Wednesday, May 27, 2015

Cerita Cinta Enrico: Tak Melulu Harus Ikut 'Yang Seharusnya'

Sesuai komitmen saya di tulisan sebelumnya (Si Parasit Lajang: Membaca Perspektif Pernikahan Yang Lain) bahwa saya akan melahap Cerita Cinta Enrico segera setelah saya kenyang "Si Parasit Lajang", maka di sinilah saya sekarang, mencoba menuangkan hasil bacaan saya dalam bentuk ulasan yang, mungkin tak terlalu mendalam, tapi punya cukup gambaran. 

Seperti Apa Kisah 'Cerita Cinta Enrico'?


Friday, May 22, 2015

Cerita Peniti

Saya punya dua kemeja yang bilamana saya pakai, saya membutuhkan satu peniti untuk disematkan di antara kancing kedua dan kancing ketiga (kancing pertama tentu saja yang terletak pada kerah dan biasanya tak dikancingkan). Hal ini saya lakukan karena kancing kedua terlalu berdekatan dengan kerah sehingga membuat saya tidak begitu merasa nyaman. Tapi kalau seandainya saya melepas kancing kedua, maka nanti saya akan dibilang pamer dada. Makanya, saya membutuhkan peniti untuk disematkan di antara kancing kedua dan kancing ketiga.

Persoalan peniti ini sebenarnya sederhana saja. Dulu, berminggu-minggu yang lalu, saya punya dua buah peniti yang ukurannya sedang-sedang saja. Tidak terlalu besar, tapi tidak terlalu kecil juga. Peniti ini sangat akrab dengan saya, apalagi ketika saya sedang ingin menggunakan salah satu di antara dua kemeja yang butuh peniti. Sayangnya, sekali waktu peniti saya hilang karena kelalaian saya yang lupa meletakkannya entah di mana. Saya mencari peniti itu ke kamar mandi, ke lemari, ke meja belajar, meja rias, tapi tak juga saya temukan. Saya kemudian teringat bahwa saya masih punya satu buah lagi peniti. Ya sudah, saya ikhlaskan saja kehilangan satu peniti.

Tak lama berselang, lagi-lagi karena kelalaian saya, peniti kedua pun turut lenyap. Seingat saya, saya sempat sematkan peniti itu di kemeja saya yang lain, tapi tak juga saya temukan lagi peniti kedua itu. Lagi, saya mencari peniti itu ke kamar mandi, ke lemari, ke meja belajar, meja rias, tapi tak juga saya temukan. Kali ini, saya harus pasrah kehilangan dua peniti.

Dalam beberapa minggu ke depan, pilihan saya hanya dua terkait dua kemeja itu: 1) tidak menggunakannya sama sekali karena tidak ada peniti, dan 2) tetap menggunakannya tanpa rasa nyaman karena harus dikancingkan di kancing kedua. Dan saya memlilih mengambil pilihan yang pertama. 

Alangkah senangnya saya ketika dua tiga hari lalu saya main ke daerah Kota, tepatnya di kawasan Pancoran Glodok, saya menemukan abang-abang penjaja barang rupa-rupa. Ada gelas, ada pisau, ada karet untuk kaki kursi dan meja, ada obeng, dan ada peniti! Saya langsung mengambil satu renceng peniti dan ternyata harganya dua ribu rupiah. Beli tiga renceng jadi lima ribu rupiah. Karena kebetulan uang saya di saku celana berupa uang lima ribuan, saya memutuskan untuk sekaligus membeli tiga.

Sejak hari itu sampai hari ini, akhirnya saya kembali menggunakan salah satu kemeja saya. Kemeja yang tak nyaman dengan mengatupkan kancing kedua, namun nyaman dengan peniti di antara kancing kedua dan ketiga. Malangnya nasib peniti itu, di malam hari ketika saya harus berganti baju, saya menjatuhkan peniti itu ke dalam jamban ketika hendak melepaskannya. Saya tak berusaha mengambilnya, karena peniti di kamar saya masih ada dua renceng plus satu renceng minus satu peniti. Mungkin akan berbeda urusannya jika saja peniti yang terjatuh di jamban itu adalah peniti terakhir yang ada pada saya.

