Tuesday, April 28, 2015

Young People And Social Media [TALKSHOW]: It's Not About Existence, It's About ACTION!

I'm supporting #YoungPeopleAndSocialMedia because a big movement is created from a simple-little thing you DO on Social Media - me
Young People And Social Media (YPASM) - It's Not About Existence, It's About ACTION!

  • TALKSHOW macam apa ya ini?
TALKSHOW kece lah pokoknya!
  • Bermanfaat nggak ya acara ini?
BANGET!
  • Ngomongin media sosial aja, toh?
Nggak, kok!
  • Atau anak muda dan sosial media?
Nggak juga, lebih dari sekadar urusan itu malahan.
  • Terus acara apa dong ini? 
Oke, oke, sebentar saya jelaskan:
Jadi, acara dengan format talkshow yang mengambil lokasi di Conclave -salah satu co-working space di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan- ini adalah sebuah talkshow yang membahas mengenai dampak-dampak positif apa saja yang bisa dihasilkan DAN diciptakan lewat media sosial. Media sosial menjadi tak lagi melulu berkutat dengan persoalan eksistensi anak muda dan bentuk perwujudan kegaulan masa kini, melainkan memiliki potensi sebagai sebuah alat untuk menciptakan perubahan nyata di Indonesia. Serunya, beberapa orang yang SUDAH melakukan AKSI POSITIF di Indonesia lewat media sosial ini datang dari kalangan anak muda. Impact-nya? Luar biasa!

Percaya nggak percaya, pengaruh-pengaruh positif yang disebarkan oleh pencetus perubahan ini bisa BERHASIL karena didasari oleh kekuatan jaring media sosial yang mampu menjangkau berbagai kalangan secara nasional bahkan global. Selain itu, populasi kaum muda saat ini juga adalah populasi yang terbesar di dunia. Nggak heran, kalau pergerakan dan perubahan yang dilakukan oleh kaum muda lewat media sosial bisa menghasilkan DAMPAK yang dahsyat. Hmm, kalau saja semua anak muda Indonesia sama-sama menggunakan media sosial untuk memberikan AKSI NYATA-nya bagi perubahan yang positif, belum kebayang deh akan jadi sekeren apa Indonesia kita nanti. 

Young People And Social Media talkshow ini diadakan pada hari Minggu, 26 April 2015 pukul 15.00-18.00. Tiga jam yang disediakan saya kira masih kurang untuk memberikan kesempatan bagi ketujuh pembicara yang hadir menyampaikan kisah-kisah seru nan inspiratif mereka. Tujuh orang yang benar-benar sudah melakukan 'sesuatu' untuk Indonesia. Lewat media sosial. Tujuh orang yang membuat saya tidak menyesal menyisakan tiga jam saya di hari Minggu itu. Betul-betul tiga jam yang diisi oleh orang-orang hebat dan memberikan banyak manfaat *tepuk tangan*.

Jujur, saya termasuk salah seorang dari 125 peserta yang beruntung. Masih banyak orang-orang yang (katanya) berminat mendaftar dan hadir, namun ternyata seat sudah penuh terisi. Untung saja, ketika pertama kali saya melihat dan mengetahui informasi acara ini, saya langsung gerak cepat mendaftar. Bahkan, saat penyelenggaranya mencoba menghubungi saya sekali lagi untuk mengkonfirmasi (dan memastikan saya akan datang) agar tidak ada jatah yang sia-sia, saya bisa dengan mantap meyakinkan diri lagi untuk datang. Saya sebenarnya lupa-lupa ingat juga, hal apa sih yang akhirnya memotivasi saya untuk betul-betul yakin ikut acara-acara begini lagi? Iya, LAGI. Pasalnya, semenjak saya lulus kuliah, saya sama sekali nggak pernah datang dan ikut-ikut acara seperti ini lagi.

Saat-saat akhir pekan yang biasanya mewajibkan saya untuk tinggal diam di rumah pun saya ingkari sesaat demi datang ke acara ini. Demi melihat dan mendengarkan langsung cerita-cerita penuh warna motivasi dan inspirasi dari tujuh pembicara yang betulan kece. Ajaibnya, sesi demi sesi saya ikuti tanpa rasa kantuk atau rasa bosan sedikitpun (biasanya sih, satu jam saja saya sudah menguap melulu).

Sesi pertama, yakni tentang perubahan lewat media sosial membuat saya sedikit berefleksi tentang kehidupan saya sendiri di media sosial.  Saya menjadi tercenung dan termenung karena sadar bahwa dengan banyaknya akun media sosial yang saya miliki, saya belum sedikitpun membawa manfaat dan atau perubahan nyata bagi Indonesia. Saya masih seujung kuku jika dibandingkan dengan mereka yang membuat gerakan anti-bullying, membuat bermacam-macam campaign positif, dan juga membuat majalah lokal berisi promosi brand-brand lokal, yang sama sekali nggak kalah kalau dibandingkan dengan majalah maupun brand luar negeri. Ah. 


Pembicara sesi pertama
Tak kalah menarik dengan sesi pertama, sesi kedua yang terpusat pada bidang traveling berhasil membuat saya semakin yakin bahwa dengan menjelajah, akan sangat banyak manfaat positif yang bisa kita dapatkan dan bisa kita bagikan ke orang lain. Terutama, jika kita memilih untuk menjelajahi Indonesia. Di sini, kita akan menemukan banyak sekali tempat indah yang mungkin saja belum terjamah dan masih bisa di-explore lagi. Dengan 'menemukan' titik-titik pariwisata itu saja, kita secara tidak sadar telah meningkatkan kecintaan diri kita sendiri pada Indonesia. Serunya, kalau kita bisa ikut menularkan juga ke orang lain rasa cinta yang kita miliki pada Indonesia.
Pembicara sesi kedua
Dengan banyaknya hal yang saya dapat dari acara ini, saya rasa sudah merupakan sebuah kewajiban tak tertulis pula bagi saya untuk ikut membagikan apa yang saya peroleh pada kalian yang tidak sempat hadir.

Saya memang belum melakukan perubahan, namun mudah-mudahan, tulisan-tulisan di bawah ini dapat menjadi hal kecil untuk ikut menularkan pada kalian semangat-semangat positif yang saya serap dari mereka-mereka yang terlebih dahulu 'melakukan'.

Nah, yuk mari disimak cerita-cerita inspiratif dari talkshow dengan ketujuh pembicara tersebut di link-link berikut ini:

@aprishiallita - Anti Bullying Movement

@felixpradipta & @joshuasudihman - Kanekin

@thirty.bucks - Traveling Story


Anyway, pada akhirnya, saya sama sekali tidak merasa rugi telah ikut acara ini. It was fun and motivating! The stories that come from speakers really amazed me...

Yuk, mulai lakukan hal-hal kecil lewat media sosial-mu demi perubahan yang lebih besar lagi!
_____________________________



Semua yang ada di ruangan saat itu :)
Courtesy of Do Something Indonesia - source: Twitter

Nyimas Laula - Ride The Yellow Volks [YPASM TALKSHOW]

Perempuan yang mengaku bahwa 'perempuan'nya hanya casing ini menjadi pembicara di sesi kedua Young People And Social Media talkshow, bersama dengan dua orang lainnya, @thirty.bucks dan @devignwn. Sebagai petualang yang terus melangkahkan kakinya pergi ke mana-mana, Nyimas Laula juga menyisakan ceritanya sendiri selama melakukan perjalanan. Cerita-cerita itu dikumpulkannya lewat foto-foto yang dilengkapi oleh hashtag #ridetheyellowvolks.

