan lainnya juga, seolah sama kuat dengan alasan yang saya cantumkan di atas. Dan semua alasan-alasan itu pada akhirnya ya, seperti berhasil untuk menyajikan satu sudut pandang lain tentang keputusan menikah. Perspektif lain yang membawa saya menyelami inti-inti pemikiran A dibalik keputusannya tidak menikah. Tema 'tidak menikah' inilah yang saya simpulkan, sangat mendominasi cerita dan kisah di dalam Si Parasit Lajang.

Saya katakan mendominasi karena pada dasarnya, buku ini tak hanya melulu soal keputusan menikah atau tidak menikah. Di dalamnya, buku yang terbagi atas tiga bagian besar ini (Kedai, Rumah, dan Perjalanan) turut menyampaikan catatan-catatan tentang hal-hal unik menarik yang dialami oleh A. Baik yang berkaitan dengan sahabat-sahabatnya, atau dengan sedikit bumbu hubungan percintaannya, sampai dengan kisah-kisah lucu di balik perjalanan-perjalanan yang A lakukan. Kiprah A di dunia sastra yang membuatnya sempat menginjakkan kaki di Eropa pun terasa menarik setelah dituangkannya dalam sebuah kisah. 

Sudut pandang A yang seringkali berbeda dengan sudut pandang mayoritas membuat saya mendapatkan cara baru dalam berpikir. Berpikir terbalik dan berpikir dari sisi yang tak umum. Misalnya saja, pendapatnya terkait cinta, seks, sampai kodrat seorang manusia yang saya rasa, berbeda dari pendapat kebanyakan. Pendapat mayoritas mana yang mengatakan bahwa sah-sah saja bagi seorang manusia untuk mereparasi tubuhnya? 

Ada beberapa kutipan yang berkesan bagi saya karena maknanya yang 'ngena' dari Si Parasit Lajang.

Tentang kodrat:

Jadi apa itu kodrat sebenarnya? Jika ia hukum, maka ia adalah hukum ketidakabadian. Jika ia bukan hukum, maka kodrat saya kira adalah potensi yang terberi pada kita (hlm.42)
Kesementaraan kodrat adalah kodrat pula (hlm.42)

Tentang cinta:

Dan begitulah jangan-jangan cinta. Seperti bunga. Jika ia tak lekang, berarti ia imitasi. Jika ia asli, maka ia cuma tahan tiga hari. (hlm. 83)
Cuma, cinta itu tidak seperti mawar potong, melainkan seperti pohon mawar. Perlu dirawat agar terus berkembang. Cinta adalah sesuatu yang hidup. (hlm. 83-84)
Tentang menikah:

Saya setuju bahwa manusia harus berkomitmen. Tapi, memangnya satu-satunya bentuk adalah pernikahan? Pernikahan itu bukan harus, melainkan perlu. Perlunya bagi yang membutuhkan saja. (hlm. 192)

Akhir kata...

A tak hanya sanggup merangkai jalinan pikiran yang membuat kita tak hanya membaca, melainkan juga turut masuk untuk berpikir. Meskipun pada akhirnya, jika tak ada sepakat, maka saya tak akan terlalu lama mengingat kata-kata atau pemikiran yang termuat di dalam buku ini. Mungkin bawaan otak yang memang pelupa dan jarang merekam. Akan tetapi, satu hal yang saya ingat adalah, Ayu Utami dalam Si Parasit Lajang mampu melugaskan pikiran-pikiran A dan mampu menyelipkan sisi humor yang kadang membuat saya tertawa meskipun susunan katanya tetap bagus dan tidak asal tulis.

Begitu selesai membaca Si Parasit Lajang, saya menjadi tak sabar untuk meneruskannya ke Cerita Cinta Enrico dan Pengakuan Eks Parasit Lajang, dua buku yang merupakan kelanjutan Si Parasit Lajang dalam sebuah trilogi. Dan begitulah demikian saya, menutup Si Parasit Lajang dan segera membuka lembaran Cerita Cinta Enrico.

Tunggu ulasannya ya :)

Monday, May 18, 2015

Bergandengan Tangan

Hari Minggu sudah tiba lagi. Tapi, saya tetap harus bangun pagi. Ah, rasanya seperti tidak ada hari libur sama sekali saja. Minggu pun harus bangun pagi untuk bisa mengikuti Misa pagi di Gereja. Apa saya tidak boleh berleha-leha 24 jam tanpa ke mana-mana? Bagaimanapun juga, setelah kebiasaan mengeluh pagi-pagi, saya akhirnya beranjak juga dari kasur. Lantas, lekas saya berbenah diri setelah kembali terjaga pukul tujuh tadi.

Saya Anna. Saya tinggal di kosan seorang diri karena jauh dari rumah. Saya pegawai kantoran biasa yang setiap hari masuk kerja pukul delapan dan pulang pukul lima. Tentunya, kecuali hari Sabtu dan Minggu. Bukan-bukan, kecuali hari Minggu saja. Hari Sabtu tak bisa saya hitung libur karena saya kadang juga disuruh masuk kalau ada keperluan mendesak. Benar-benar kantor yang memeras tenaga.

Jarak beratus bahkan beribu kilometer dari rumah tidak membuat saya melupakan rutinitas hari Minggu. Semenjak dulu masuk kuliah, saya selalu diingatkan dan secara tidak langsung 'dipaksa' untuk tetap beribadah setiap Minggu. Siapa lagi yang mendesak kalau bukan orang tua. Kadang-kadang, diri terasa sungguh malas untuk berpindah dari kenyamanan tempat tidur menuju ketenangan rumah Tuhan. Namun apa daya, rutinitas ini secara otomatis terlalu melekat dan sulit untuk dielak.