Hari ini, kerinduan saya akan kemeja berpeniti satu lagi membuat saya memutuskan untuk menggunakannya kembali. Tentu, satu peniti lagi dari rencengan peniti yang sudah kehilangan satu penitinya, saya ambil untuk disematkan di antara kancing kedua dan kancing ketiga kemeja agar saya tidak dibilang pamer dada. Saya pun merasa gembira karena kemeja itu bisa saya gunakan lagi dan untungnya masih muat! Mengingat, sudah lama kemeja itu tak saya gunakan karena saya tak punya peniti.

Sepulang saya dari bepergian keluar dengan kemeja berpeniti, saya memutuskan untuk berhati-hati ketika hendak berganti pakaian lagi. Saya tak mau peniti saya yang ini harus masuk jamban lagi. Saya lepaskan dari kemeja dengan hati-hati dan saya selamatkan peniti ini untuk sampai di kamar dan kembali pada rencengannya lagi. Melihat dua renceng plus satu renceng minus satu peniti masih teronggok rapi, seharusnya saya tidak perlu khawatir jika peniti hari ini harus hilang dan masuk jamban lagi. Akan tetapi, peniti saya tetaplah peniti, yang saya selalu butuhkan jika ingin menggunakan dua kemeja itu tadi. Mau hanya dua biji atau sekarang sudah ada dua renceng plus satu renceng minus satu peniti, saya tetap butuh peniti. Dan layaknya orang membutuhkan, ke depan nanti seharusnya saya tidak lalai lagi dan tetap menjaga semua peniti yang saya miliki.

Thursday, May 21, 2015

Si Parasit Lajang: Membaca Perspektif Pernikahan Yang Lain

Saya ingin menikah. Tentu saja. Karena saya ingin punya anak dari suami yang sah. Tapi dengan keinginan saya yang seperti itu, bukan berarti saya tidak mengagumi karya Ayu Utami yang satu ini. Karya ini adalah karya Ayu pertama yang saya baca. Karya dari seorang penggelut sastra yang, tampaknya punya kendali penuh atas dirinya sendiri. Terutama kendali atas keputusan menikah. Atau tidak menikah.

Apa itu Si Parasit Lajang?

Awalnya, pada tahun 2013 ketika saya membeli buku ini, saya kira Si Parasit Lajang adalah sebuah novel yang menceritakan tentang pilihan mantap seorang perempuan muda urban untuk tidak menikah. NOVEL. Nyatanya, setelah pada tahun ini saya akhirnya membaca, buku ini bukanlah ditulis dalam narasi runut berkonflik seperti layaknya sebuah novel. Buku ini lebih layak disebut sebagai kumpulan cercahan pikiran dan catatan keseharian dari seorang A. A di sini saya duga tak lain adalah Ayu Utami sendiri, selaku penulis. Jadi, membaca ini sama saja dengan membaca pikiran-pikiran Ayu Utami serta jurnal sehari-harinya di era 90-an.

Si Parasit Lajang sendiri adalah sebuah istilah yang berasal dari lontaran seorang feminis Jepang. Di mana yang disebut single parasite atau Si Parasit Lajang adalah wanita berkarir maju yang tidak menikah, yang tetap numpang di rumah orangtua mereka tanpa perlu mengurusi segala sesuatu karena ada orang lain yang mengerjakan hal-hal rumahan. Istilah itu dipakai karena selayaknya ciri-ciri itu, begitulah juga tokoh A menggambarkan dirinya sendiri di dalam buku ini.  