NYIMAS LAULA yang berbaju putih
Ride The Yellow Volks sendiri tercetus ketika Laula dan tiga orang lainnya (Danar, Bismo, dan Adi) melakukan sebuah perjalanan bersama ke Jogjakarta pada suatu waktu di tahun lalu. You know what? Ternyata Laula dan teman-teman perjalanannya ini dipertemukan oleh Instagram. Adalah salah besar ketika saya mengira Laula dan tiga orang lelaki tersebut sudah berteman dan atau bersahabat sejak lama. It's Instagram who get them meetLaula memaparkan bahwa persahabatan mereka bisa tercipta semenjak mereka naik gunung bersama-sama. Di situ, Laula yang sama sekali nggak ribet ketika traveling, seperti dipertemukan dengan orang-orang yang juga sama nggak-ribet-nya. Klop. Cocok.

Mengapa kemudian muncul hashtag #ridetheyellowvolks? Karena tanpa direncanakan sebelumnya, saat perjalanan ke Jogjakarta, Laula dijemput oleh bapak dari salah seorang temannya (CMIIW) dengan menggunakan VW warna kuning. Nah, dari sanalah tercetuslah ide untuk menggunakan hashtag tersebut selama mengupload foto-foto perjalanan mereka. Kemudian, hashtag ini terus berlanjut menemani foto-foto momen mereka yang diupload ke Instagram. Kebetulannya lagi, perjalanan-perjalanan Laulasempat ditemani oleh 3 VW kuning yang berbeda-beda pemiliknya. Hmm.

Laula, dalam perjalanan-perjalanan yang dilakukannya berhasil mengangkat satu nilai yang begitu esensial. Nilai persahabatan itu sendiri. Bagi saya pribadi, cerita Laula dari awal dipertemukan dengan tiga orang teman perjalanan itu, kemudian bersama-sama mengabadikan momen dengan #ridetheyellowvolks, sampai pada akhirnya merasa seperti keluarga sendiri, adalah cerita yang benar-benar membawa saya larut dalam keinginan untuk ikut menciptakan cerita saya sendiri.

Bagi Laula, Instagram betul-betul berhasil untuk connecting people (bukan slogan HP jadul itu, ya). Dari Instagram, Laula pernah merasakan perjalanan yang, meskipun dengan budget minim (prinsipnya, punya uang tinggal jalan saja), ia masih punya partner perjalanan yang bersedia membantu (percaya nggak, Laula pernah dibayarin sama Adi selama Laula melancong di Jogjakarta?). Laula juga berkesempatan merasakan nikmatnya dipertemukan sebagai strangers sampai akhirnya berhubungan dekat dan akrab seperti keluarga. Laula juga memberikan pengakuan bahwa banyak orang-orang hebat yang ia temui, ya lewat Instagram. For Laula, that's the way Instagram do to have people meet each other. Satu pendapat Laula yang menarik adalah, "traveling bukan masalah ke mana, tapi sama siapa". Laula menjadi salah satu anak muda yang, mampu menginspirasi lewat sisi lain perjalanannya. Sisi perjalanan di mana orang-orang yang menyertainya jauh lebih penting dari pada destinasi itu sendiri (even it also matters).

Dengan foto-foto Instagram yang Laula bilang diambil (katanya hanya) menggunakan iPod 4th generation, Laula juga membentuk sebuah "cerita" di captionnya. Sama seperti @thirty.bucks, Laula juga nggak mementingkan likes. Ia menggunakan Instagram bukan untuk mendapatkan likes atau followers atau semacamnya. Laula 'memakai' Instagram untuk mengabadikan momen-momennya ke dalam suatu wadah agar suatu saat nanti bisa dilihat-lihat lagi. Masalah likes atau followers yang sering diributkan banyak orang, Laula mengatakan bahwa foto yang diambil dengan menggunakan passion itu akan dengan sendirinya terpancar, foto yang bagus akan menemukan sendiri penikmatnya.

Sebagai female-traveler, Laula tidak pernah mencoba solo-traveling seperti @thirty.bucks, namun ada sebuah tips yang penting dari Laula untuk pelancong-pelancong wanita. Menurutnya, pembawaan seorang wanita ketika mengunjungi tempat baru itu harus yakin dan jangan sampai clueless. Kalau sampai kelihatan cengo' ya pasti akan digodain atau digangguin oleh warga/orang setempat.

Soal 'modal' traveling, Laula punya beberapa cara ampuh, dengan memanfaatkan skill fotografi yang ia miliki.  Setelah lulus kuliah, Laula sempat bekerja freelance. Sekali menangani suatu project (wedding project), Laula berhasil mendapatkan dukungan dana untuk jalan-jalan sebanyak tiga kali! Kemudian, Laula juga menggunakan foto-foto yang dirasanya bagus dan memiliki "nilai jual" untuk dijadikan modal. Foto-foto istimewa tersebut Laula print dan dieksklusifkan (artinya, tidak diupload ke media sosial manapun). Foto yang sudah dicetak tersebut Laula jual dan setelah laku terbeli, Laula akan menghapus data foto yang ia miliki agar terjaga otentikasinya. Cara lainnya menurut Laula, adalah cari sponsor yang mau support perjalanan Laula.
Laula, sebagai seorang wanita, menginspirasi saya untuk melakukan perjalanan, merangkai momen, membuat cerita, dan menemukan 'keluarga'. Tak hanya gaya simpel Laula yang membuat saya terkesan, tetapi juga caranya memandang media sosial sebagai 'penemu' keluarga. Yakin cuma yang di rumah aja yang disebut keluarga? 
Nyimas Laula said...
Do what you love. With passion and consistency.
______________________________

Buckhori Juniansyah - Solo Traveler [YPASM TALKSHOW]

Dari sekian banyak traveler berfollowers ribuan yang saya ikuti akun Instagramnya, jujur, saya belum pernah mendengar sekalipun nama @thirty.bucks (mungkin saya kurang gaul). Jangankan @thirty.bucks, dua travel-instagrammers lain (if I can say so), @nyimaslaula dan @devignwn yang sama-sama mengisi sesi kedua acara YPASM ini pun saya tak tahu (oke, saya kudet, hehe). Oleh karena itu, bisa datang dan mendengarkan kisah-kisah perjalanan mereka secara langsung adalah kesempatan yang benar-benar emas (serius!). Salah satu yang menginspirasi adalah cerita perjalanan seorang diri dari @thirty.bucks yang akan saya tuliskan di sini.

BUCKS!

Pada kali pertama ia berdiri dan mulai menceritakan pengalamannya, Bucks -begitu sapaan lelaki tinggi berkuncir ini- langsung menunjuk salah satu foto yang ada di layar proyektor. Bucks menunjuk fotonya di Kenawa, sebuah tempat yang ditempuh oleh Bucks seorang diri, dan nyatanya berhasil menghadirkan pengalaman-pengalaman baru yang bahkan menurutnya, mampu membuatnya teramat jatuh cinta pada Sumbawa.

Setelah menceritakan detil destinasi dari beberapa foto yang ditampilkan di layar, Bucks mulai menceritakan sebab-musabab ia menjadi pecinta kegiatan solo-traveling. Dulunya, Bucks ini terbiasa pergi traveling dengan keluarga atau dengan teman-temannya. Kemudian, Bucks sampai pada satu titik di mana ia ingin melakukan eksplorasi seorang diri saja.

Lewat pengalaman solo-traveling itu, Bucks mengakui ada beberapa hal positif yang ia dapat. Bucks bisa mengatur budget perjalanannya sendiri, mengatur ritme perjalanannya, mengatur destinasi mana saja yang ingin ia datangi, dan yang paling penting, tidak perlu menunggu-menunggu rekan perjalanan yang lain dalam bepergian. Simpel dan tidak ribet. Solo-traveling juga membuat Bucks lebih mengenal diri sendiri, lebih dewasa, dan lebih menjaga diri sendiri. Meskipun demikian, Bucks juga menyatakan bahwa ada beberapa hal yang memang menjadi kekurangan solo-traveling. Salah satu contoh sederhananya adalah, nggak bisa patungan sewa kapal atau transportasi lainnya yang bermuatan banyak. Dengan demikian, anggaran yang ditetapkan untuk pengeluaran otomatis menjadi lebih besar. 

