Thursday, May 21, 2015

Si Parasit Lajang: Membaca Perspektif Pernikahan Yang Lain

Saya ingin menikah. Tentu saja. Karena saya ingin punya anak dari suami yang sah. Tapi dengan keinginan saya yang seperti itu, bukan berarti saya tidak mengagumi karya Ayu Utami yang satu ini. Karya ini adalah karya Ayu pertama yang saya baca. Karya dari seorang penggelut sastra yang, tampaknya punya kendali penuh atas dirinya sendiri. Terutama kendali atas keputusan menikah. Atau tidak menikah.

Apa itu Si Parasit Lajang?

Awalnya, pada tahun 2013 ketika saya membeli buku ini, saya kira Si Parasit Lajang adalah sebuah novel yang menceritakan tentang pilihan mantap seorang perempuan muda urban untuk tidak menikah. NOVEL. Nyatanya, setelah pada tahun ini saya akhirnya membaca, buku ini bukanlah ditulis dalam narasi runut berkonflik seperti layaknya sebuah novel. Buku ini lebih layak disebut sebagai kumpulan cercahan pikiran dan catatan keseharian dari seorang A. A di sini saya duga tak lain adalah Ayu Utami sendiri, selaku penulis. Jadi, membaca ini sama saja dengan membaca pikiran-pikiran Ayu Utami serta jurnal sehari-harinya di era 90-an.

Si Parasit Lajang sendiri adalah sebuah istilah yang berasal dari lontaran seorang feminis Jepang. Di mana yang disebut single parasite atau Si Parasit Lajang adalah wanita berkarir maju yang tidak menikah, yang tetap numpang di rumah orangtua mereka tanpa perlu mengurusi segala sesuatu karena ada orang lain yang mengerjakan hal-hal rumahan. Istilah itu dipakai karena selayaknya ciri-ciri itu, begitulah juga tokoh A menggambarkan dirinya sendiri di dalam buku ini.  

Cewek, Cerdik, Cuek

Tak ada yang lebih menyenangkan dari pada menjadi seorang cewek yang cerdik dan cuek. Begitu yang saya kira. Dan mungkin di sini awal kata sepakat antara saya dan Si Parasit Lajang. Bedanya, kesepakatan antara kita terpisah ketika tokoh A ini lebih memutuskan untuk tidak menikah di akhir usia duapuluhannya. Sementara saya, mungkin di awal usia duapuluhan ini, saya tetap bertahan pada keputusan untuk menikah. Soal calon, itu urusan belakang. Betul?

Lagi, sama seperti apa yang saya sampaikan di awal, memutuskan untuk nantinya menikah bukan berarti bahwa saya tidak suka pada keputusan A untuk tidak menikah. Malahan, saya menjadi disegarkan kembali dan dibuat berpikir, apakah keputusan untuk menikah adalah sesuatu yang tepat? Atau, apakah menikah memang menjadi sesuatu yang saya perlukan? Di buku ini, A menyampaikan 10 + 1 gagasan mengapa ia pada akhirnya teguh untuk tidak menikah. Mulai dari alasan yang sederhana, sampai alasan yang menyertakan rumitnya logika. Salah satu alasan yang menarik, terletak pada kepedulian dan niat baik A untuk menaikkan 'harga' istri jika saja dia tidak menikah. 

Jika perkawinan ibarat pasar, orang-orang yang memutuskan tidak menikah sesungguhnya mengurangi pasokan istri seperti organisasi pengekspor minyak mengatur suplai minyak. Juga, mengingatkan para suami bahwa istri bisa tak bergantung pada dia. Dengan demikian, mestinya harga istri jadi lebih mahal sehingga harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. (Nah, saya peduli dan berniat baik, kan?) - hlm. xv
Alasan-alasan lainnya juga, seolah sama kuat dengan alasan yang saya cantumkan di atas. Dan semua alasan-alasan itu pada akhirnya ya, seperti berhasil untuk menyajikan satu sudut pandang lain tentang keputusan menikah. Perspektif lain yang membawa saya menyelami inti-inti pemikiran A dibalik keputusannya tidak menikah. Tema 'tidak menikah' inilah yang saya simpulkan, sangat mendominasi cerita dan kisah di dalam Si Parasit Lajang.

