Bersikap dan berpandangan positif setiap saat itu sulit. Saya mengakuinya.
Menilai banyak hal dari sisi yang baik, tidak cepat mengeluh melihat sesuatu yang rumit, serta memandang sekeliling dengan senyum yang sama sekali tak irit, semua itu sulit. Saya (lagi-lagi) mengakuinya.
Kemarin, saya mengalami detik-detik sulit itu. Pagi pukul sembilan, saya naik ke KRL Commuter Line rute Duri-Manggarai bersama dengan calon penumpang lain yang menyesak naik dan langsung menjajah tempat duduk. Menjajah, karena kebiasaan yang sama sekali tak santun dalam mengisi tempat duduk. Lari, menyeruduk, ngesot, atau gaya naik lain yang agak menjengkelkan. Saya mulai masam dan menggerutu.
Nasib baik, meski saya naik perlahan tanpa rebutan ke atas KRL itu, saya masih berkesempatan mendapatkan satu celah tempat duduk. Lalu, saya hempaskan pantat dengan muka kusut, dan setelahnya, jari-jari saya langsung lincah bermain di atas layar smartphone yang tak pernah luput. Setengah sadar dan setengah tidak, perjalanan hingga stasiun Tanah Abang ternyata menyumbang banyak penumpang baru ke dalam rongga yang masih agak kosong di tengah kereta. Sekejap, kereta listrik itu lekas penuh sesak. Di berbagai tempat, akhir pekan memang selalu ramai dan KRL seakan tak pernah sepi. Saya kembali menggerutu.
Lepas dari perhentian di stasiun Tanah Abang, saya lekas angkat badan dari tempat duduk karena saya hendak turun di stasiun Sudirman. Sempat hilang keseimbangan, saya hampir jatuh dan tiba-tiba tangan saya ditangkap oleh seorang wanita muda yang menggendong anak. Dia membantu saya agar tak terjatuh. Saya termenung dan berhenti menggerutu.
Wanita itu mungil. Ia menggendong bayi kecil. Ia berdiri sebab ia tak dapat tempat duduk.
Setelah melepaskan tangannya di tangan saya, ia tersenyum lalu berkata, "hati-hati, mbak."
Cekat, saya tercekat. Saya yang semenjak tadi duduk asyik bermain smartphone, ternyata sama sekali tidak menyadari kehadiran seorang wanita muda yang berdiri tak jauh dari saya sambil menggendong bayi. Mengapa saya sampai begitu tak peduli? Saya memang tak duduk di bangku prioritas, tapi wanita muda itu seharusnya tak berdiri. Dan seharusnya, saya bisa memberi.
Di saat saya berkali-kali menggerutu, ternyata ada wanita yang seharusnya diberi tempat duduk malah sibuk tersenyum dan membantu ketika saya hampir terjatuh. Masih pantaskah saya menjadi penggerutu?
Saya tak lantas berefleksi panjang. Saya hanya malu. Ya, saya tahu itu sederhana. Tapi tetap saja saya malu. Dan saya melempar pikir, bagaimana bisa, banyak orang yang duduk di kereta itu bisa bertahan duduk di saat ada satu, bahkan mungkin lebih orang-orang yang lebih layak diberikan tempat duduk? Terlebih saya bingung, bagaimana orang-orang bisa bertahan duduk di bangku prioritas sementara dia bukan prioritas sama sekali, dan banyak orang yang seharusnya diprioritaskan?
Cukup sekali sajalah saya tak peduli. Mudah-mudahan tak ada lain kali lagi.
Cukup sudahlah saya menjadi penggerutu. Semoga saya bisa senantiasa positif memandang sesuatu.
Terkadang, bahkan yang tidak mendapat hak-nya saja masih bisa tersenyum. Lantas, masih layakkah orang-orang yang tak sulit mendapat hak-nya justru menggerutu?
Sip kak, meski kamu menggerutu, hatimu masih bisa berbicara. Sayang kamu!
ReplyDeleteSip kak, meski kamu menggerutu, hatimu masih bisa berbicara. Sayang kamu!
ReplyDelete