Gaya bercerita Bucks yang terkesan slenge'an sama sekali nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan pesan solo-traveling yang sempat ia bagikan. Bucks mengungkapkan bahwa perjalanan seorang diri tak hanya memberikan pengalaman-pengalaman baru, melainkan memberikan kita kesempatan untuk melakukan apa yang dinamakan spiritual journey. Berat! (But, I'm into this thought, actually!). Bucks seakan berhasil mempertegas keinginan saya (dan juga mungkin beberapa orang lain yang hadir) untuk mencoba bepergian sendiri, feel getting lost in the middle of nowhere, meet new people, share some stories, and ah! I can hardly imagine how precious the solo-traveling-experience is. 

Terima kasih cerita-ceritanya, Bucks!

Selain itu, Bucks juga menceritakan destinasi seperti apa yang tertarik untuk ia pilih. Lelaki yang masih menyelesaikan skripsi di bangku mahasiswanya ini memilih untuk datang ke tempat-tempat yang nggak hanya bagus untuk sumber foto-foto bagus saja. Melainkan tempat-tempat baru yang juga menawarkan cerita.

Meskipun ingin sekali tinggal di Islandia, Bucks masih mengutamakan tempat-tempat di Indonesia untuk ia kelilingi. Baginya, sangat sayang jika tempat-tempat bagus di Indonesia harus dieksplorasi oleh warga negara asing duluan, dan justru tidak diketahui bahkan dikenal oleh warga negara Indonesia-nya sendiri. Miris, sih.

BUCKS DAN INSTAGRAM

Kehidupan di Instagram untuk seorang Bucks juga dimulai dari alasan-alasan yang hampir sama dengan pembicara-pembicara lain di acara Young People And Social Media talkshow ini. Pertama, upload foto ke Instagram itu sangat gampang, tinggal jepret, ditambah edit-edit sedikit, bisa langsung dipost dan dilihat banyak orang. Kedua, kalau foto-foto sudah dilihat oleh banyak orang, maka pesan yang ingin disampaikan juga cepat tersebar. Selanjutnya, foto-foto juga tinggal dipakaikan hashtag-hashtag yang relevan, sehingga langsung bisa tersebar lebih luas lagi. 

Perjalanan Bucks mengabadikan momen-momen berharganya di Instagram sebenarnya tidak menetapkan likes atau followers sebagai tujuan utama. Bucks hanya mengupload foto-foto yang ia suka. 
"Lo suka apa, ya just do it. Kalo lo konsisten juga orang bakal tau ciri khas foto-foto Instagram lo itu apa."
Hal dan atau keyakinan semacam ini yang membuat Bucks terus mengekspresikan dirinya lewat foto-foto di Instagram. Pernah sekali waktu, foto Bucks menarik minat perusahaan Audi untuk membelinya. Dan, terjadilah transaksi demikian seperti yang kalian langsung bayangkan. Karya Bucks dibeli oleh Audi dan uangnya langsung Bucks tabung untuk merealisasikan perjalanan-perjalanan berikutnya. Creativity works.

Beberapa manfaat besar menjadi traveler-instagrammer juga dirasakan oleh Bucks, seperti misalnya bertemu dengan orang-orang baru yang dikenalnya lewat jejaring Instagram. Beberapa kali juga Bucks mendapatkan kesempatan untuk menginap di rumah sesama instagrammers yang berdomisili di destinasi yang Bucks tuju. Instagram membuatnya mengenal banyak orang dan keuntungan finansialnya adalah, Bucks bisa menghemat budgetnya ketika jalan-jalan! Boleh dibilang, Bucks sudah cukup tenang kalau bepergian karena pasti ada saja instagrammer yang menawarkan penginapan untuknya. Meskipun ya, Bucks mengakui harus ada basa-basi terlebih dahulu soal penginapan ini, seperti "boleh tolong cariin gue penginapan nggak?" atau "lo tau penginapan di mana yang murah?" (HAHA).

By the way, media sosial yang satu ini memang dahsyat sekali ya? Bucks, meskipun sering bertemu orang-orang baru (yang sesungguhnya asing) lewat Instagram, sama sekali tidak pernah mengalami kejadian tidak mengenakkan seperti misalnya, ada yang berniat jahat atau sebagainya. Ia selalu menemukan orang-orang dengan pikiran positif yang membuatnya juga jadi semakin positif. Apalagi, di setiap pertemuannya dengan orang baru, Bucks selalu punya topik obrolan yang membuat suasana jadi semakin seru.

Memasukki sesi tanya-jawab, ada beraneka ragam pertanyaan yang harus dijawab oleh Bucks. Salah satunya adalah mengenai solo-female-travelers. Terkait hal ini Bucks pun memaparkan beberapa hal yang ia ketahui. Menurut Bucks, sudah banyak juga lho female-traveler yang pergi ke mana-mana sendiri. Yang paling penting adalah, bisa jaga diri. Bucks sempat menyebutkan salah seorang female-travel yang juga merupakan temannya sendiri dan terkenal di Instagram, namanya Anggey @her_journeys (I already follow her on IG, tapi kalau Bucks, beneran deh belum follow sebelumnya). Anggey ini, menurut pemaparan Bucks betul-betul seorang yang tidak bisa ditebak keberadaannya. Hari ini Anggey di titik A, besok ia bisa saja ada di titik B. Dan, Anggey sebagai salah seorang traveler wanita bisa menunjukan kalau, nggak ada masalah seorang wanita menjadi (solo) traveler.

Demi mencapai mimpi-mimpinya di tahun ini, yakni menuju Nepal, Asia Tenggara, dan Turki, Bucks masih terus menabung dan menabung. Ia sering menjadi freelancer dan ketika mendapatkan job-job lain, uang yang ia dapat terus ia tabung dan akan dipakai ketika mimpinya sudah semakin dekat di depan mata. Kegiatan traveling sesungguhnya cukup mengganggu skripsi yang sedang Bucks kerjakan, but from what I saw yesterday, Bucks benar-benar mencintai dunia traveling. So, that's what he does. TRAVELING.  
Bucks menginspirasi saya untuk berani keluar dari zona nyaman dan bergerak melihat keindahan yang terhampar di mana-mana. Sendiri pun nggak masalah karena pada akhirnya, orang-orang yang akan kita temui jauh lebih beragam dan menyisakan ceritanya sendiri-sendiri dibandingkan pergi dengan orang yang itu lagi itu lagi. So, siap untuk (solo-)traveling dan membagikan ceritamu (dan ku)?
Bucks said...
Kalau kita mau memulai sesuatu, cintai dulu apa yang mau kita lakukan itu. Kemudian, percaya sama diri sendiri kalau kita bisa melakukan itu.
Nggak usah peduli dengan omongan orang-orang yang justru menjelek-jelekan kita. 
 ______________________________

Devi Gunawan - The Good Travelers Journal [YPASM TALKSHOW]

Wanita berkulit putih berambut lumayan panjang ini (jangan mikir aneh-aneh!) mendapatkan kesempatan untuk menjadi pembicara di sesi kedua acara Young People And Social Media talkshow, bersama dengan @thirty.bucks dan @nyimaslaula. Seperti yang sempat saya ulas di tulisan ini, sesi kedua YPASM membahas tentang pengalaman traveling dari tiga anak muda yang ingin ber-AKSI lewat menjelajah.

DEVI Gunawan yang berbaju putih...
Devi Gunawan sendiri adalah salah satu dari empat orang dibalik eksisnya akun Instagram The Good Travelers Journal (@thegoodtravelers). Bersama dengan tiga orang rekannya itu, Devi, melalui akun instagram yang ia kelola tersebut, mencoba menampilkan potret berbagai pengalaman seru saat menjelajah tempat-tempat bagus nan indah. The Good Travelers menyajikan potret berbagai momen seru dan unik, yang dilengkapi dengan narasi singkat pengalaman keempat orang pencetusnya saat menjelajah. Kadang-kadang, foto dan caption singkat dari instagrammers manapun yang sesuai dengan visi misi The Good Travelers (dan menggunakan hashtag #goodtravelersjournal) pun akan direpost dan berkesempatan untuk meramaikan feed mereka.