Cewek, Cerdik, Cuek

Tak ada yang lebih menyenangkan dari pada menjadi seorang cewek yang cerdik dan cuek. Begitu yang saya kira. Dan mungkin di sini awal kata sepakat antara saya dan Si Parasit Lajang. Bedanya, kesepakatan antara kita terpisah ketika tokoh A ini lebih memutuskan untuk tidak menikah di akhir usia duapuluhannya. Sementara saya, mungkin di awal usia duapuluhan ini, saya tetap bertahan pada keputusan untuk menikah. Soal calon, itu urusan belakang. Betul?

Lagi, sama seperti apa yang saya sampaikan di awal, memutuskan untuk nantinya menikah bukan berarti bahwa saya tidak suka pada keputusan A untuk tidak menikah. Malahan, saya menjadi disegarkan kembali dan dibuat berpikir, apakah keputusan untuk menikah adalah sesuatu yang tepat? Atau, apakah menikah memang menjadi sesuatu yang saya perlukan? Di buku ini, A menyampaikan 10 + 1 gagasan mengapa ia pada akhirnya teguh untuk tidak menikah. Mulai dari alasan yang sederhana, sampai alasan yang menyertakan rumitnya logika. Salah satu alasan yang menarik, terletak pada kepedulian dan niat baik A untuk menaikkan 'harga' istri jika saja dia tidak menikah. 

Jika perkawinan ibarat pasar, orang-orang yang memutuskan tidak menikah sesungguhnya mengurangi pasokan istri seperti organisasi pengekspor minyak mengatur suplai minyak. Juga, mengingatkan para suami bahwa istri bisa tak bergantung pada dia. Dengan demikian, mestinya harga istri jadi lebih mahal sehingga harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. (Nah, saya peduli dan berniat baik, kan?) - hlm. xv
Alasan-alasan lainnya juga, seolah sama kuat dengan alasan yang saya cantumkan di atas. Dan semua alasan-alasan itu pada akhirnya ya, seperti berhasil untuk menyajikan satu sudut pandang lain tentang keputusan menikah. Perspektif lain yang membawa saya menyelami inti-inti pemikiran A dibalik keputusannya tidak menikah. Tema 'tidak menikah' inilah yang saya simpulkan, sangat mendominasi cerita dan kisah di dalam Si Parasit Lajang.

Saya katakan mendominasi karena pada dasarnya, buku ini tak hanya melulu soal keputusan menikah atau tidak menikah. Di dalamnya, buku yang terbagi atas tiga bagian besar ini (Kedai, Rumah, dan Perjalanan) turut menyampaikan catatan-catatan tentang hal-hal unik menarik yang dialami oleh A. Baik yang berkaitan dengan sahabat-sahabatnya, atau dengan sedikit bumbu hubungan percintaannya, sampai dengan kisah-kisah lucu di balik perjalanan-perjalanan yang A lakukan. Kiprah A di dunia sastra yang membuatnya sempat menginjakkan kaki di Eropa pun terasa menarik setelah dituangkannya dalam sebuah kisah. 

Sudut pandang A yang seringkali berbeda dengan sudut pandang mayoritas membuat saya mendapatkan cara baru dalam berpikir. Berpikir terbalik dan berpikir dari sisi yang tak umum. Misalnya saja, pendapatnya terkait cinta, seks, sampai kodrat seorang manusia yang saya rasa, berbeda dari pendapat kebanyakan. Pendapat mayoritas mana yang mengatakan bahwa sah-sah saja bagi seorang manusia untuk mereparasi tubuhnya? 

Ada beberapa kutipan yang berkesan bagi saya karena maknanya yang 'ngena' dari Si Parasit Lajang.