Misa di Gereja dekat kosan saya dimulai pukul delapan tiga puluh pagi. Seperti biasa, pukul delapan teng, saya sudah tiba di Gereja supaya bisa duduk di bagian dalam dan tak perlu berpanas-panasan di luar. Kali ini saya sendiri. Kalau ada teman ya sama teman. Kalau tidak ya, sendiri pun sudah biasa.

Tak lama berselang, sekitar pukul delapan lebih lima belas menit, segerombol keluarga datang dan mengambil tempat duduk di samping saya. Tampak sederhana dan tidak berlebihan. Tokoh ayah berpakaian cukup rapi dengan kemeja abu-abu dan celana panjang hitam. Tokoh ibu berpakaian sangat rapi dengan dress batik warna biru dongker dan tas berwarna senada. Tanpa banyak perhiasan dan tanpa make-up tebal. Tokoh anak-lah yang paling lucu. Anak laki-laki bertubuh sedikit gempal, berkemeja kotak-kotak biru muda, dan bercelana jeans hitam. Pipinya yang bulat, betul-betul menggoda saya untuk mencubit gemas. 

***

"Atas petunjuk penyelamat kita, dan menurut ajaran ilahi, maka beranilah kita berdoa..." ucap Romo yang memimpin Misa pagi itu menandakan bahwa perayaan Ekaristi sudah sampai pada bagian doa (lagu) Bapa Kami. "Bagi yang datang berkeluarga, silahkan bergandengan tangan satu sama lain."

Selalu ketika doa Bapa Kami dilantunkan dalam bentuk nyanyian, saya akan membuka kedua telapak tangan saya dan menghadapkannya ke atas seakan meminta berkat dan penyertaan Tuhan. Saya tak datang berkeluarga, jadi saya tak menggandeng siapa-siapa.

Baru saja lagu Bapa Kami memasukki bagian '...dimuliakanlah nama-Mu,...', tiba-tiba tangan saya diraih oleh anak laki-laki bertubuh gempal tadi. Sontak saya terkejut sekaligus menahan senyum juga. Tangannya yang masih seukuran tangan anak SD mencoba membuat pautan tangan kami semakin erat. Saya yang heran, kemudian beralih pandang dari tangan anak kecil menuju ke wajah ibu si anak. Ibu itu menoleh singkat, kemudian tersenyum.

Dalam hati saya hanya bisa berujar, lucu juga ya digandeng anak kecil yang bahkan saya nggak kenal asal muasalnya ini

***

Sepanjang bagian Bapa Kami hingga Komuni, saya terus penasaran dan bertanya-tanya tentang hal apa yang membuat anak gempal itu menggandeng tangan saya. Mungkin kelihatannya sederhana, tetapi hal ini betul-betul mengusik dan membuat penasaran. Akhirnya, setelah saya membuat tanda salib usai berdoa pasca Komuni, saya menyenggol pelan perut anak kecil di samping saya dengan siku. Mudah-mudahan perutnya nggak sakit.

"Dek, nama kamu siapa?"
"Tius, kak."
"Kamu datang sama mama papa aja? Kakak-adik mana?"
"Kakak saya kerja di luar kota. Kalau adik, saya nggak punya. Kak, ini kan masih Misa, jangan ajak saya ngobrol dulu ya. Ssst..." ucapnya sambil menempelkan jari telunjuk di kedua bibir yang terkatup.
"Oh, iya iya." balas saya sambil mengambil jarak lagi. Heran, anak kecil ini ternyata cukup cerdas dan pintar untuk tidak menimbulkan kegaduhan di dalam gereja. Justru saya yang mengajaknya ngobrol duluan. Ah, saya jadi malu sebagai orang dewasa. Tapi sungguh, saya penasaran dengan sikap bocah ini. Apa karena kakaknya sedang berada di luar kota, makanya ia menggandeng tangan saya sebagai bentuk kerinduan akan kakaknya? Hmm, mungkin juga. Bisa jadi bisa.

***

Setelah berkat Tuhan lewat Romo diberikan, perayaan Ekaristi hari Minggu itu resmi selesai. Saya menutup dengan doa pribadi, kemudian begitu panjatan doa selesai, wajah saya segera beralih lagi ke bocah di samping saya. Syukurlah, dia belum pulang. Maka, saya buka lagi percakapan yang tadi sempat disudahkan.

"Nah, Misanya sudah selesai. Sekarang sudah boleh ngobrol, Tius?"

"Sudah. Memangnya kenapa sih, kak?" tanyanya dengan wajah yang seakan minta dicubit semalam suntuk.

"Nggak apa-apa kok. Kakak kan mau nambah-nambah temen aja."

"Oooooohh."

"Tius, Tius, kakak mau tanya deh."

"Tanya apa?" 

Sebelum bertanya, saya melihat kedua orang tuanya masih berlutut memanjatkan doa penutup. Nah, nggak apa-apa deh ngobrol sama anaknya dulu. "Tadi kamu kok gandeng-gandeng tangan kakak sih?"

"Loh, memang nggak boleh ya kak? Kan kata Romo tadi, yang datang berkeluarga disuruh gandengan tangan. Kata mama aku, kita semua yang ada di Gereja ini keluarga. Kalau bisa, aku malah mau gandeng seeeeeeeeeeeemuanyaaa." Nah loh!

"Berarti setiap minggu, kamu selalu menggandeng orang lain di samping kamu?"

"Hmm, nggak setiap minggu kak. Kakak sepertinya orang kedua yang aku gandeng dan heran. Minggu-minggu sebelumnya, aku cuma gandeng mama dan kakakku. Tapi kakakku kan baru pergi ke luar kota dua minggu lalu. Jadi nggak ada lagi yang aku gandeng di sebelah kanan." usai Tius menyelesaikan pembicaraannya (yang sedikit membuat saya terpana juga), mamanya bangkit dari posisi berlutut dan duduk menoleh serta senyum pada saya.