Instagram yang kini sedang hits di kalangan anak muda, dan sesungguhnya juga menawarkan kemudahan dalam membagikan foto, ternyata sangat membantu The Good Travelers untuk mencapai misi-misinya. The Good Travelers mencoba mengenalkan berbagai destinasi yang mampu menyajikan dan menciptakan cerita tak terlupakan bagi penikmat serta penjelajahnya. Akun ini bukan akun yang menjelaskan detil perjalanan, akomodasi ataupun makanan yang harus dicoba di suatu tempat, melainkan justru mengutamakan pengalaman. Mereka lebih menonjolkan kisah, cerita, tentang apa yang bisa didapat, dan dirasakan dari sebuah perjalanan. Mereka berbagi momen dan cerita, bukan tips-tips seperti situs traveling lain yang sudah terlebih dahulu ada.

Tak hanya berkecimpung sebagai salah satu pawang The Good Travelers, Devi Gunawan juga membuat DIY printed-photo-album. Ia mewujudnyatakan foto-foto yang tadinya hanya bisa dinikmati dari layar HP, menjadi kumpulan foto yang tercetak dan memiliki lembaran-lembaran yang bisa dibolak-balik. Menurut Devi, melihat foto di atas kertas yang bisa disentuh secara langsung akan sangat berbeda rasanya dengan melihat foto hanya dari layar handphone. Ia juga sempat membuat buku tentang perjalanan yang ia lakukan ke Jogja. Desain bukunya bagus dan artistik, cukup simpel, ciamik dan membuat mata saya terus melirik ke arah Devi (sambil berpikir, where I can get that book?!).

Dengan mencetak buku tipis kumpulan foto-foto artistik dan foto jalan-jalannya, Devi mengaku mampu untuk mengumpulkan materi (baca: modal) untuk membiayai perjalanan-perjalanan selanjutnya yang ingin ia lakukan. Selain buku kumpulan foto, Devi juga menciptakan postcard yang memuat hasil jepretan tangannya. Keren ya?

Jepretan tangan Devi ini seringkali hanya didominasi oleh warna-warna putih, abu-abu, dan biru. Beberapa hasil fotonya bisa dilihat dan diakses di akun instagram milik Devi pribadi. Niscaya kalau kita mengunjungi feed Devi, kita akan terkesima dengan kepiawaiannya mengatur tone dari feed Instagramnya agar tetap konsisten. Salut!

Informasi lain lagi, Devi ternyata tak hanya jalan-jalan atau jeprat-jepret setiap saat. Kesibukan lain yang dilakukan oleh Devi adalah menjalani profesinya sebagai graphic designer.

Soal budget traveling, Devi mengaku sangat sulit untuk mengatur dan merencanakan anggaran perjalanannya. Baginya, yang terpenting adalah punya tiket. Jadi, prinsipnya ya beli tiket dulu, rencana lainnya yang belakangan. Karena buat Devi, kalau sudah punya tiket, ya pasti harus pergi.
Devi dan tiga orang temannya, lewat The Good Travelers Journal berusaha membawa semangat yang berbeda dalam mengangkat tema traveling. Perjalanan bukan melulu soal tempat indah, atau soal akomodasi dan perencanaan yang tepat, akan tetapi perjalanan itu sendiri harus dimaknai dan mampu menjadi cerita yang menginspirasi. The Good Travelers Journal sudah membagikan "sisi lain" perjalanannya lewat narasi singkat di caption, lalu apakah kamu (dan saya) mau dipancing untuk menemukan 'kisah' perjalanan itu?
Devi Gunawan said...
Jalan jalan itu nggak perlu jauh-jauh dulu. Cukup keluar rumah, jalan-jalan di sekitar, pergi ke tempat yang nggak begitu jauh, pasti akan ada suatu cerita yang bisa kita dapat dan kita bagi.
_________________________ 

Instagram The Good Travelers Journal: instagram.com/thegoodtravelers
#goodtravelersjournal

Olga Elisa - Do Something Indonesia [YPASM TALKSHOW]

Bersama @felixpradipta, @joshuasudihman, dan @aprishiallita, Olga Elisa atau @elisaolga yang bertubuh mungil ini juga hadir sebagai pembicara di sesi pertama. Jujur, ketika pertama kali melihat Olga Elisa yang mondar-mandir mempersiapkan Young People And Social Media talkshow di Conclave kemarin (she's from @dosomething_id and this event was supported by them), yang saya pikirkan adalah: "Kok kelihatannya jutek, ya?". Ternyata, di balik wajahnya yang menurut saya kelihatan jutek itu (maaf ya, mba, hehe), sudah ada sejumlah langkah perubahan yang ia cetuskan sebagai bagian kaum muda. Ia berkecimpung di Do Something Indonesia, salah satu gerakan perubahan global yang juga disuarakan di Indonesia. FYI, negara kita adalah satu-satunya negara di Asia yang menggaungkan gerakan ini, lho!

Olga Elisa dan Do Something Indonesia, melalui website dan media sosial Instagram berusaha untuk memberikan aura-aura positif bagi kaum muda. Mereka mencoba mengajak anak-anak muda yang berusia maksimal 24 tahun untuk mulai peduli dengan apa yang terjadi di sekeliling, mulai melakukan sesuatu yang berguna, dan pastinya bisa menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik.

Do Something Indonesia memiliki tiga hal yang esensial dan potensial.

Pertama, yakni hal SOSIAL. Pada masa sekarang, isu sosial telah mengambil posisi penting dalam masyarakat. Secara perlahan, mulai banyak bermunculan orang-orang, terutama dari kaum muda, yang mulai memperlihatkan kepeduliannya pada permasalahan sosial. Sayangnya, kebanyakan dari mereka belum memiliki ide atau petunjuk tentang bagaimana menciptakan perubahan itu sendiri dan bagaimana bisa mengajak massa yang banyak. Di sinilah, peran Do Something Indonesia. Menciptakan perubahan, sekaligus mengajak kaum muda tadi menjadi agen-agen perubahan.

Kedua, YOUTH. Jiwa dan semangat muda dari kaum muda di jaman sekarang tak bisa diremehkan. Populasi terbesar di dunia diisi oleh kaum muda. Oleh karena itu, Do Something Indonesia, dengan target yang juga adalah kaum muda, berusaha untuk menggerakkan kekuatan kaum muda maha dahsyat ini demi menciptakan perubahan positif.

Ketiga, DIGITAL. Tidak bisa disangkal atau dipungkiri, dunia ini, termasuk Indonesia di dalamnya, secara mantap melangkahkan kaki masuk ke dalam era digital. Semua dilakukan dengan menggunakan sarana digital (digital tools/digital activation). Ini jelas lebih mudah dan mampu menjangkau target dengan lebih luas. Hal esensial yang terakhir ini kemudian juga terkandung dalam tagline Do Something Indonesia: Aksi sosial apapun, kapanpun, di manapun.

Perubahan positif dapat berdampak besar jika dimulai dari hal yang kecil. Oleh karena itu, Olga Elisa sebagai orang dibalik Do Something Indonesia mencoba mempengaruhi kaum muda untuk mau memulai aksinya dari hal-hal kecil, kapanpun dan di manapun. Bagaimana caranya? Nah, di sinilah media sosial berperan. Kekuatan media sosial yang bisa menjamah siapapun dari sudut Indonesia manapun dimanfaatkan secara tepat oleh Do Something Indonesia. Percaya atau tidak, they really do make global impact! Positively!

Wow! Sampai di sini saya sendiripun masih takjub dengan cara orang-orang ini, salah satunya @elisaolga, memanfaatkan media sosial untuk sesuatu yang lebih penting dari sekadar eksis dan gaul. What have I done with all of my social media accounts? *talktomyself*.

Perubahan Positif. Jika dari tadi saya membahas perubahan positif yang dicetuskan Do Something Indonesia tanpa pernah menyebutkan bentuk perubahan itu sendiri, maka sekarang, giliran contoh-contoh perubahan itu yang akan saya tuliskan.