Saya katakan mendominasi karena pada dasarnya, buku ini tak hanya melulu soal keputusan menikah atau tidak menikah. Di dalamnya, buku yang terbagi atas tiga bagian besar ini (Kedai, Rumah, dan Perjalanan) turut menyampaikan catatan-catatan tentang hal-hal unik menarik yang dialami oleh A. Baik yang berkaitan dengan sahabat-sahabatnya, atau dengan sedikit bumbu hubungan percintaannya, sampai dengan kisah-kisah lucu di balik perjalanan-perjalanan yang A lakukan. Kiprah A di dunia sastra yang membuatnya sempat menginjakkan kaki di Eropa pun terasa menarik setelah dituangkannya dalam sebuah kisah. 

Sudut pandang A yang seringkali berbeda dengan sudut pandang mayoritas membuat saya mendapatkan cara baru dalam berpikir. Berpikir terbalik dan berpikir dari sisi yang tak umum. Misalnya saja, pendapatnya terkait cinta, seks, sampai kodrat seorang manusia yang saya rasa, berbeda dari pendapat kebanyakan. Pendapat mayoritas mana yang mengatakan bahwa sah-sah saja bagi seorang manusia untuk mereparasi tubuhnya? 

Ada beberapa kutipan yang berkesan bagi saya karena maknanya yang 'ngena' dari Si Parasit Lajang.

Tentang kodrat:

Jadi apa itu kodrat sebenarnya? Jika ia hukum, maka ia adalah hukum ketidakabadian. Jika ia bukan hukum, maka kodrat saya kira adalah potensi yang terberi pada kita (hlm.42)
Kesementaraan kodrat adalah kodrat pula (hlm.42)

Tentang cinta:

Dan begitulah jangan-jangan cinta. Seperti bunga. Jika ia tak lekang, berarti ia imitasi. Jika ia asli, maka ia cuma tahan tiga hari. (hlm. 83)
Cuma, cinta itu tidak seperti mawar potong, melainkan seperti pohon mawar. Perlu dirawat agar terus berkembang. Cinta adalah sesuatu yang hidup. (hlm. 83-84)
Tentang menikah:

Saya setuju bahwa manusia harus berkomitmen. Tapi, memangnya satu-satunya bentuk adalah pernikahan? Pernikahan itu bukan harus, melainkan perlu. Perlunya bagi yang membutuhkan saja. (hlm. 192)

Akhir kata...

A tak hanya sanggup merangkai jalinan pikiran yang membuat kita tak hanya membaca, melainkan juga turut masuk untuk berpikir. Meskipun pada akhirnya, jika tak ada sepakat, maka saya tak akan terlalu lama mengingat kata-kata atau pemikiran yang termuat di dalam buku ini. Mungkin bawaan otak yang memang pelupa dan jarang merekam. Akan tetapi, satu hal yang saya ingat adalah, Ayu Utami dalam Si Parasit Lajang mampu melugaskan pikiran-pikiran A dan mampu menyelipkan sisi humor yang kadang membuat saya tertawa meskipun susunan katanya tetap bagus dan tidak asal tulis.

Begitu selesai membaca Si Parasit Lajang, saya menjadi tak sabar untuk meneruskannya ke Cerita Cinta Enrico dan Pengakuan Eks Parasit Lajang, dua buku yang merupakan kelanjutan Si Parasit Lajang dalam sebuah trilogi. Dan begitulah demikian saya, menutup Si Parasit Lajang dan segera membuka lembaran Cerita Cinta Enrico.

Tunggu ulasannya ya :)

No comments:

Post a Comment

Thanks for leaving a comment :)