"Saya memang mengajarkan anak saya begitu, Mba. Semua orang di dunia ini adalah keluarga. Bahkan di luar Gereja ini juga, semua adalah keluarga. Kan nenek moyang kita saja sama ya Mba? Sama-sama Adam dan Hawa. Makanya, saya ajarkan anak-anak saya, kalau mereka harus rendah hati sama semua orang. Setiap orang yang dijumpai, ya keluarga juga. Semua hanya masalah jalinan, dekat sekali atau jauh sekali." ternyata ibu bocah ini langsung berinisiatif menjelaskan dan memaparkan. Saya tertegun sekaligus menahan senyum.

"Wah, ibu nggak takut anaknya kelewat baik sama semua orang?"

"Ya nggak, Mba. Saya tentu juga mengajarkan dia untuk selalu berhati-hati dan menjaga diri. Dari kecil harus diajarkan begitu agar dia juga tahu pentingnya melindungi diri. Kalau soal konsep keluarga sih, ya keluarga kandung saja masih ada yang suka punya niat jahat, jadi kuncinya ya hati-hati. Siapapun memang keluarga, tapi keluarga sekalipun belum tentu sepenuhnya baik. Jadi itu kembali lagi ke niat masing-masing orang yang berjumpa dengan anak saya, Mba. Saya bekali dia untuk tidak membeda-bedakan orang lain, sekaligus mengajarkan dia realita yang ada tentang macam-macam sifat orang." sekarang giliran tokoh ayah yang bangkit dari posisi berlutut dan ikutan menoleh serta senyum pada saya.

"Ibu nggak terlalu jauh mengajarkan hal-hal seperti ini? Anak kecil kan masih lugu, bu? Memangnya sudah mengerti?"

"Seharusnya, sudah. Tadi saja Tius gandeng tangan Mba, kan?..."

Belum sempat saya menjawab, tokoh ayah sudah memotong pembicaraan. Saya yakin ia tak sengaja.

"Ayo, Ma. Nanti susah keluar parkirannya."

"Oh iya, Pa." jawab tokoh ibu sambil berdiri dan merapikan dress serta mengambil tas tangannya. "Mari Mba, duluan."

"Eh, iya bu. Mari, mari."

"Dadah kak!"

"Dadah Tius!!!"

***

"Kakak cantik kenapa tadi pas Bapa Kami gandeng tangan aku?" tanya perempuan kecil itu dengan suara yang masih bocah.

"Dek, tadi kan Romo bilang, yang datang berkeluarga sebaiknya bergandengan. Nah, kamu sudah kakak anggap jadi keluarga kakak sendiri. Kita semua di sini kan satu keluarga. Kamu nggak kasihan sama kakak yang datang ke Gereja sendirian, nggak sama siapa-siapa?"

***

Wednesday, May 13, 2015

Pantai

"Apa mimpi terbesarmu?" tanya seorang sahabatku.

"Menginjakkan kakiku ke semua pasir pantai di Indonesia dan merendamkan bagian betisku ke semua air laut di Indonesia."

"Hahaha, bagaimana mungkin? Apa bedanya setiap pantai dan air laut di negara ini? Rasanya semua sama saja."

"Kamu salah kalau begitu. Tak semua pantai di sini ada yang serupa. Ada yang airnya biru jernih, tanpa karang. Ada yang airnya tak jernih, namun pasirnya halus. Ada yang pasirnya berwarna pink. Ada yang ombaknya besar seakan menggoda untuk menggulung. Ah, kau tak akan tahu nikmatnya sebelum kau sambangi semuanya."

"Masa iya begitu? Sekali waktu aku pernah ke Pantai Anyer kemudian melipir ke Pantai Carita. Airnya keruh, banyak sampah dan seakan tak terurus. Begitupun dengan beberapa pantai lain yang kukunjungi namun tak sanggup ku ingat namanya. Sampah berhamburan di mana-mana."

"Itu bukan salah pantai. Itu salah pengunjungnya. Mengapa mereka menyerakkan sampah seakan tak ada tempat pembuangan yang layak? Mengapa mereka seenaknya mengotori alam yang sesungguhnya dapat menjadi kekuatan Indonesia. Ah, aku jadi kesal sendiri dibuatnya. Lantas hanya karena kamu melihat beberapa pantai kita tak terurus, kamu enggan untuk menjenguk yang lain? Betul-betul menyesal kamu nanti."

"Entahlah. Aku tak merasa pantai dan air laut mampu menggoda. Rasanya membosankan. Hanya air dan air. Melulu itu. Kalau tidak air, ya pasir. Apa lagi? Karang? Ah, tak ada yang istimewa."

"Kamu hanya belum menemukan kenikmatannya, Ya. Percayalah, setiap kamu mendengar deburan ombaknya, merasakan pasirnya, halus maupun tidak, kamu akan merasakan sesuatu yang membuatmu menyatu dengan alam. Belum lagi jika kamu membiarkan dirimu tergulung ombak hingga ia membawamu terseret kembali ke bibir pantai, bebas Ya, bebas. Seakan semua bebanmu lepas. Atau misalnya, kamu naik perahu motor untuk melihat lumba-lumba di tengah laut, ketika perahu itu berjalan dan memecah air laut menjadi buih-buih, rasanya itu nikmat tiada tara. Sekelilingmu laut. Luas, seolah tak berujung." ceritaku bersemangat.

"Kamu bercerita seolah kamu sangat akrab dengan pantai dan air laut. Memang kamu bisa berenang? Memang kamu bisa menyelam?"