Penggunaan HASHTAG di Instagram

Do Something Indonesia mengajak kaum muda untuk mendukung dan mengapresiasi kaum muda lainnya di Instagram dengan menggunakan hashtag #temankuhebat. Hashtag ini bukan tanpa tujuan. #temankuhebat memiliki misi untuk meningkatkan self esteem dari setiap individu muda, setelah menimbang dan melihat kasus-kasus anak muda yang sering mengalami depresi dari hari ke hari karena tidak percaya diri.

#temankuhebat muncul untuk perlahan mengatasi krisis anak muda tersebut. #temankuhebat merupakan satu langkah kecil di Instagram yang mengutamakan prinsip apresiasi kepada teman sendiri. Dengan menggunakan hashtag tersebut, secara tidak langsung kita ikut membantu meningkatkan self esteem anak muda yang jumlahnya super banyak di luar sana. Saya percaya, langkah kecil campaign #temankuhebat ini akan memiliki dampak yang luas. Sederhana, bukan?

Selain #temankuhebat, Do Something Indonesia juga membuat hashtag #coolwithoutsmoking. Dari artinya saja kita sudah tahu bahwa campaign yang satu ini memiliki kaitan yang erat dengan rokok. #coolwithoutsmoking mengajak kaum muda untuk menyadari bahaya merokok dan tanpa merokok pun, kaum muda bisa jadi cool dan berpengaruh!

AMBASSADOR DAN SPECIAL AGENT

Agar dampak yang dihasilkan oleh hashtag-hashtag sakti tersebut dapat lebih meluas lagi, Do Something Indonesia menggunakan perpanjangan tangan yang dinamakan Ambassador Do Something Indonesia. Mereka terdiri atas anak-anak muda yang sudah melakukan aksi positif untuk perubahan. Dengan pengaruh yang para ambassador tersebut miliki, niscaya pesan yang ingin disampaikan Do Something Indonesia bisa tersebar lebih luas lagi.

Selain Ambassador, Do Something Indonesia juga memiliki Special Agent. Mereka-mereka ini berasal dari anak-anak muda yang memiliki ide-ide campaign kreatif dan tentunya...POSITIF. Mereka bertugas mencari tahu isu untuk campaign apa yang sedang IN, dan mereka juga bisa memberikan idenya untuk direalisasikan. Mereka-mereka sang Special Agent ini juga harus bisa menjelaskan bentuk campaign-nya seperti apa dan manfaatnya apa.

(Lagi) MENGAPA MEDIA SOSIAL? MENGAPA INSTAGRAM?

Media sosial digunakan karena berkaitan dengan salah satu hal esensial tadi juga, DIGITAL. Sebenarnya, Olga Elisa menjelaskan bahwa Do Something Indonesia memiliki beberapa platform untuk menyuarakan aksinya. Namun, yang paling secara visual membuktikan bahwa sebuah aksi sudah dilaksanakan (everything needs proof right?) adalah (jelas) Instagram. Selain itu, seakan virus yang mudah membelah diri, Instagram adalah salah satu media yang cepat untuk viral. That's why, they work on it. 
Olga Elisa, dengan Do Something Indonesia telah merealisasikan sebuah alat dan kendaraan untuk melakukan AKSI SOSIAL. Tinggal kita yang memutuskan, mau tetap diam atau mulai ikut memberikan aksi kecil kita.
Olga Elisa said...
Start something positive with social media. Aksi atau gerakan perubahan apapun harus dilakukan dengan YAKIN dan penuh konsistensi.
Knowing your target is a must as well.
___________________________________



Felix Pradipta & Joshua Sudihman - KANEKIN [YPASM TALKSHOW]

Sama seperti @aprishiallita, DUO Felix Pradipta dan Joshua Sudihman juga mengisi acara Young People And Social Media di sesi pertama, bersama dengan @elisaolga. Mereka berdua, bagi saya adalah cowok-cowok keren dengan ide-ide kreatif, out of the box, yang totally membawa dampak positif. Apa yang telah mereka buat dan hasilkan (baca: KANEKIN) saya kira benar-benar berguna bagi kemaslahatan orang banyak, terutama orang-orang yang bergelut di industri lokal (pencipta dan penggiat brand lokal). 


Kiri ke kanan: Moderator (Yani), Joshua, Felix 
So, what is KANEKIN?

Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan selama duo ini cuap-cuap di depan, KANEKIN ini sebenarnya merupakan Graphic House dan sering menangani urusan-urusan tentang brand. Kemudian, seiring berjalannya waktu, mereka berinisiatif meluncurkan Kanekin Magazine, sebuah majalah yang mengulas tentang brand lokal. Inisiatif ini tentu tidak muncul begitu saja, melainkan punya 'sebab' di baliknya. Joshua mengaku bahwa ia dan Felix memiliki keprihatinan terhadap pengusaha-pengusaha brand lokal yang usahanya naik turun hanya karena kurangnya support terhadap brand lokal. Kebanyakan orang-orang Indonesia sendiri, justru banyak yang nggak percaya diri kalau menggunakan barang-barang dari brand lokal, padahal kalau hal seperti ini dibiarkan, maka roda usaha ini pasti akan terus meredup. Untuk itu, Kanekin Magazine, dengan konsep desain yang minimalis dan eksklusif (nggak kalah sama majalah-majalah mahal keluaran luar negeri) berusaha menjadi satu wadah atau media untuk mengenalkan serta mempromosikan brand dalam negeri yang sebenarnya juga sangat berkualitas bahkan layak untuk bersaing dengan brand dari luar. Kanekin Magazine diciptakan untuk memuat artikel-artikel yang menarik dan mengulas tentang cerita dibalik perjalanan sebuah brand atau entrepreneurship di Indonesia, termasuk bagaimana awalnya brand itu berkembang. Artikelnya dikemas dalam bentuk cerita (story).

Sebegitu menarik konsep dari Kanekin Magazine ini, Joshua dan Felix sampai berhasil mendapatkan satu tawaran yang tidak diduga-duga. Joshua mengibaratkannya seperti menang lotre. Ceritanya, ketika edisi pertama dari Kanekin Magazine ini terbit dan mulai dipromosikan lewat media sosial Instagram, Joshua dan Felix menerima sebuah email masuk yang dikirim oleh seorang ahli IT dari Amerika. Orang tersebut menyatakan ketertarikan dan kesukaannya pada value dan visual yang dibawa oleh Kanekin Magazine. Orang ini pun menawarkan jasanya untuk membuatkan website bagi Kanekin Magazine. Dengan segala kerumitan website yang diajukan oleh Joshua dan Felix, orang ini tetap menyatakan sanggup. Lah, analogi lotrenya di mana? Di sini: website tersebut akan dibuatkan secara GRATIS, padahal nilai pembuatannya sendiri mencapai 100 juta. WOW!

Sampai saat tulisan ini dibuat, website Kanekin Magazine masih dalam proses pembuatan. Nantinya, website ini akan dibuat sedikit berbeda dengan Kanekin Magazine versi cetak. Jika Kanekin Magazine versi cetak ditulis dalam bahasa Indonesia, maka website Kanekin Magazine akan dikembangkan dalam bahasa Inggris. Kemudian, versi cetak Kanekin dengan tagline Indonesian Brand Story itu akan terus memuat ulasan dan cerita dibalik brand lokal berkualitas di Indonesia, sementara versi web-nya akan mulai mengulas juga tentang brand luar (well, strategy) dengan komposisi konten 60%-40% untuk brand lokal. Ah ya, satu perbedaan lagi! Kanekin versi website nantinya juga akan lebih tuntas mengulas profil orang-orang yang ada di balik sebuah brand itu sendiri, sedangkan versi cetaknya akan membahas bagaimana brand itu sendiri dapat berkembang.

