Monday, September 14, 2015

Familienfieber (Family Fever); 2014 - Pelik dan Keluarga

Minggu, 13 September 2015

Hari ini, untuk pertama kalinya, saya menonton film di festival sama mama.

Beberapa hari sebelumnya, ketika saya sedang melihat linimasa Twitter saya, munculah sebuah akun membawa kabar gembira. Katanya, akan ada festival sinema Jerman. Langsung saja saya klik linknya, mengecek film-filmnya, berikut jadwalnya, dan saya langsung mengajak mama. Ia menjawab ia, lantas saya jadi bersukaria.

Hari Minggu, pukul 17.00, bertempat di Goethe-Institut, saya dan mama menonton film berjudul Familienfieber (Family Fever).


Film berdurasi 78 menit yang disutradarai oleh Nico Sommer ini sanggup menjadi tontonan akhir pekan yang 'berbobot' dan lumayan menghibur. Selain itu, hal yang paling menyenangkan tentu, setiap film yang ditayangkan selama festival sinema Jerman (German Cinema) ini tidak memungut biaya dari penontonnya. Gratis. Siapa yang enggak senang kalau gratis (?)

SINOPSIS

Familienfieber bercerita mengenai sepenggal kehidupan dari tiga pasang kekasih. Yang pertama adalah pasangan Uwe dan Maja Roth, kemudian pasangan kedua adalah Stefan dan Birgit Ohnsorg, dan pasangan ketiga adalah Nico Ohnsorg dan Alina Roth, sejoli yang masing-masingnya merupakan buah hati Stefan-Birgit dan Uwe-Maja.

sumber
Nico dan Alina yang telah menjalin hubungan kurang lebih tiga bulan, bersepakat untuk mempertemukan kedua orangtua mereka. Rencana disusun, tanggal ditetapkan. Pada hari yang sudah diincar, Alina dan kedua orang tuanya lalu berkendara ke Bradenburg untuk menemui keluarga sang pacar. 

Ketika tiba di kawasan Bradenburg yang amat jauh dari kota, Uwe, yang kerap bekerja serabutan, tak hanya dikejutkan dengan rumah calon besannya yang serupa kastil megah. Sejatinya ia juga diberi 'kejutan' lain oleh Maja. Setelah dua puluh tahun kebersamaan mereka, Maja mengakui bahwa ia telah menjalani hubungan gelap dengan Stefan, sang calon besan.

Uwe dan Birgit yang merasa 'tersakiti' kemudian menantang Stefan dan Maja untuk mengikuti sebuah permainan dengan kamera. Uwe, Maja, Stefan, dan Birgit harus mampu bercakap-cakap berdua-dua di depan kamera (dan direkam), saling bertanya dan saling menjawab. Harapannya, tak ada lagi kejujuran yang berusaha dinafikan. 

Saya, penikmat, melihat film ini...

ringan tapi padat. Nyata. Sederhana. Jenaka.

Ya kira-kira begitulah.

Agak mustahil rasanya jika ada seorang penonton pun yang tak mampu memahami dengan baik apa yang coba disampaikan oleh Familienfieber. Setidaknya, saya percaya semua bisa menangkap maksud film ini dengan cermat. Itulah mengapa saya menyebut film ini ringan. Film ini sama sekali tak mengambil tema atau isu yang berat-berat sebagai latar cerita. Sebaliknya, film ini justru mengangkat isu yang akrab dengan kehidupan sehari-hari kita. Isu yang kerap sulit untuk dihindari mereka yang berpasang-pasangan. Isu perselingkuhan

Pertama-tama, mari kita bahas tampilan film ini secara keseluruhan. Hati-hati, janganlah kalian sekali-kali mengharapkan latar yang aneh-aneh atau sinematografis yang mempesona dalam film ini karena, Familienfieber sepertinya teramat sederhana bagi mereka yang berekspektasi lebih.

Dari segi waktu, kisah dalam Familienfieber hanya berlangsung selama dua hari. Hari pertama, kisah dimulai dari pagi saat pasangan Uwe-Maja melakukan rutinitasnya, pun dengan pasangan Stefan-Birgit. Sore hari diwarnai dengan perjumpaan kedua pasangan, yang diprakarsai oleh pasangan ketiga. Malam hari pertama, Uwe-Maja terpaksa menginap karena mesin mobil mereka tak bisa menyala. Kemudian, hari kedua dimulai dengan kisah Stefan-Uwe yang mulai akrab, dan Birgit-Maja yang menikmati keakraban itu dengan rasa yang janggal. Singkat, bukan?

Dari segi tempat, saya memperhatikan bahwa tak banyak lokasi yang digunakan. Hanya ada rumah Uwe-Maja, rumah Stefan-Birgit, lokasi kerja Uwe (di pinggir jalan, karena saat itu Uwe bekerja sebagai pemasang billboard), jalanan menuju Bradenburg, dan satu tempat di mana Nico dan Alina membicarakan masa depan mereka. Alih-alih mendapatkan landscape kota-kota di Jerman, saya justru hanya dipuaskan dengan rumah mewah milik keluarga Stefan. 