"Tidak bisa. Lantas mengapa? Tak bisa berenang dan tak bisa menyelam tak semata-mata harus membuatku bermusuhan dengan laut, toh? Aku berani main ke laut yang kedalamannya hanya sampai sedadaku. Atau aku berani sekedar snorkeling pakai pelampung untuk melihat indahnya terumbu karang dan ikan-ikan kecil yang berenang. Aku juga tidak masalah kalau hanya sekadar menikmati pantai dari pinggir laut. Pokoknya, energiku seakan terisi penuh kalau aku lihat pantai. Begitu."

"Ya ya, baiklah, silahkan kamu kejar mimpimu itu."

"Iya pasti. Lantas, apa mimpi terbesarmu?"

"Membantu mewujudkan mimpi terbesarmu."

"..."

Tuesday, April 28, 2015

Young People And Social Media [TALKSHOW]: It's Not About Existence, It's About ACTION!

I'm supporting #YoungPeopleAndSocialMedia because a big movement is created from a simple-little thing you DO on Social Media - me
Young People And Social Media (YPASM) - It's Not About Existence, It's About ACTION!

  • TALKSHOW macam apa ya ini?
TALKSHOW kece lah pokoknya!
  • Bermanfaat nggak ya acara ini?
BANGET!
  • Ngomongin media sosial aja, toh?
Nggak, kok!
  • Atau anak muda dan sosial media?
Nggak juga, lebih dari sekadar urusan itu malahan.
  • Terus acara apa dong ini? 
Oke, oke, sebentar saya jelaskan:
Jadi, acara dengan format talkshow yang mengambil lokasi di Conclave -salah satu co-working space di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan- ini adalah sebuah talkshow yang membahas mengenai dampak-dampak positif apa saja yang bisa dihasilkan DAN diciptakan lewat media sosial. Media sosial menjadi tak lagi melulu berkutat dengan persoalan eksistensi anak muda dan bentuk perwujudan kegaulan masa kini, melainkan memiliki potensi sebagai sebuah alat untuk menciptakan perubahan nyata di Indonesia. Serunya, beberapa orang yang SUDAH melakukan AKSI POSITIF di Indonesia lewat media sosial ini datang dari kalangan anak muda. Impact-nya? Luar biasa!

Percaya nggak percaya, pengaruh-pengaruh positif yang disebarkan oleh pencetus perubahan ini bisa BERHASIL karena didasari oleh kekuatan jaring media sosial yang mampu menjangkau berbagai kalangan secara nasional bahkan global. Selain itu, populasi kaum muda saat ini juga adalah populasi yang terbesar di dunia. Nggak heran, kalau pergerakan dan perubahan yang dilakukan oleh kaum muda lewat media sosial bisa menghasilkan DAMPAK yang dahsyat. Hmm, kalau saja semua anak muda Indonesia sama-sama menggunakan media sosial untuk memberikan AKSI NYATA-nya bagi perubahan yang positif, belum kebayang deh akan jadi sekeren apa Indonesia kita nanti. 

Young People And Social Media talkshow ini diadakan pada hari Minggu, 26 April 2015 pukul 15.00-18.00. Tiga jam yang disediakan saya kira masih kurang untuk memberikan kesempatan bagi ketujuh pembicara yang hadir menyampaikan kisah-kisah seru nan inspiratif mereka. Tujuh orang yang benar-benar sudah melakukan 'sesuatu' untuk Indonesia. Lewat media sosial. Tujuh orang yang membuat saya tidak menyesal menyisakan tiga jam saya di hari Minggu itu. Betul-betul tiga jam yang diisi oleh orang-orang hebat dan memberikan banyak manfaat *tepuk tangan*.

Jujur, saya termasuk salah seorang dari 125 peserta yang beruntung. Masih banyak orang-orang yang (katanya) berminat mendaftar dan hadir, namun ternyata seat sudah penuh terisi. Untung saja, ketika pertama kali saya melihat dan mengetahui informasi acara ini, saya langsung gerak cepat mendaftar. Bahkan, saat penyelenggaranya mencoba menghubungi saya sekali lagi untuk mengkonfirmasi (dan memastikan saya akan datang) agar tidak ada jatah yang sia-sia, saya bisa dengan mantap meyakinkan diri lagi untuk datang. Saya sebenarnya lupa-lupa ingat juga, hal apa sih yang akhirnya memotivasi saya untuk betul-betul yakin ikut acara-acara begini lagi? Iya, LAGI. Pasalnya, semenjak saya lulus kuliah, saya sama sekali nggak pernah datang dan ikut-ikut acara seperti ini lagi.

Saat-saat akhir pekan yang biasanya mewajibkan saya untuk tinggal diam di rumah pun saya ingkari sesaat demi datang ke acara ini. Demi melihat dan mendengarkan langsung cerita-cerita penuh warna motivasi dan inspirasi dari tujuh pembicara yang betulan kece. Ajaibnya, sesi demi sesi saya ikuti tanpa rasa kantuk atau rasa bosan sedikitpun (biasanya sih, satu jam saja saya sudah menguap melulu).

Sesi pertama, yakni tentang perubahan lewat media sosial membuat saya sedikit berefleksi tentang kehidupan saya sendiri di media sosial.  Saya menjadi tercenung dan termenung karena sadar bahwa dengan banyaknya akun media sosial yang saya miliki, saya belum sedikitpun membawa manfaat dan atau perubahan nyata bagi Indonesia. Saya masih seujung kuku jika dibandingkan dengan mereka yang membuat gerakan anti-bullying, membuat bermacam-macam campaign positif, dan juga membuat majalah lokal berisi promosi brand-brand lokal, yang sama sekali nggak kalah kalau dibandingkan dengan majalah maupun brand luar negeri. Ah. 