Tentang kodrat:

Jadi apa itu kodrat sebenarnya? Jika ia hukum, maka ia adalah hukum ketidakabadian. Jika ia bukan hukum, maka kodrat saya kira adalah potensi yang terberi pada kita (hlm.42)
Kesementaraan kodrat adalah kodrat pula (hlm.42)

Tentang cinta:

Dan begitulah jangan-jangan cinta. Seperti bunga. Jika ia tak lekang, berarti ia imitasi. Jika ia asli, maka ia cuma tahan tiga hari. (hlm. 83)
Cuma, cinta itu tidak seperti mawar potong, melainkan seperti pohon mawar. Perlu dirawat agar terus berkembang. Cinta adalah sesuatu yang hidup. (hlm. 83-84)
Tentang menikah:

Saya setuju bahwa manusia harus berkomitmen. Tapi, memangnya satu-satunya bentuk adalah pernikahan? Pernikahan itu bukan harus, melainkan perlu. Perlunya bagi yang membutuhkan saja. (hlm. 192)

Akhir kata...

A tak hanya sanggup merangkai jalinan pikiran yang membuat kita tak hanya membaca, melainkan juga turut masuk untuk berpikir. Meskipun pada akhirnya, jika tak ada sepakat, maka saya tak akan terlalu lama mengingat kata-kata atau pemikiran yang termuat di dalam buku ini. Mungkin bawaan otak yang memang pelupa dan jarang merekam. Akan tetapi, satu hal yang saya ingat adalah, Ayu Utami dalam Si Parasit Lajang mampu melugaskan pikiran-pikiran A dan mampu menyelipkan sisi humor yang kadang membuat saya tertawa meskipun susunan katanya tetap bagus dan tidak asal tulis.

Begitu selesai membaca Si Parasit Lajang, saya menjadi tak sabar untuk meneruskannya ke Cerita Cinta Enrico dan Pengakuan Eks Parasit Lajang, dua buku yang merupakan kelanjutan Si Parasit Lajang dalam sebuah trilogi. Dan begitulah demikian saya, menutup Si Parasit Lajang dan segera membuka lembaran Cerita Cinta Enrico.

Tunggu ulasannya ya :)

Monday, May 18, 2015

Bergandengan Tangan

Hari Minggu sudah tiba lagi. Tapi, saya tetap harus bangun pagi. Ah, rasanya seperti tidak ada hari libur sama sekali saja. Minggu pun harus bangun pagi untuk bisa mengikuti Misa pagi di Gereja. Apa saya tidak boleh berleha-leha 24 jam tanpa ke mana-mana? Bagaimanapun juga, setelah kebiasaan mengeluh pagi-pagi, saya akhirnya beranjak juga dari kasur. Lantas, lekas saya berbenah diri setelah kembali terjaga pukul tujuh tadi.

Saya Anna. Saya tinggal di kosan seorang diri karena jauh dari rumah. Saya pegawai kantoran biasa yang setiap hari masuk kerja pukul delapan dan pulang pukul lima. Tentunya, kecuali hari Sabtu dan Minggu. Bukan-bukan, kecuali hari Minggu saja. Hari Sabtu tak bisa saya hitung libur karena saya kadang juga disuruh masuk kalau ada keperluan mendesak. Benar-benar kantor yang memeras tenaga.

Jarak beratus bahkan beribu kilometer dari rumah tidak membuat saya melupakan rutinitas hari Minggu. Semenjak dulu masuk kuliah, saya selalu diingatkan dan secara tidak langsung 'dipaksa' untuk tetap beribadah setiap Minggu. Siapa lagi yang mendesak kalau bukan orang tua. Kadang-kadang, diri terasa sungguh malas untuk berpindah dari kenyamanan tempat tidur menuju ketenangan rumah Tuhan. Namun apa daya, rutinitas ini secara otomatis terlalu melekat dan sulit untuk dielak.

Misa di Gereja dekat kosan saya dimulai pukul delapan tiga puluh pagi. Seperti biasa, pukul delapan teng, saya sudah tiba di Gereja supaya bisa duduk di bagian dalam dan tak perlu berpanas-panasan di luar. Kali ini saya sendiri. Kalau ada teman ya sama teman. Kalau tidak ya, sendiri pun sudah biasa.