Dari segi tokoh, hanya ada enam. Dan dua peran tambahan yang muncul beberapa menit di depan. Selebihnya, ah ya, ada tokoh bayi Nico-Alina yang sudah lahir ke dunia satu tahun kemudian. 

Semua dikemas dengan sederhana. Pengambilan gambar juga menurut saya kurang memuaskan dari segi estetika. Tapi, saya yang sangat awam tentang teknik pengambilan gambar ini pada akhirnya mengambil kesimpulan bahwa cerita ini berpusat pada tokoh dan cerita. Bukan pada keindahan tampilan. Seringkali, kamera selalu difokuskan pada sosok atau wajah, sebab barangkali, ini 'menguatkan' alur dan kisah.

Kembali lagi pada bahasan kisah, buat saya Familienfieber benar-benar merupakan representasi kisah nyata yang bisa saja terjadi dalam setiap mereka yang berkeluarga. 

Pasangan Uwe-Maja mengalami permasalahannya sendiri, yakni ketika Uwe yang selalu merasa payah setelah dipecat dari pekerjaannya, namun sangat mencintai Maja dan takut kehilangan Maja, menaruh kecurigaan pada Maja tetapi tak kuasa untuk mencegahnya. Sampai akhirnya, Uwe menemui titik di mana ia tidak mampu memberikan kepercayaan lagi pada Maja akibat pengakuan dari Maja sendiri seputar perselingkuhannya.

Berbeda lagi dengan Stefan-Birgit yang telah berkali-kali mengalami sandungan. Birgit, dengan sabarnya, ternyata sudah berulang kali dikhianati oleh Stefan. Sampai rasanya ia tak sanggup lagi menerima Stefan dan ingin pergi meninggalkan kastil megah. (Entah bagaimana, saya seperti merasakan sakit yang dialami oleh Birgit karena dengan raut wajahnya yang begitu terpukul, saya bisa melihat derita dan sedihnya dipermainkan).

Atau mungkin masalah yang dihadapi pasangan Nico dan Alina ketika ingin menghadapi masa-masa membentuk keluarga. Kenyataan bahwa Alina sudah mengandung tak membuat Nico mundur meski usia mereka masih sangat belia. Nico 19 dan Alina 17. Tak mudah bagi Alina untuk yakin bahwa Nico akan selalu ada, walau akhirnya ia benar selalu ada hingga bayi mereka lahir ke dunia.

Ada haru yang tak terungkap ketika melihat masing-masing keluarga ini memiliki masalahnya sendiri-sendiri, namun terkuak hanya dalam waktu dua hari. Bisa dibayangkan, bagaimana dua hari yang mereka alami benar-benar mengaduk perasaan, menciptakan keterpurukan, kekecewaan, karena lahirnya dia si satu kata, pengkhianatan. Bagaimana kisah dua hari itu juga ditutup dengan pengakuan Alina yang mengandung, dan induk-induk mereka menanggapi dengan senyum. Cukup membuat saya tertegun kala budaya sana ternyata tidak mempermasalahkan remaja yang begitu muda telah akan menjadi orang tua.

Saya tak merasa kecewa atas estetika gambar yang tak istimewa. Sebab, kekaguman saya cukup terbayarkan dengan kepiawaian Nico Sommer membungkus kisah ringan yang berlatar sederhana, menjadi cerita yang begitu padat, tampak nyata, dan juga diberi bumbu-bumbu yang jenaka. Percayalah, beberapa adegan dalam Familienfieber mampu membuat mereka yang menonton tertawa terpingkal-pingkal akibat hal-hal remeh dan bodoh. Namun lagi-lagi percayalah, Familienfieber berhasil melengkapi kencan minggu malam saya dengan mama saya. Filmnya menghibur dan cukup menyadarkan saya, bahwa setiap keluarga, atau mereka yang akan berkeluarga, mesti memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Entah kejenuhan akan rutinitas, ketidakyakinan terhadap pasangan, godaan akan mereka yang tampak lebih 'lebih' dari yang telah dimiliki, hingga soal kejujuran terhadap kekurangan pasangan. 

Pada akhirnya,...

Semua permasalahan dalam keluarga haruslah diungkap dengan kejujuran dengan keikhlasan untuk sama-sama menjaga keutuhan dan belajar dari kesalahan. Tak lagi mengulang yang sudah terbukti menjatuhkan. Dan tetap tidak menampik bahwa masing-masing keluarga pasti akan menghadapi sandungan.

                                                                                                                                                                       

Anyway, I just wanna reveal that this film is more than worthwhile to watch. Dan juga film-film lain yang diputar di German Cinema 2015, saya rasa. 

No comments:

Post a Comment

Thanks for leaving a comment :)