Pembicara sesi pertama
Tak kalah menarik dengan sesi pertama, sesi kedua yang terpusat pada bidang traveling berhasil membuat saya semakin yakin bahwa dengan menjelajah, akan sangat banyak manfaat positif yang bisa kita dapatkan dan bisa kita bagikan ke orang lain. Terutama, jika kita memilih untuk menjelajahi Indonesia. Di sini, kita akan menemukan banyak sekali tempat indah yang mungkin saja belum terjamah dan masih bisa di-explore lagi. Dengan 'menemukan' titik-titik pariwisata itu saja, kita secara tidak sadar telah meningkatkan kecintaan diri kita sendiri pada Indonesia. Serunya, kalau kita bisa ikut menularkan juga ke orang lain rasa cinta yang kita miliki pada Indonesia.
Pembicara sesi kedua
Dengan banyaknya hal yang saya dapat dari acara ini, saya rasa sudah merupakan sebuah kewajiban tak tertulis pula bagi saya untuk ikut membagikan apa yang saya peroleh pada kalian yang tidak sempat hadir.

Saya memang belum melakukan perubahan, namun mudah-mudahan, tulisan-tulisan di bawah ini dapat menjadi hal kecil untuk ikut menularkan pada kalian semangat-semangat positif yang saya serap dari mereka-mereka yang terlebih dahulu 'melakukan'.

Nah, yuk mari disimak cerita-cerita inspiratif dari talkshow dengan ketujuh pembicara tersebut di link-link berikut ini:

@aprishiallita - Anti Bullying Movement

@felixpradipta & @joshuasudihman - Kanekin

@thirty.bucks - Traveling Story


Anyway, pada akhirnya, saya sama sekali tidak merasa rugi telah ikut acara ini. It was fun and motivating! The stories that come from speakers really amazed me...

Yuk, mulai lakukan hal-hal kecil lewat media sosial-mu demi perubahan yang lebih besar lagi!
_____________________________



Semua yang ada di ruangan saat itu :)
Courtesy of Do Something Indonesia - source: Twitter

Nyimas Laula - Ride The Yellow Volks [YPASM TALKSHOW]

Perempuan yang mengaku bahwa 'perempuan'nya hanya casing ini menjadi pembicara di sesi kedua Young People And Social Media talkshow, bersama dengan dua orang lainnya, @thirty.bucks dan @devignwn. Sebagai petualang yang terus melangkahkan kakinya pergi ke mana-mana, Nyimas Laula juga menyisakan ceritanya sendiri selama melakukan perjalanan. Cerita-cerita itu dikumpulkannya lewat foto-foto yang dilengkapi oleh hashtag #ridetheyellowvolks.

NYIMAS LAULA yang berbaju putih
Ride The Yellow Volks sendiri tercetus ketika Laula dan tiga orang lainnya (Danar, Bismo, dan Adi) melakukan sebuah perjalanan bersama ke Jogjakarta pada suatu waktu di tahun lalu. You know what? Ternyata Laula dan teman-teman perjalanannya ini dipertemukan oleh Instagram. Adalah salah besar ketika saya mengira Laula dan tiga orang lelaki tersebut sudah berteman dan atau bersahabat sejak lama. It's Instagram who get them meetLaula memaparkan bahwa persahabatan mereka bisa tercipta semenjak mereka naik gunung bersama-sama. Di situ, Laula yang sama sekali nggak ribet ketika traveling, seperti dipertemukan dengan orang-orang yang juga sama nggak-ribet-nya. Klop. Cocok.

Mengapa kemudian muncul hashtag #ridetheyellowvolks? Karena tanpa direncanakan sebelumnya, saat perjalanan ke Jogjakarta, Laula dijemput oleh bapak dari salah seorang temannya (CMIIW) dengan menggunakan VW warna kuning. Nah, dari sanalah tercetuslah ide untuk menggunakan hashtag tersebut selama mengupload foto-foto perjalanan mereka. Kemudian, hashtag ini terus berlanjut menemani foto-foto momen mereka yang diupload ke Instagram. Kebetulannya lagi, perjalanan-perjalanan Laulasempat ditemani oleh 3 VW kuning yang berbeda-beda pemiliknya. Hmm.

Laula, dalam perjalanan-perjalanan yang dilakukannya berhasil mengangkat satu nilai yang begitu esensial. Nilai persahabatan itu sendiri. Bagi saya pribadi, cerita Laula dari awal dipertemukan dengan tiga orang teman perjalanan itu, kemudian bersama-sama mengabadikan momen dengan #ridetheyellowvolks, sampai pada akhirnya merasa seperti keluarga sendiri, adalah cerita yang benar-benar membawa saya larut dalam keinginan untuk ikut menciptakan cerita saya sendiri.

Bagi Laula, Instagram betul-betul berhasil untuk connecting people (bukan slogan HP jadul itu, ya). Dari Instagram, Laula pernah merasakan perjalanan yang, meskipun dengan budget minim (prinsipnya, punya uang tinggal jalan saja), ia masih punya partner perjalanan yang bersedia membantu (percaya nggak, Laula pernah dibayarin sama Adi selama Laula melancong di Jogjakarta?). Laula juga berkesempatan merasakan nikmatnya dipertemukan sebagai strangers sampai akhirnya berhubungan dekat dan akrab seperti keluarga. Laula juga memberikan pengakuan bahwa banyak orang-orang hebat yang ia temui, ya lewat Instagram. For Laula, that's the way Instagram do to have people meet each other. Satu pendapat Laula yang menarik adalah, "traveling bukan masalah ke mana, tapi sama siapa". Laula menjadi salah satu anak muda yang, mampu menginspirasi lewat sisi lain perjalanannya. Sisi perjalanan di mana orang-orang yang menyertainya jauh lebih penting dari pada destinasi itu sendiri (even it also matters).