Dalam satu bagian Tanya-Jawab, Joshua sempat mengajak semua orang yang memiliki BRAND LOKAL (fashion, restaurant, hashtag, dll) untuk submit profil ke Kanekin Magazine agar dimuat *lumayan, lho!*. Syarat brand yang ceritanya akan dimuat di Kanekin juga tidak terlalu sulit, yakni sebagai berikut:

- brand betul-betul asli buatan sendiri,
- kreativitas tampak secara nyata (harus ada kreativitas-nya!), dan
- berasal dari ide sendiri.

Biaya? Nggak perlu memikirkan biaya karena Kanekin Magazine akan memuat profil brand lokal terpilih secara cuma-cuma alias tidak perlu bayar alias gratis! Nah, kelihatan kan bagaimana Felix, Joshua, dan Kanekin-nya betul-betul ingin mendukung perkembangan brand lokal? It's truly positive

Selanjutnya, pertanyaan yang wajib dan harus ditanyakan:

MENGAPA LEWAT MEDIA SOSIAL? Dan MENGAPA INSTAGRAM?

Joshua dan Felix, lewat Kanekin, lebih memilih Instagram karena basic mereka berdua yang sama-sama dari jurusan desain visual. Untuk itu, bagi mereka berdua, platform yang lebih mewakili kebutuhan visual adalah Instagram. Selain itu, pertumbuhan komunitas (community) di Instagram juga tergolong cepat. Ini akan jadi salah satu hal menarik jika dikaitkan dengan ilmu strategi. Bukan begitu? Nah, satu lagi alasan yang nggak ketinggalan adalah bahwa Instagram betul-betul sedang happening di masa sekarang ini.  

Dengan menggunakan media Instagram sebagai alat untuk menyuarakan aksinya, Joshua dan Felix juga pernah mengalami minimnya dukungan pada awal Kanekin terbentuk. Namun, secara perlahan tapi pasti, dengan nilai kreatif yang ditunjukkan, serta dengan konsistensi yang Kanekin bangun, banyak juga orang-orang yang mulai mengenal bahkan ingin tahu dan ingin membaca langsung Kanekin magazine.

Kejadian minim dukungan ini juga ternyata tidak hanya dirasakan oleh Kanekin, melainkan dirasakan pula oleh Felix secara pribadi. Felix adalah seorang yang mencetuskan ide untuk menggunakan hashtag #whiteaddict di Instagram. Alasannya sederhana, Felix sangat menyukai foto dan sering mengambil foto yang didominasi oleh warna putih. Kemudian, setelah memiliki ide ini, Felix sering meminta teman-temannya untuk ikut menggunakan hashtag #whiteaddict di Instagram dan responnya beragam. Ada yang dengan senang hati mendukung, namun ada pula yang merasa #whiteaddict itu nggak perlu. Lalu apa yang dilakukan Felix? Ia tetap konsisten mengunggah foto-foto #whiteaddict-nya ke Instagram dan sampai saat ini, foto-foto yang menggunakan hashtag #whiteaddict sudah mencapai 70ribu lebih. Bukan dari Felix seorang, melainkan juga dari banyaknya pengguna Instagram lain yang tertarik. Cool!

Kembali lagi ke Kanekin Magazine, ketika ditanya mengenai profit, duo ini mengaku bahwa mereka nggak mengambil untung sama sekali. Tujuan mereka memang terletak pada value atau nilai yang ada dalam diri Kanekin Magazine dan ingin ditonjolkan.

Sependengaran saya, Kanekin Magazine ini dibanderol dengan harga yang tidak bisa dibilang murah. Satu eksemplarnya bisa diperoleh dengan harga 155ribu rupiah namun begitu, kedua edisi Kanekin Magazine tetap habis terjual. Bahkan orang-orang yang tertarik ingin membaca Kanekin, jumlahnya lebih banyak dari jumlah eksemplar Kanekin Magazine yang dicetak. @elisaolga, sebagai salah satu orang yang membeli Kanekin Magazine ini mencoba mengemukakan alasan atas ketertarikannya pada Kanekin. She said...
Kanekin Magazine ini menarik, hanya digagas oleh dua orang, tanpa dikerjakan oleh tim besar seperti tim majalah di luar negeri namun bisa menghasilkan karya yang berkualitas bagus. Foto-fotonya bagus dan bahan majalahnya sendiri pun bagus. 
Ternyata benar ya, kualitas dan nilai yang dibawa oleh suatu produklah yang paling penting dan dipertimbangkan oleh orang-orang. We see that Kanekin already proved it!


Dalam satu tahun perjalanannya, Kanekin telah menghasilkan dua majalah yang berbobot dan membuktikan dukungannya terhadap brand lokal. Tak hanya suka, duka Felix dan Joshua pun ada. Mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka harus mengerjakan semuanya sendiri dan beberapa kali sampai pagi. Walaupun demikian, ketika hasilnya sudah jadi dan membawa manfaat bagi orang lain, pasti rasanya bangga banget ya jadi mereka berdua?
Mereka sudah berani dukung produksi dan karya dari negeri sendiri dengan KANEKIN, lalu kamu (dan saya) berani dukung hal positif apa?
JOSHUA AND FELIX SAID...

Kalau mau membuat dan melakukan sesuatu di media sosial, just keep on posting. Jangan lupa juga untuk cari sekutu sebanyak-banyaknya. Semua bermula dari massa yang kecil, kelompok yang kecil. Minta tolong semua kontak yang ada untuk turut membantu dan percayalah semua akan meluas. That's how networking works. Dan tetap KONSISTEN.
__________________________


Instagram KANEKIN: @kanekin_

Website: on progress

Aprishi Allita - Anti Bullying Movement [YPASM TALKSHOW]

Wanita berparas ayu dan kelihatan jenius ini berkesempatan untuk membagikan ceritanya di sesi pertama acara Young People And Social Media bersama dengan @felixpradipta, @joshuasudihna, dan @elisaolga. Bagi saya, aura seorang Aprishi seakan terpancar keluar dan... POSITIF. Keprihatinan yang ia suarakan pun bukan perkara mudah atau sederhana. Aprishi menaruh perhatian penuhnya pada isu BULLY. Dengan segala yang telah (dan masih) ia lakukan di perjalanan hidupnya, juga dengan semua kisah yang ia bagikan di acara ini, Aprishi mampu menunjukkan bahwa anak muda, mampu berguna. Anak muda mampu menciptakan perubahan. Dan anak muda, mampu menyelamatkan anak-anak muda lainnya yang terkena kasus tak mudah: BULLY

APRISHI (kanan) bersama dengan Moderator (Yani L)
Aprishi atau yang biasa dipanggil Pishy merupakan lulusan jurusan Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia. Pada tahun 2009, setelah lulus dari studinya, Pishy pernah bekerja sosial di panti asuhan. Di sana, ia menemukan banyak anak-anak sekolah di bangku SMP dan SMA yang sulit disuruh pergi bersekolah. Selidik punya selidik, ternyata anak-anak itu tidak ingin bersekolah bukan karena rasa malas. Mereka merasa minder karena mereka adalah anak panti, sementara sekolah mereka adalah sekolah umum. Mereka suka dibully oleh siswa-siswa yang lain. Pembullyan inilah yang akhirnya membuat anak-anak SMP-SMA itu malas pergi ke sekolah dan malah lebih memilih bermain di panti.

Dari sana, Pishy mulai berpikir bahwa harus ada sebuah pihak yang peduli dengan anak-anak korban bully tersebut. Tak hanya peduli, tetapi juga ikut mendukung dan memberikan semangat bagi korban-korban bully supaya berani menghadapi bully. Pikiran tersebut lantas tak hanya diam di kepala Pishy, melainkan justru membuat Pishy melakukan suatu langkah dan tindakan nyata. Dari sana, muncullah gerakan ANTI-BULLYING dengan Pishy sebagai pencetusnya. Sejak 2009, Pishy mulai meletakkan perhatian lebih dalam isu ini. Ia melakukan penelitian, penyuluhan ke sekolah-sekolah, bahkan pendekatan personal dengan korban-korban bully. Beberapa kali juga Pishy pernah menjadi pembicara di berbagai acara.