Tak lama berselang, sekitar pukul delapan lebih lima belas menit, segerombol keluarga datang dan mengambil tempat duduk di samping saya. Tampak sederhana dan tidak berlebihan. Tokoh ayah berpakaian cukup rapi dengan kemeja abu-abu dan celana panjang hitam. Tokoh ibu berpakaian sangat rapi dengan dress batik warna biru dongker dan tas berwarna senada. Tanpa banyak perhiasan dan tanpa make-up tebal. Tokoh anak-lah yang paling lucu. Anak laki-laki bertubuh sedikit gempal, berkemeja kotak-kotak biru muda, dan bercelana jeans hitam. Pipinya yang bulat, betul-betul menggoda saya untuk mencubit gemas. 

***

"Atas petunjuk penyelamat kita, dan menurut ajaran ilahi, maka beranilah kita berdoa..." ucap Romo yang memimpin Misa pagi itu menandakan bahwa perayaan Ekaristi sudah sampai pada bagian doa (lagu) Bapa Kami. "Bagi yang datang berkeluarga, silahkan bergandengan tangan satu sama lain."

Selalu ketika doa Bapa Kami dilantunkan dalam bentuk nyanyian, saya akan membuka kedua telapak tangan saya dan menghadapkannya ke atas seakan meminta berkat dan penyertaan Tuhan. Saya tak datang berkeluarga, jadi saya tak menggandeng siapa-siapa.

Baru saja lagu Bapa Kami memasukki bagian '...dimuliakanlah nama-Mu,...', tiba-tiba tangan saya diraih oleh anak laki-laki bertubuh gempal tadi. Sontak saya terkejut sekaligus menahan senyum juga. Tangannya yang masih seukuran tangan anak SD mencoba membuat pautan tangan kami semakin erat. Saya yang heran, kemudian beralih pandang dari tangan anak kecil menuju ke wajah ibu si anak. Ibu itu menoleh singkat, kemudian tersenyum.

Dalam hati saya hanya bisa berujar, lucu juga ya digandeng anak kecil yang bahkan saya nggak kenal asal muasalnya ini

***

Sepanjang bagian Bapa Kami hingga Komuni, saya terus penasaran dan bertanya-tanya tentang hal apa yang membuat anak gempal itu menggandeng tangan saya. Mungkin kelihatannya sederhana, tetapi hal ini betul-betul mengusik dan membuat penasaran. Akhirnya, setelah saya membuat tanda salib usai berdoa pasca Komuni, saya menyenggol pelan perut anak kecil di samping saya dengan siku. Mudah-mudahan perutnya nggak sakit.

"Dek, nama kamu siapa?"
"Tius, kak."
"Kamu datang sama mama papa aja? Kakak-adik mana?"
"Kakak saya kerja di luar kota. Kalau adik, saya nggak punya. Kak, ini kan masih Misa, jangan ajak saya ngobrol dulu ya. Ssst..." ucapnya sambil menempelkan jari telunjuk di kedua bibir yang terkatup.
"Oh, iya iya." balas saya sambil mengambil jarak lagi. Heran, anak kecil ini ternyata cukup cerdas dan pintar untuk tidak menimbulkan kegaduhan di dalam gereja. Justru saya yang mengajaknya ngobrol duluan. Ah, saya jadi malu sebagai orang dewasa. Tapi sungguh, saya penasaran dengan sikap bocah ini. Apa karena kakaknya sedang berada di luar kota, makanya ia menggandeng tangan saya sebagai bentuk kerinduan akan kakaknya? Hmm, mungkin juga. Bisa jadi bisa.

***

Setelah berkat Tuhan lewat Romo diberikan, perayaan Ekaristi hari Minggu itu resmi selesai. Saya menutup dengan doa pribadi, kemudian begitu panjatan doa selesai, wajah saya segera beralih lagi ke bocah di samping saya. Syukurlah, dia belum pulang. Maka, saya buka lagi percakapan yang tadi sempat disudahkan.

"Nah, Misanya sudah selesai. Sekarang sudah boleh ngobrol, Tius?"