Dengan foto-foto Instagram yang Laula bilang diambil (katanya hanya) menggunakan iPod 4th generation, Laula juga membentuk sebuah "cerita" di captionnya. Sama seperti @thirty.bucks, Laula juga nggak mementingkan likes. Ia menggunakan Instagram bukan untuk mendapatkan likes atau followers atau semacamnya. Laula 'memakai' Instagram untuk mengabadikan momen-momennya ke dalam suatu wadah agar suatu saat nanti bisa dilihat-lihat lagi. Masalah likes atau followers yang sering diributkan banyak orang, Laula mengatakan bahwa foto yang diambil dengan menggunakan passion itu akan dengan sendirinya terpancar, foto yang bagus akan menemukan sendiri penikmatnya.

Sebagai female-traveler, Laula tidak pernah mencoba solo-traveling seperti @thirty.bucks, namun ada sebuah tips yang penting dari Laula untuk pelancong-pelancong wanita. Menurutnya, pembawaan seorang wanita ketika mengunjungi tempat baru itu harus yakin dan jangan sampai clueless. Kalau sampai kelihatan cengo' ya pasti akan digodain atau digangguin oleh warga/orang setempat.

Soal 'modal' traveling, Laula punya beberapa cara ampuh, dengan memanfaatkan skill fotografi yang ia miliki.  Setelah lulus kuliah, Laula sempat bekerja freelance. Sekali menangani suatu project (wedding project), Laula berhasil mendapatkan dukungan dana untuk jalan-jalan sebanyak tiga kali! Kemudian, Laula juga menggunakan foto-foto yang dirasanya bagus dan memiliki "nilai jual" untuk dijadikan modal. Foto-foto istimewa tersebut Laula print dan dieksklusifkan (artinya, tidak diupload ke media sosial manapun). Foto yang sudah dicetak tersebut Laula jual dan setelah laku terbeli, Laula akan menghapus data foto yang ia miliki agar terjaga otentikasinya. Cara lainnya menurut Laula, adalah cari sponsor yang mau support perjalanan Laula.
Laula, sebagai seorang wanita, menginspirasi saya untuk melakukan perjalanan, merangkai momen, membuat cerita, dan menemukan 'keluarga'. Tak hanya gaya simpel Laula yang membuat saya terkesan, tetapi juga caranya memandang media sosial sebagai 'penemu' keluarga. Yakin cuma yang di rumah aja yang disebut keluarga? 
Nyimas Laula said...
Do what you love. With passion and consistency.
______________________________

Buckhori Juniansyah - Solo Traveler [YPASM TALKSHOW]

Dari sekian banyak traveler berfollowers ribuan yang saya ikuti akun Instagramnya, jujur, saya belum pernah mendengar sekalipun nama @thirty.bucks (mungkin saya kurang gaul). Jangankan @thirty.bucks, dua travel-instagrammers lain (if I can say so), @nyimaslaula dan @devignwn yang sama-sama mengisi sesi kedua acara YPASM ini pun saya tak tahu (oke, saya kudet, hehe). Oleh karena itu, bisa datang dan mendengarkan kisah-kisah perjalanan mereka secara langsung adalah kesempatan yang benar-benar emas (serius!). Salah satu yang menginspirasi adalah cerita perjalanan seorang diri dari @thirty.bucks yang akan saya tuliskan di sini.

BUCKS!

Pada kali pertama ia berdiri dan mulai menceritakan pengalamannya, Bucks -begitu sapaan lelaki tinggi berkuncir ini- langsung menunjuk salah satu foto yang ada di layar proyektor. Bucks menunjuk fotonya di Kenawa, sebuah tempat yang ditempuh oleh Bucks seorang diri, dan nyatanya berhasil menghadirkan pengalaman-pengalaman baru yang bahkan menurutnya, mampu membuatnya teramat jatuh cinta pada Sumbawa.

Setelah menceritakan detil destinasi dari beberapa foto yang ditampilkan di layar, Bucks mulai menceritakan sebab-musabab ia menjadi pecinta kegiatan solo-traveling. Dulunya, Bucks ini terbiasa pergi traveling dengan keluarga atau dengan teman-temannya. Kemudian, Bucks sampai pada satu titik di mana ia ingin melakukan eksplorasi seorang diri saja.

Lewat pengalaman solo-traveling itu, Bucks mengakui ada beberapa hal positif yang ia dapat. Bucks bisa mengatur budget perjalanannya sendiri, mengatur ritme perjalanannya, mengatur destinasi mana saja yang ingin ia datangi, dan yang paling penting, tidak perlu menunggu-menunggu rekan perjalanan yang lain dalam bepergian. Simpel dan tidak ribet. Solo-traveling juga membuat Bucks lebih mengenal diri sendiri, lebih dewasa, dan lebih menjaga diri sendiri. Meskipun demikian, Bucks juga menyatakan bahwa ada beberapa hal yang memang menjadi kekurangan solo-traveling. Salah satu contoh sederhananya adalah, nggak bisa patungan sewa kapal atau transportasi lainnya yang bermuatan banyak. Dengan demikian, anggaran yang ditetapkan untuk pengeluaran otomatis menjadi lebih besar. 

Gaya bercerita Bucks yang terkesan slenge'an sama sekali nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan pesan solo-traveling yang sempat ia bagikan. Bucks mengungkapkan bahwa perjalanan seorang diri tak hanya memberikan pengalaman-pengalaman baru, melainkan memberikan kita kesempatan untuk melakukan apa yang dinamakan spiritual journey. Berat! (But, I'm into this thought, actually!). Bucks seakan berhasil mempertegas keinginan saya (dan juga mungkin beberapa orang lain yang hadir) untuk mencoba bepergian sendiri, feel getting lost in the middle of nowhere, meet new people, share some stories, and ah! I can hardly imagine how precious the solo-traveling-experience is. 

