Monday, June 29, 2015

Pengakuan Eks Parasit Lajang: Sebuah Pengakuan dan Pencatatan Kesadaran

Berhasil menyelesaikan trilogi Parasit Lajang sepertinya adalah salah satu pencapaian kecil dalam riwayat hobi membaca novel saya.

Yeay!

Trilogi ini mampu mengajak saya berkenalan dengan pikiran-gagasan seorang Ayu Utami. Pun mengenalkan saya pada gaya menulisnya yang halus, namun tegas dan jelas, serta pada perjalanan hidupnya yang (bagi saya) terkesan rumit.

Bagaimana bisa?

Jika pada buku pertama yang berjudul Si Parasit Lajang, Ayu Utami menyatukan kembali esai-esai yang pernah ditulisnya tentang pernikahan, dan tentang beberapa pengalaman hidupnya, kemudian pada buku keduanya, Cerita Cinta Enrico, Ayu menjelmakan cerita perjalanan hidup pasangannya (yang kemudian menjadi suaminya), maka pada buku ketiganya, Ayu memaparkan pengakuannya dan juga cerita atau catatan penemuan kesadarannya. Yang (bagi saya) amat rumit.

Pengakuan Eks Parasit Lajang

Ayu Utami, yang saya asumsikan menjebloskan dirinya sendiri ke dalam cerita (sebab ini kisah nyata), sebagai tokoh A, menampilkan kisah dari awalnya ia bermula. Lebih tepatnya, ia menceritakan kisah dari awalnya ia memiliki kesadaran dan mulai memunculkan pertanyaan-pertanyaan, hingga pada akhirnya ia berhasil menemukan beberapa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.

Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian besar. Masing-masing bagiannya mewakili peristiwa-peristiwa penting dalam hidup tokoh A sendiri. Bagaimana ia berkontemplasi sampai akhirnya ia memutuskan untuk melepaskan keperawanannya sendiri. Bagaimana pada kelanjutannya, ia menanyakan lagi apa konsep keperawanan itu sebenarnya. Bagaimana ia, mencoba perlahan mengevaluasi hubungannya dengan gereja, dan perlahan bergerak meninggalkannya karena tak sesuai dengan sistem yang ia bangun sendiri dalam dirinya. Bagaimana ia, mengandai-andaikan perjuangannya menumpas ketakutan terhadap konsep perawan tua sebagai permainan-permainan hidup yang penuh dengan pemahaman patriarki. Bagaimana ia, mencoba terus-menerus membangun kesadaran, akan hal-hal yang masih samar berlalu lalang di pikirannya sendiri. Bagaimana ia, sebagai seorang yang pernah bertemu paham Katolik, mencoba menjawab kembali pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan tentang Yesus dan gereja. Dan masih banyak bagaimana-bagaimana lain yang tampaknya tak jarang membuat kening berkerut, otak menciut, ketika membaca deretan kalimat dan kata yang dilahirkan oleh pikiran seorang Ayu Utami.

Kekaguman saya akan sosok penulis wanita ini tak lepas dari pikiran-gagasan yang dicipta olehnya. Bagaimana ia mampu mengaitkan bagian-bagian kitab suci Katolik dengan paham patriarki yang ingin ia kebiri. Bagaimana ia menggagas jawaban-jawaban rumit, yang tak bisa sembarang orang konsepkan, untuk pertanyaan-pertanyaannya yang tak kalah kritis. Ayu Utami seakan tumbuh meremaja, mendewasa, dan menua, dalam barisan tonggak-tonggak sistem privat yang terus berusaha ia sempurnakan. Sistem yang ia bangun atas pemberontakan terhadap sistem penuh penanaman nilai dalam masyarakat patriarkal. Sistem yang hampir selalu menempatkan wanita sebagai yang lemah dan yang terpinggirkan.

Pengakuan dan Pencatatan Kesadaran

Sebagaimana yang saya pilih sebagai judul tulisan ini, buku terakhir dari trilogi Parasit Lajang yang baru saja tuntas saya baca ini kemudian tampil sebagai sebuah pengakuan dan pencatatan kesadaran dalam bentuk pengungkapan kembali jawaban atas pertanyaan. Baik pertanyaan yang timbul dalam benak penulisnya sendiri, maupun pertanyaan yang timbul dalam benak penggemar dua buku Ayu Utami sebelumnya (masih dalam trilogi ini).

Buku ini memberikan pengakuan bagi yang bertanya-tanya mengenai keputusan-keputusan tokoh A yang, melepas keperawanannya di awal usia dua puluh tahun, memutuskan untuk berselingkuh dan tak hanya sekali, memutuskan untuk menikah setelah sebelumnya bersikeras tak akan menikah, serta memutuskan untuk kembali mengenal gereja dan lingkungannya.

A menyebutnya suatu proses perkembangan kesadaran. Dan saya, sebagai pembaca, menyebut buku ini sebagai pencatatan kesadaran.

Terima kasih A


Sebagai perempuan yang ingin menikah dan belum sepenuhnya terlepas hidupnya dari keliling masyarakat patriarkal, saya ingin berterima kasih pada A sebagai tokoh dalam buku ini karena telah berusaha menumpas ketakutan-ketakutan wanita di luaran sana. Terima kasih bagi A, karena meski ia pada akhirnya memutuskan menikah, ia selalu menunjukkan prinsipnya untuk terus memanusiakan manusia. Bukan memanusiakan laki-laki saja, atau wanita saja.

Karena sesungguhnya selain laki-laki dan wanita, ada jenis manusia yang lain sebagainya.

No comments:

Post a Comment

Thanks for leaving a comment :)