"Sudah. Memangnya kenapa sih, kak?" tanyanya dengan wajah yang seakan minta dicubit semalam suntuk.

"Nggak apa-apa kok. Kakak kan mau nambah-nambah temen aja."

"Oooooohh."

"Tius, Tius, kakak mau tanya deh."

"Tanya apa?" 

Sebelum bertanya, saya melihat kedua orang tuanya masih berlutut memanjatkan doa penutup. Nah, nggak apa-apa deh ngobrol sama anaknya dulu. "Tadi kamu kok gandeng-gandeng tangan kakak sih?"

"Loh, memang nggak boleh ya kak? Kan kata Romo tadi, yang datang berkeluarga disuruh gandengan tangan. Kata mama aku, kita semua yang ada di Gereja ini keluarga. Kalau bisa, aku malah mau gandeng seeeeeeeeeeeemuanyaaa." Nah loh!

"Berarti setiap minggu, kamu selalu menggandeng orang lain di samping kamu?"

"Hmm, nggak setiap minggu kak. Kakak sepertinya orang kedua yang aku gandeng dan heran. Minggu-minggu sebelumnya, aku cuma gandeng mama dan kakakku. Tapi kakakku kan baru pergi ke luar kota dua minggu lalu. Jadi nggak ada lagi yang aku gandeng di sebelah kanan." usai Tius menyelesaikan pembicaraannya (yang sedikit membuat saya terpana juga), mamanya bangkit dari posisi berlutut dan duduk menoleh serta senyum pada saya.

"Saya memang mengajarkan anak saya begitu, Mba. Semua orang di dunia ini adalah keluarga. Bahkan di luar Gereja ini juga, semua adalah keluarga. Kan nenek moyang kita saja sama ya Mba? Sama-sama Adam dan Hawa. Makanya, saya ajarkan anak-anak saya, kalau mereka harus rendah hati sama semua orang. Setiap orang yang dijumpai, ya keluarga juga. Semua hanya masalah jalinan, dekat sekali atau jauh sekali." ternyata ibu bocah ini langsung berinisiatif menjelaskan dan memaparkan. Saya tertegun sekaligus menahan senyum.

"Wah, ibu nggak takut anaknya kelewat baik sama semua orang?"

"Ya nggak, Mba. Saya tentu juga mengajarkan dia untuk selalu berhati-hati dan menjaga diri. Dari kecil harus diajarkan begitu agar dia juga tahu pentingnya melindungi diri. Kalau soal konsep keluarga sih, ya keluarga kandung saja masih ada yang suka punya niat jahat, jadi kuncinya ya hati-hati. Siapapun memang keluarga, tapi keluarga sekalipun belum tentu sepenuhnya baik. Jadi itu kembali lagi ke niat masing-masing orang yang berjumpa dengan anak saya, Mba. Saya bekali dia untuk tidak membeda-bedakan orang lain, sekaligus mengajarkan dia realita yang ada tentang macam-macam sifat orang." sekarang giliran tokoh ayah yang bangkit dari posisi berlutut dan ikutan menoleh serta senyum pada saya.

"Ibu nggak terlalu jauh mengajarkan hal-hal seperti ini? Anak kecil kan masih lugu, bu? Memangnya sudah mengerti?"

"Seharusnya, sudah. Tadi saja Tius gandeng tangan Mba, kan?..."

Belum sempat saya menjawab, tokoh ayah sudah memotong pembicaraan. Saya yakin ia tak sengaja.

"Ayo, Ma. Nanti susah keluar parkirannya."

"Oh iya, Pa." jawab tokoh ibu sambil berdiri dan merapikan dress serta mengambil tas tangannya. "Mari Mba, duluan."

"Eh, iya bu. Mari, mari."

"Dadah kak!"

"Dadah Tius!!!"

***

"Kakak cantik kenapa tadi pas Bapa Kami gandeng tangan aku?" tanya perempuan kecil itu dengan suara yang masih bocah.