Terima kasih cerita-ceritanya, Bucks!

Selain itu, Bucks juga menceritakan destinasi seperti apa yang tertarik untuk ia pilih. Lelaki yang masih menyelesaikan skripsi di bangku mahasiswanya ini memilih untuk datang ke tempat-tempat yang nggak hanya bagus untuk sumber foto-foto bagus saja. Melainkan tempat-tempat baru yang juga menawarkan cerita.

Meskipun ingin sekali tinggal di Islandia, Bucks masih mengutamakan tempat-tempat di Indonesia untuk ia kelilingi. Baginya, sangat sayang jika tempat-tempat bagus di Indonesia harus dieksplorasi oleh warga negara asing duluan, dan justru tidak diketahui bahkan dikenal oleh warga negara Indonesia-nya sendiri. Miris, sih.

BUCKS DAN INSTAGRAM

Kehidupan di Instagram untuk seorang Bucks juga dimulai dari alasan-alasan yang hampir sama dengan pembicara-pembicara lain di acara Young People And Social Media talkshow ini. Pertama, upload foto ke Instagram itu sangat gampang, tinggal jepret, ditambah edit-edit sedikit, bisa langsung dipost dan dilihat banyak orang. Kedua, kalau foto-foto sudah dilihat oleh banyak orang, maka pesan yang ingin disampaikan juga cepat tersebar. Selanjutnya, foto-foto juga tinggal dipakaikan hashtag-hashtag yang relevan, sehingga langsung bisa tersebar lebih luas lagi. 

Perjalanan Bucks mengabadikan momen-momen berharganya di Instagram sebenarnya tidak menetapkan likes atau followers sebagai tujuan utama. Bucks hanya mengupload foto-foto yang ia suka. 
"Lo suka apa, ya just do it. Kalo lo konsisten juga orang bakal tau ciri khas foto-foto Instagram lo itu apa."
Hal dan atau keyakinan semacam ini yang membuat Bucks terus mengekspresikan dirinya lewat foto-foto di Instagram. Pernah sekali waktu, foto Bucks menarik minat perusahaan Audi untuk membelinya. Dan, terjadilah transaksi demikian seperti yang kalian langsung bayangkan. Karya Bucks dibeli oleh Audi dan uangnya langsung Bucks tabung untuk merealisasikan perjalanan-perjalanan berikutnya. Creativity works.

Beberapa manfaat besar menjadi traveler-instagrammer juga dirasakan oleh Bucks, seperti misalnya bertemu dengan orang-orang baru yang dikenalnya lewat jejaring Instagram. Beberapa kali juga Bucks mendapatkan kesempatan untuk menginap di rumah sesama instagrammers yang berdomisili di destinasi yang Bucks tuju. Instagram membuatnya mengenal banyak orang dan keuntungan finansialnya adalah, Bucks bisa menghemat budgetnya ketika jalan-jalan! Boleh dibilang, Bucks sudah cukup tenang kalau bepergian karena pasti ada saja instagrammer yang menawarkan penginapan untuknya. Meskipun ya, Bucks mengakui harus ada basa-basi terlebih dahulu soal penginapan ini, seperti "boleh tolong cariin gue penginapan nggak?" atau "lo tau penginapan di mana yang murah?" (HAHA).

By the way, media sosial yang satu ini memang dahsyat sekali ya? Bucks, meskipun sering bertemu orang-orang baru (yang sesungguhnya asing) lewat Instagram, sama sekali tidak pernah mengalami kejadian tidak mengenakkan seperti misalnya, ada yang berniat jahat atau sebagainya. Ia selalu menemukan orang-orang dengan pikiran positif yang membuatnya juga jadi semakin positif. Apalagi, di setiap pertemuannya dengan orang baru, Bucks selalu punya topik obrolan yang membuat suasana jadi semakin seru.

Memasukki sesi tanya-jawab, ada beraneka ragam pertanyaan yang harus dijawab oleh Bucks. Salah satunya adalah mengenai solo-female-travelers. Terkait hal ini Bucks pun memaparkan beberapa hal yang ia ketahui. Menurut Bucks, sudah banyak juga lho female-traveler yang pergi ke mana-mana sendiri. Yang paling penting adalah, bisa jaga diri. Bucks sempat menyebutkan salah seorang female-travel yang juga merupakan temannya sendiri dan terkenal di Instagram, namanya Anggey @her_journeys (I already follow her on IG, tapi kalau Bucks, beneran deh belum follow sebelumnya). Anggey ini, menurut pemaparan Bucks betul-betul seorang yang tidak bisa ditebak keberadaannya. Hari ini Anggey di titik A, besok ia bisa saja ada di titik B. Dan, Anggey sebagai salah seorang traveler wanita bisa menunjukan kalau, nggak ada masalah seorang wanita menjadi (solo) traveler.

Demi mencapai mimpi-mimpinya di tahun ini, yakni menuju Nepal, Asia Tenggara, dan Turki, Bucks masih terus menabung dan menabung. Ia sering menjadi freelancer dan ketika mendapatkan job-job lain, uang yang ia dapat terus ia tabung dan akan dipakai ketika mimpinya sudah semakin dekat di depan mata. Kegiatan traveling sesungguhnya cukup mengganggu skripsi yang sedang Bucks kerjakan, but from what I saw yesterday, Bucks benar-benar mencintai dunia traveling. So, that's what he does. TRAVELING.  
Bucks menginspirasi saya untuk berani keluar dari zona nyaman dan bergerak melihat keindahan yang terhampar di mana-mana. Sendiri pun nggak masalah karena pada akhirnya, orang-orang yang akan kita temui jauh lebih beragam dan menyisakan ceritanya sendiri-sendiri dibandingkan pergi dengan orang yang itu lagi itu lagi. So, siap untuk (solo-)traveling dan membagikan ceritamu (dan ku)?
Bucks said...
Kalau kita mau memulai sesuatu, cintai dulu apa yang mau kita lakukan itu. Kemudian, percaya sama diri sendiri kalau kita bisa melakukan itu.
Nggak usah peduli dengan omongan orang-orang yang justru menjelek-jelekan kita. 
 ______________________________