Tidak berhenti di situ, Pishy juga menyuarakan perhatiannya ke dalam sebuah buku berjudul Cool In School yang diterbitkan pada tahun 2013. Pishy menulisnya dengan tutur bahasa yang lebih fun dan mudah dimengerti. Menurutnya, buku-buku yang mengangkat isu soal bully selama ini memiliki bahasa dan gaya penulisan yang kaku, sehingga sulit untuk dimengerti. Maka dari itu, Cool In School dihadirkan oleh Pishy dengan gaya yang berbeda.

Source: aprishiallita.com
Menyusul hal tersebut, Pishy juga mengajak beberapa orang untuk mendukung kampanye Say No To Bullying dengan membuat dan mengunggah video bertajuk #CISDance. #CISDance ini adalah gerakan dance gokil yang diciptakan khusus untuk mendukung dan menyebarkan pesan anti-bullying. Beberapa artis yang turut mendukung kampanye ini DAN sudah mengupload videonya adalah Vidi Aldiano dan Soulvibe. Beberapa #CISDance bisa kalian tengok di sini (hasil kepo-kepo, hehe):


Pishy masih terus aktif mengkampanyekan gerakan anti-bullying hingga saat ini. Melalui blog yang dibuatnya sendiri, Pishy bersedia menampung cerita-cerita atau curhatan dari mereka-mereka yang terkait kasus bully. Ada dua cara yang Pishy tawarkan, pertama yakni melalui Kotak Sharing dan kedua, melalui Cerita Kamu. Kalau di Kotak Sharing, orang yang curhat akan secara terbuka menunjukkan identitas aslinya, maka di Cerita Kamu, orang-orang yang ingin curhat ke Pishy dapat mengirimkan ceritanya lewat email terlebih dahulu, baru setelah itu Pishy akan mempublikasikan cerita itu secara anonim, berikut dengan solusi yang sudah diberikan oleh Pishy. Setelah saya kunjungi laman blog Pishy, ternyata selain korban bully itu sendiri, ada juga pelaku pembullyan yang ikut curhat dan meminta saran pada Pishy.  Jadi, nggak hanya korban yang curhat, pelakunya juga! Hehe.

Ketika di acara kemarin, Pishy diminta untuk memberikan contoh kasus-kasus pembullyan. Ada beberapa hal yang seperti terlihat sepele, namun ternyata bisa digolongkan ke dalam kasus bully-membully juga. Misalnya, masalah yang biasanya menimpa kaum cewek itu adalah pembullyan karena rebutan cowok. Kemudian, berbeda dengan cewek, kasus bully yang kerap ditemukan di kaum cowok adalah yang berkaitan dengan fisik serta tawuran. Contoh kasus bully lainnya yang secara umum sering terjadi adalah kasus geng-gengan dan atau senioritas.

Pertanyaan yang paling penting di sini adalah, KENAPA PISHY MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL? Ia pun menjawabnya sederhana. Dulu, selama satu tahun ia 'bergerak', ruangnya sangat terbatas. Ia harus melakukan penyuluhan, penelitian, dan pendekatan ke korban serta orangtua korban secara bersamaan. Korban yang bisa ia tangani secara intensif akhirnya ikut-ikutan terbatas, hanya tiga korban dalam satu tahun. Untuk itu, Pishy berpendapat bahwa tidak mungkin ia mengujungi satu per satu korbannya secara terus menerus. It takes time. Akhirnya, media sosial-lah jawabannya. Dengan aktif di Twitter dan Instagram, Pishy bisa menyuarakan perhatian dan kampanye yang sedang ia lakukan. Pishy bisa menghimpun dukungan yang banyak. Dan dengan BLOG andalannya, Pishy bisa membantu semua orang, dari mana pun. 

Ada suka, ada duka. Gerakan yang merupakan inisiatif Pishy ini pun pernah memiliki cerita kurang mengenakkan. Pishy pernah ditelfon oleh anak yang sudah terlanjur depresi dan mengaku ingin bunuh diri. Terus-menerus ingin bunuh diri. Kalau sudah begini dan tidak bisa ditangani oleh Pishy lagi, maka korban bully dengan kasus semacam ini akan dialihkan ke psikolog.
PISHY sudah selangkah menuju perubahan dengan gerakan SAY NO TO BULLYING-nya. Bagaimana dengan kamu (dan saya)?
PISHY SAID...
Kalau memang mau 'bergerak' atau menciptakan sebuah gerakan, pikirkan niat bikin gerakan itu apa? Tujuannya harus jelas dan jangan patah semangat!
Also, make your brand INTERESTING. Dan sesuaikan dengan anak-anak muda.
__________________________ 


Tuesday, April 21, 2015

Filosofi Kopi The Movie: 'Menikmati' Rio Dewanto dan Chicco Jerikho.

Kopi! Ah, saya suka mendengar kata itu. Saya juga suka menyesapnya beberapa kali dengan hikmat secara nikmat. Tapi sayang, perut saya seringkali bergejolak menolak ketika saya sudah mulai meminumnya terlalu banyak. Ah, namun bukan itu yang ingin saya bahas di tulisan ini. Lebih dari secangkir kopi atau sebungkus besar biji kopi, saya ingin membahas tentang karya sastra hasil imajinasi cerdas Dewi Lestari yang diadaptasi ke layar lebar berjudul Filosofi Kopi.

Bagi kalian yang sudah menyaksikan filmnya di bioskop, saya bisa jamin akan sangat sedikit dari kalian yang tidak memujinya bagus (meskipun saya masih yakin semuanya akan sepakat mengatakan jika filmnya sangat bagus).

Bagi kalian yang belum menyaksikan filmnya di bioskop, saya dengan senang hati memaksa kalian secara halus untuk segera menuju bioskop terdekat dan terhemat untuk bisa menyaksikan film ini (kalau film sudah tidak ada di peredaran, kalian bisa tunggu DVDnya rilis! —atau download, hehe…—). Kalaupun kalian tidak berminat setelah membaca sinopsisnya, kalian pasti akan tetap terhibur dengan wajah tampan Rio Dewanto feat Chicco Jerikho ATAU wajah cantik khas Prancis Julie Estelle. Hmm.

Bagi kalian yang sudah membaca cerita Filosofi Kopi di kumpulan cerpen berjudul sama, tetapi belum menyaksikan filmnya di bioskop, saya dengan rendah hati mengingatkan kalian bahwa jalan cerita Ben dan Jody akan cukup berbeda antara buku dan film. Percayalah. Akan banyak penyesuaian-penyesuaian dan penambahan peran baru yang berbeda dengan yang sempat kita temukan di dalam halaman-halaman pertama buku Dee berjudul Filosofi Kopi. Namun, penyesuaian-penyesuaian itu sejatinya mampu menjadi bumbu improvisasi yang menyenangkan sehingga tetap saja, kalian harus menonton Filosofi Kopi The Movie!

http://www.filosofikopimovie.com/
SINOPSIS

Ben dan Jody, sepasang sahabat yang tumbuh besar bersama sedari kecil memutuskan untuk berduet membuka usaha kedai kopi bernama kedai Filosofi Kopi. Ben sebagai peracik kopi handal dan Jody sebagai penghitung keuangan merangkap penyedia kapital. Persahabatan mereka tak lantas membuahkan kekompakan. Perdebatan demi perdebatan datang setiap harinya, berkutat di persoalan obsesi meracik kopi sempurna, ada atau tidaknya layanan WiFi, serta persoalan keuangan yang semakin kritis menipis.

Di saat-saat genting, datang sebuah tawaran —lebih tepatnya tantangan— dari seorang pengusaha kaya untuk seorang Ben. Barista ini diminta untuk meracik kopi terenak senusantara bahkan sedunia yang akan disajikan pada investor incaran sang pengusaha kaya. Nominal taruhannya tentu tidak sedikit. Dalam waktu yang relatif singkat dan sangat terbatas, Ben terus giat melakukan sejumlah penelitian dan eksperimen secara berkepanjangan. Akhirnya, Ben berhasil menciptakan Ben’s Perfecto, sebuah racikan kopi yang diduga “sempurna”.