"Dek, tadi kan Romo bilang, yang datang berkeluarga sebaiknya bergandengan. Nah, kamu sudah kakak anggap jadi keluarga kakak sendiri. Kita semua di sini kan satu keluarga. Kamu nggak kasihan sama kakak yang datang ke Gereja sendirian, nggak sama siapa-siapa?"

***

Wednesday, May 13, 2015

Pantai

"Apa mimpi terbesarmu?" tanya seorang sahabatku.

"Menginjakkan kakiku ke semua pasir pantai di Indonesia dan merendamkan bagian betisku ke semua air laut di Indonesia."

"Hahaha, bagaimana mungkin? Apa bedanya setiap pantai dan air laut di negara ini? Rasanya semua sama saja."

"Kamu salah kalau begitu. Tak semua pantai di sini ada yang serupa. Ada yang airnya biru jernih, tanpa karang. Ada yang airnya tak jernih, namun pasirnya halus. Ada yang pasirnya berwarna pink. Ada yang ombaknya besar seakan menggoda untuk menggulung. Ah, kau tak akan tahu nikmatnya sebelum kau sambangi semuanya."

"Masa iya begitu? Sekali waktu aku pernah ke Pantai Anyer kemudian melipir ke Pantai Carita. Airnya keruh, banyak sampah dan seakan tak terurus. Begitupun dengan beberapa pantai lain yang kukunjungi namun tak sanggup ku ingat namanya. Sampah berhamburan di mana-mana."

"Itu bukan salah pantai. Itu salah pengunjungnya. Mengapa mereka menyerakkan sampah seakan tak ada tempat pembuangan yang layak? Mengapa mereka seenaknya mengotori alam yang sesungguhnya dapat menjadi kekuatan Indonesia. Ah, aku jadi kesal sendiri dibuatnya. Lantas hanya karena kamu melihat beberapa pantai kita tak terurus, kamu enggan untuk menjenguk yang lain? Betul-betul menyesal kamu nanti."

"Entahlah. Aku tak merasa pantai dan air laut mampu menggoda. Rasanya membosankan. Hanya air dan air. Melulu itu. Kalau tidak air, ya pasir. Apa lagi? Karang? Ah, tak ada yang istimewa."

"Kamu hanya belum menemukan kenikmatannya, Ya. Percayalah, setiap kamu mendengar deburan ombaknya, merasakan pasirnya, halus maupun tidak, kamu akan merasakan sesuatu yang membuatmu menyatu dengan alam. Belum lagi jika kamu membiarkan dirimu tergulung ombak hingga ia membawamu terseret kembali ke bibir pantai, bebas Ya, bebas. Seakan semua bebanmu lepas. Atau misalnya, kamu naik perahu motor untuk melihat lumba-lumba di tengah laut, ketika perahu itu berjalan dan memecah air laut menjadi buih-buih, rasanya itu nikmat tiada tara. Sekelilingmu laut. Luas, seolah tak berujung." ceritaku bersemangat.

"Kamu bercerita seolah kamu sangat akrab dengan pantai dan air laut. Memang kamu bisa berenang? Memang kamu bisa menyelam?"

"Tidak bisa. Lantas mengapa? Tak bisa berenang dan tak bisa menyelam tak semata-mata harus membuatku bermusuhan dengan laut, toh? Aku berani main ke laut yang kedalamannya hanya sampai sedadaku. Atau aku berani sekedar snorkeling pakai pelampung untuk melihat indahnya terumbu karang dan ikan-ikan kecil yang berenang. Aku juga tidak masalah kalau hanya sekadar menikmati pantai dari pinggir laut. Pokoknya, energiku seakan terisi penuh kalau aku lihat pantai. Begitu."

"Ya ya, baiklah, silahkan kamu kejar mimpimu itu."

"Iya pasti. Lantas, apa mimpi terbesarmu?"

"Membantu mewujudkan mimpi terbesarmu."

"..."