Selain menghabiskan sedikit pundi-pundi untuk memberi sedikit apresiasi seni (dan nambah-nambah koleksi), saya pun sempat mampir ke salah satu sub acara bertajuk Bioskop Keliling KACF 2015. Di bioskop KACF 2015 ini, saya mendapat kesempatan untuk menyaksikan film-film pendek yang memang tidak begitu luas beredar di pasaran.
Sayangnya, karena saya hanya datang di KACF 2015 hari kedua, maka pemutaran film pendek di hari pertama terpaksa saya lewatkan. Tapi, nggak apa-apa. Dikasih makan 9 film pendek di hari kedua pun cukup bikin saya kenyang (meski setelah sesi terakhir pun, saya mendapati perut saya keroncongan).
Pemutaran film ini terbagi atas tiga sesi, ada yang jam 15.00, 17.00, dan 19.00. Masing-masing sesi akan memutarkan tiga film pendek yang dirasa berkorelasi dengan tiga tema berbeda di setiap sesinya.
Suasana Bioskop Keliling KACF 2015, PIC Creative Room, Kuningan City |
Setelah menonton film-film berdurasi singkat namun penuh makna tersirat itu, rasanya nggak lengkap kalau saya nggak mengabadikan kesannya di laman blog ini. Maka, beginilah kesan yang saya ingin ingat-ingat sampai nanti.
Sesi 1: “Don’t Get Fooled” (mulai pukul 15.00)
Seperti maknanya, film-film dalam tema "Don't Get Fooled" intinya ingin memberitahu kita supaya tidak mudah dibodoh-bodohi oleh apa yang tampak. Maksudnya, sebagai manusia berakal, jangan sampai kita mudah menerima begitu saja apa yang terlihat. Karena segala sesuatu yang terlihat, belum tentu terbaca. Kita harus terus menggali maknanya. Kita harus jeli menangkap pesan yang tak terendus indera. Pun menyelam hingga ke dasar.
Barang tentu sulit dan rumit memang. Tapi itulah caranya jika tak mau terus terjebak pada apa yang terlihat saja.
Di sesi ini, ada tiga film yang punya cerita dibalik cerita. Film yang memaksa kita mulai melihat apa yang tidak terlihat oleh kasat mata.
Pertama, ada film Manuk, karya sutradara Ghalif Putra Sadewa. Bercerita tentang seorang istri yang menuntut perhatian suaminya, dengan menggunakan satu skenario kebohongan. Istri mengatakan bahwa ia sedang hamil, namun tak ada sebenih apapun di rahim. Dusta dilakukan untuk menghalau suaminya dari perhatian berlebih terhadap manuk-manuk (burung-burung) peliharaan.
Kadang, kebohongan memang membuat kesal. Sudah diharap-harap akan punya anak, ternyata tak ada senyawa hidup di dalam perut. Namun, patut ditengok maksud dari kebohongan tersebut. Sederhana, hanya seorang istri yang mengharap akan selalu ditanya. Ya, kalau buat saya pribadi, menyampaikan yang tak terlihat boleh, tapi mungkin dengan penyampaian lugas, semua akan lebih baik? Lebih kecil kemungkinan untuk merasa dibodohi.Dan tak perlu merasa disakiti. Bukan begitu?
Kedua, adalah film Scripted karya Jethro. Menit-menit pertama film diputar, saya tak menemukan sesuatu yang spesial. Pasalnya, film pendek ini hanya mengangkat cerita mengenai seorang kontestan dari ajang pencarian bakat tarik suara yang punya kisah hidup mengharukan. Selintas, tampak biasa. Terlebih, buat saya sendiri, akting para pemainnya masih kaku dan terlihat belum natural. Cerita pun, hingga menjelang menit-menit terakhir, masih terlihat datar. Sampai benar-benar menjelang akhir, saya (dan juga semua penonton, saya kira) langsung tertegun dengan epilognya. Ya, mungkin selama 90% durasi film, saya berhasil merasa dibodohi. Karena sebenarnya, kisah mengharukan dari kontestan tersebut hanya rekaan semata. Semua kru dibayar untuk berbohong sedemikian rupa.
Bisa dibayangkan, sudah selama apa kita dipermainkan oleh acara-acara di televisi? Mungkin dulu-dulu kita belum terlalu jeli terhadap hiburan yang dinikmati. Namun, daripada harus melulu ditipu televisi demi rating, ada baiknya sekarang kita sudah boleh pilih-pilih. Mungkin. Tidak mungkin?
Selanjutnya ada film Apa Salah Bersama Malam dan Menolak Pagi karya Adi Victory. Awalnya, jalan cerita biasa saja. Malah cenderung menjengkelkan. Dikisahkan setiap pagi, seorang lelaki selalu dicereweti ibunya karena belum kunjung punya pekerjaan dan tambatan hati. Ia hanya bermalas-malasan, baca koran, sambil menyesap segelas teh hangat entah manis entah tawar.
Sampai suatu hari, lelaki yang nyaris tak berguna ini, menghampiri satu kios penjual boneka yang dijaga oleh seorang perempuan muda berparas manis. Toko boneka ini tak begitu jauh dari warung tenda, tempat ia biasa memamah. Namun, tujuan lelaki itu bukan untuk berkenalan dengan sang penjaga. Ia justru mengambil boneka paling besar, dan adegan kejar-kejaran dengan sang penjual dimulai.
Berhenti di sini. Mungkin sebagian yang menyaksikan akan bertanya-tanya, untuk apa boneka itu? Bukan, saya berani jawab boneka itu bukan untuk dijual lagi dan menghasilkan uang. Melainkan, boneka itu justru berperan besar dalam menjawab hasrat sang pemuda. Meski terus-menerus memikirkan makna filmnya sampai di luar ruang pemutaran, toh, sampai sekarang saya merasa masih ada yang belum berhasil saya tangkap. Yang ada, saya justru dikenalkan pada satu kelainan bernama Agalmatophilia.
Lelaki itu punya kelainan. Kelainan itu mendorongnya mencuri boneka. Lantas, jika mencuri karena didorong satu kelainan, patutkah itu masih kita nilai salah? Ah, entah.
Lelaki itu punya kelainan. Kelainan itu mendorongnya mencuri boneka. Lantas, jika mencuri karena didorong satu kelainan, patutkah itu masih kita nilai salah? Ah, entah.
Bersambung ke: KACF 2015: Tentang Bioskop Keliling Day #2, Sesi 2 (17:00)
No comments:
Post a Comment
Thanks for leaving a comment :)