Di masa keemasan Ben’s Perfecto —saat itu Ben’s Perfecto belum diujikan pada pengusaha kaya plus investor terkait—, datang seorang wanita penikmat kopi bernama Elle yang tanpa sengaja membawa kabar keberadaan kopi Tiwus pada Ben dan Jody. Konon menurut kesaksian Elle, seorang Q-Grader yang bersertifikasi internasional, Ben’s Perfecto masih belum mampu mengalahkan kenikmatan kopi Tiwus yang ditemukan di sebuah sudut Pulau Jawa. Ben’s Perfecto belum mampu membuktikan dirinya sebagai yang paling ‘sempurna’.

Kehadiran kopi Tiwus ternyata tak sekadar berpengaruh pada mood Ben yang hampir menghilangkan obsesinya pada kopi, akan tetapi kopi Tiwus juga membawa perubahan dalam perjalanan hidup Ben, Jody, dan Elle.

KESANKU PADAMU, FILOSOFI KOPI THE MOVIE

Ada banyak hal yang disajikan dalam film Filosofi Kopi. Berbeda dengan cerita pendeknya yang secara singkat membawa makna “hidup tak ada yang sempurna”, Filosofi Kopi The Movie selain bercerita tentang kopi juga mampu menyeruakkan aroma kecintaan pada alam, kerenggangan hubungan ayah-anak, dan yang paling kental, persahabatan. Film ini sanggup membangunkan sisi kemanusiaan yang mungkin lama tertidur, sadar atau tidak sadar, dalam setiap individu. Film ini mampu “menghidupkan” apa yang terkesan kaku di dalam cerita pendek dalam buku. Entah tangan sutradara atau penulis skenario yang harus diacungi jempol, saya masih merasa terkagum-kagum akan cara pengemasan film ini yang betul-betul (lebih dari) menarik.

Kopi sebagai bagian dari alam, tentu dihasilkan dari tanaman yang ditakdirkan membuahkan biji kopi. Begitupun halnya dengan kopi Tiwus yang juga dilahirkan dari tanaman kopi di perkebunan kopi milik Pak Seno (Slamet Rahardjo). Ya, Pak Seno adalah orang yang dengan sangat tekun dan penuh kasih sayang, terus merawat tanaman kopinya hingga membuahkan biji-biji kopi yang penuh citarasa. Meskipun hanya disajikan dengan cangkir seadanya, serta hanya mampu dinikmati di dalam sebuah kedai kopi berdinding anyaman bambu, nyatanya kopi Tiwus mampu membuat Ben merasa kalah dalam tantangan yang diberikan sang pengusaha. Alih-alih meminta Pak Seno menjelaskan proses pembuatan kopi Tiwus dari masih biji hingga menjadi secangkir kopi enak secara ilmiah dan teoritis, Ben hanya berhasil mendapatkan wejangan kampung sederhana dari sang penanam kopi Tiwus. Kurang lebih wejangannya begini, ‘Merawat tanaman itu susah-susah gampang. Sama halnya dengan mengurus anak sendiri. Harus dirawat dengan penuh kasih sayang hingga menjadi baik tumbuhnya.’ Memang benar begitu seharusnya, bukan? Tanaman atau tumbuhan itu juga kan, makhluk hidup.

Perjalanan mencari kopi Tiwus membuat Jody dan Elle pada akhirnya menjumpai momen di mana mereka saling bertukar cerita tentang ayah yang sudah tiada namun meninggalkan sisa luka. Setelah pertemuannya dengan kopi Tiwus juga, Ben mampu berdamai dengan ayahnya setelah belasan tahun berlalu. Hubungan yang renggang antara ayah dan anak memang secara sempurna menyelimuti kehidupan tiga tokoh utama dalam film ini. Kehidupan Ben, Jody, dan juga Elle. Namun, cerita ayah-anak inilah yang membawa mereka terus berupaya berdamai dengan masa lalu dan salah satu caranya adalah dengan menjelajah bersama kopi.

Beralih dari hubungan ayah-anak, hubungan persahabatan Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto) dalam FIlosofi Kopi The Movie memang benar-benar bisa dijadikan teladan bagi mereka yang mengaku bersahabat. Kepiawaian kedua aktor memainkan peran dan berdialog lugas tanpa terkesan menghafal, berhasil membawa pesan persahabatan itu sendiri. Kesan spontan dan natural membuat saya makin-makin mengagumi seluruh rangkaian cerita yang melibatkan mereka berdua. Adegan demi adegan bertajuk persahabatan Ben dan Jody sanggup membuat saya merasakan betapa hubungan persahabatan yang erat tanpa kemunafikan, tanpa niat jahat dan niat menjatuhkan, nyatanya mampu membuat persahabatan itu sendiri awet selama belasan tahun (dan mungkin selama-lamanya). Mereka menyajikan hubungan persahabatan yang hampir tanpa filter saat berkomunikasi, yang hampir secara terang-terangan mengungkapkan apa yang dirasa —marah ya marah, kesal ya kesal, berontak ya berontak— tanpa berusaha menutup-nutupi dan memanipulasi rasa. Satu kata untuk persahabatan Ben dan Jody (yang dimainkan oleh dua aktor tampan nan memanjakan mata): SUPER!

Terakhir, sepintas dalam Filosofi Kopi The Movie saya juga dapat menangkap pesan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita bersama, menyelesaikan berbagai masalah bersama-sama, serta perjuangan untuk mengalahkan ego demi menyelamatkan nasib kedai yang dibangun bersama. Terkadang, hidup memang butuh perjuangan, bukan begitu?

YEAY! MARI MENYAKSIKAN FILOSOFI KOPI THE MOVIE!

Selain makna-makna sederhana yang saya (dan kalian akan) temukan dalam berbagai kepingan adegan, saya juga sangat ingin mengakui bahwa film ini betul-betul menyajikan sesuatu yang tak hanya memanjakan mata, tapi juga mengaduk rasa. Saya dibawanya ke dalam rasa haru, rasa lucu nan menggelitik, serta rasa yang ah bahkan saya pun tak tahu cara mengungkapkannya.

Tak lupa, saya turut mengapresiasi kerja keras seluruh tim di balik layar, terutama sutradara yang (dipastikan) bertangan dingin. Teknik pengambilan gambar yang ciamik —yang tak terlalu saya pahami namun saya kenal sedikit-sedikit—, suara-suara TAK GADUH alias lagu-lagu pengiring —yang sejauh telinga mendengar semuanya enak—, serta lanskap yang acap kali ditampilkan, semuanya keren!

TAPI, sekeren-kerennya sebuah film dibuat, pasti masih ada kekurangannya. Di film ini untungnya saya hanya menemukan satu hal yang cukup mengganggu (nggak tahu kalau penonton lain, ya). Satu hal di mana Joko Anwar, sang sutradara film Indonesia yang terkenal itu, muncul dalam salah satu adegan dan berperan sebagai penagih utang. Betul-betul tidak begitu pas aktingnya. Dialognya secara gamblang berkesan dihafal dan sedang berusaha diingat-ingat. Logatnya setengah Batak setengah Jakarta. Untungnya, Joko Anwar hanya muncul di satu adegan saja dan selanjutnya adegan-adegan di Filosofi Kopi kebanyakan didominasi oleh dialog Ben & Jody yang kerap kali mengundang tawa. Seru, lah!

Filosofi Kopi The Movie bagi saya telah mengajak semua penontonnya untuk:
menikmati Indonesia lewat kopi, menikmati hidup tanpa melulu menuntut sempurna, berdamai dengan masa lalu, dan yang terpenting, mengajarkan arti persahabatan sejati.

Selamat, ibu suri Dewi ‘Dee’ Lestari.

Selamat, Angga Dwimas Sasongko atas hasil karyanya di layar lebar.

*prok prok prok*