Devi Gunawan - The Good Travelers Journal [YPASM TALKSHOW]

Wanita berkulit putih berambut lumayan panjang ini (jangan mikir aneh-aneh!) mendapatkan kesempatan untuk menjadi pembicara di sesi kedua acara Young People And Social Media talkshow, bersama dengan @thirty.bucks dan @nyimaslaula. Seperti yang sempat saya ulas di tulisan ini, sesi kedua YPASM membahas tentang pengalaman traveling dari tiga anak muda yang ingin ber-AKSI lewat menjelajah.

DEVI Gunawan yang berbaju putih...
Devi Gunawan sendiri adalah salah satu dari empat orang dibalik eksisnya akun Instagram The Good Travelers Journal (@thegoodtravelers). Bersama dengan tiga orang rekannya itu, Devi, melalui akun instagram yang ia kelola tersebut, mencoba menampilkan potret berbagai pengalaman seru saat menjelajah tempat-tempat bagus nan indah. The Good Travelers menyajikan potret berbagai momen seru dan unik, yang dilengkapi dengan narasi singkat pengalaman keempat orang pencetusnya saat menjelajah. Kadang-kadang, foto dan caption singkat dari instagrammers manapun yang sesuai dengan visi misi The Good Travelers (dan menggunakan hashtag #goodtravelersjournal) pun akan direpost dan berkesempatan untuk meramaikan feed mereka.

Instagram yang kini sedang hits di kalangan anak muda, dan sesungguhnya juga menawarkan kemudahan dalam membagikan foto, ternyata sangat membantu The Good Travelers untuk mencapai misi-misinya. The Good Travelers mencoba mengenalkan berbagai destinasi yang mampu menyajikan dan menciptakan cerita tak terlupakan bagi penikmat serta penjelajahnya. Akun ini bukan akun yang menjelaskan detil perjalanan, akomodasi ataupun makanan yang harus dicoba di suatu tempat, melainkan justru mengutamakan pengalaman. Mereka lebih menonjolkan kisah, cerita, tentang apa yang bisa didapat, dan dirasakan dari sebuah perjalanan. Mereka berbagi momen dan cerita, bukan tips-tips seperti situs traveling lain yang sudah terlebih dahulu ada.

Tak hanya berkecimpung sebagai salah satu pawang The Good Travelers, Devi Gunawan juga membuat DIY printed-photo-album. Ia mewujudnyatakan foto-foto yang tadinya hanya bisa dinikmati dari layar HP, menjadi kumpulan foto yang tercetak dan memiliki lembaran-lembaran yang bisa dibolak-balik. Menurut Devi, melihat foto di atas kertas yang bisa disentuh secara langsung akan sangat berbeda rasanya dengan melihat foto hanya dari layar handphone. Ia juga sempat membuat buku tentang perjalanan yang ia lakukan ke Jogja. Desain bukunya bagus dan artistik, cukup simpel, ciamik dan membuat mata saya terus melirik ke arah Devi (sambil berpikir, where I can get that book?!).

Dengan mencetak buku tipis kumpulan foto-foto artistik dan foto jalan-jalannya, Devi mengaku mampu untuk mengumpulkan materi (baca: modal) untuk membiayai perjalanan-perjalanan selanjutnya yang ingin ia lakukan. Selain buku kumpulan foto, Devi juga menciptakan postcard yang memuat hasil jepretan tangannya. Keren ya?

Jepretan tangan Devi ini seringkali hanya didominasi oleh warna-warna putih, abu-abu, dan biru. Beberapa hasil fotonya bisa dilihat dan diakses di akun instagram milik Devi pribadi. Niscaya kalau kita mengunjungi feed Devi, kita akan terkesima dengan kepiawaiannya mengatur tone dari feed Instagramnya agar tetap konsisten. Salut!

Informasi lain lagi, Devi ternyata tak hanya jalan-jalan atau jeprat-jepret setiap saat. Kesibukan lain yang dilakukan oleh Devi adalah menjalani profesinya sebagai graphic designer.

Soal budget traveling, Devi mengaku sangat sulit untuk mengatur dan merencanakan anggaran perjalanannya. Baginya, yang terpenting adalah punya tiket. Jadi, prinsipnya ya beli tiket dulu, rencana lainnya yang belakangan. Karena buat Devi, kalau sudah punya tiket, ya pasti harus pergi.
Devi dan tiga orang temannya, lewat The Good Travelers Journal berusaha membawa semangat yang berbeda dalam mengangkat tema traveling. Perjalanan bukan melulu soal tempat indah, atau soal akomodasi dan perencanaan yang tepat, akan tetapi perjalanan itu sendiri harus dimaknai dan mampu menjadi cerita yang menginspirasi. The Good Travelers Journal sudah membagikan "sisi lain" perjalanannya lewat narasi singkat di caption, lalu apakah kamu (dan saya) mau dipancing untuk menemukan 'kisah' perjalanan itu?
Devi Gunawan said...
Jalan jalan itu nggak perlu jauh-jauh dulu. Cukup keluar rumah, jalan-jalan di sekitar, pergi ke tempat yang nggak begitu jauh, pasti akan ada suatu cerita yang bisa kita dapat dan kita bagi.
_________________________ 

Instagram The Good Travelers Journal: instagram.com/thegoodtravelers
#goodtravelersjournal