SINOPSIS
Seorang lelaki dua bersaudara bernama Margio merasakan
bahwa ada harimau bersemayam di dalam tubuhnya ketika ia mulai beranjak dewasa
meninggalkan remaja. Lika-liku kehidupan keluarga yang carut-marut sudah
menjadi makanan sehari-harinya, bahkan semenjak ia berusia bocah. Sebut saja kekerasan
seorang ayah terhadap anak dan keluarganya hingga kemurungan seorang ibu yang
berujung kesintingan kemudian berakhir perselingkuhan dengan tetangga.
Selingkuhan ibunya yang dipikir mampu membuat bahagia tak lebih dari seorang
pecundang mata keranjang. Cinta akan ibunya membuat harimau dalam lelaki ini
bertindak menghabisi nyawa sang perebut hati ibunya dengan cara yang paling
brutal.
CUAP-CUAP MENGULAS
Sudah lama saya nggak pernah baca novel dengan begitu
serius. Meskipun nyatanya saya harus menghabiskan waktu hampir seminggu, novel
berbobot 190 halaman ini habis juga saya lalap.
Alasan pemilihan novel ini sebagai salah satu anggota
di daftar buku yang akan saya baca sebenarnya cukup sederhana. Pertama, rangkuman
cerita di cover bagian belakang novel
ini cukup menarik dan unik. Membuat saya penasaran untuk mendalami kisahnya.
Kedua, novel ini saya rasa bukanlah sebuah novel percintaan remaja yang dulu
menjadi makanan saya saat SMA. Ketiga, saya ingin mencoba mencicipi sebuah
bacaan yang lumayan ‘berat’, atau setidaknya mampu membuat otak saya sedikit
bekerja untuk mencerna kata per kata hingga rajutan kalimat di setiap
paragrafnya. Dan saya rasa, Lelaki Harimau cukup mampu membebani otak saya dengan
ceritanya yang rumit dan penuh kejutan.
Ketika mata dan otak saya berusaha bersinergi memahami
permulaan cerita di halaman pertama, di situ saya langsung merasa lelah. Bahasa
dan diksi yang digunakan terkesan cukup ‘jadul’. Latar yang digunakan juga
tidak kalah kuno. Tidak ada penggunaan gadget.
Hanya ada layar tancap bersama di lapangan. Latar tempat hanya di perkampungan
(yang disebutkan sebagai kota) dan latar waktu sepertinya adalah masa-masa kala
sinema Cintaku di Kampus Biru masih berjaya.
Demi menghabiskan halaman-halaman selanjutnya, mau tidak mau saya harus
menyesuaikan diri dan berusaha memahami gaya penulisan yang digunakan sang
pengarang, Eka Kurniawan.
Seorang pembaca yang memberikan pengakuan di cover belakang novel ini menyebutkan
bahwa novel ini serupa dengan kesimpangsiuran dan ketumpangtindihan
bahasa-bahasa Byron, Kafka, Virgina Woolf, Edgar Alan Poe, Faulkner, Marquez,
dan juga Morrison. Siapa mereka? Saya sendiri bahkan hanya pernah mendengar
namanya namun tidak begitu tahu pasti seperti apa bahasa mereka. Yang pasti,
novel ini dengan kerumitannya yang tak terbantahkan, mampu membuat saya tenggelam
larut dalam kisahnya.
Dengan alur campuran yang digunakan, saya seolah
dipermainkan sekali maju sekali mundur kemudian maju lagi, mundur beberapa
langkah ke belakang, kemudian maju lagi hingga saya mencapai akhir cerita.
Hebatnya, saya tidak pernah merasa dipermainkan dengan tak layak. Perpindahan
setiap bagian kisahnya terlalu (atau bahkan sangat) halus. Penghubung antar
kisah dibuat sedemikian saru sehingga saya kadang tidak sadar bahwa saya sedang
dipaksa mundur ketika saya berada di satu peristiwa ataupun sebaliknya. Uniknya,
titik awal dan titik akhir kisah ini hanya bertumpu pada satu peristiwa, yakni
pembunuhan yang dilakukan Margio dengan begitu sadis —kemudian diketahui bahwa
harimau di dalamnya lah yang berperilaku—.
Keseluruhan kisah yang dituangkan Eka di dalam novel
ini membuat saya menganga begitu selesai membaca. Seluruh kekecewaan, kesadisan,
kesedihan, berikut juga kesengsaraan bahkan nafsu birahi seperti
dicampuradukkan menjadi satu rentetan kisah yang mencengangkan. Singkatnya,
semua bermula dari hilangnya rasa suka ibu Margio karena tidak pernah dikirimi
surat oleh ayah Margio saat mereka berdua sedang menjajaki hubungan jauh
sebelum menikah, hingga pada akhirnya ibu Margio menjadi orang yang sangat kaku
jika tidak bisa dijuluki sinting setelah menikah dengan lelaki yang kemudian
menjadi ayah Margio, menyebabkan adanya perselingkuhan ibu Margio yang lanjut berbuah
hati yang akhirnya mati, dan pada akhirnya si penanam benih ikut-ikutan
dihabisi.
Sebelum cuap-cuap mengulas yang entah jelas atau tidak
ini saya sudahkan, saya ingin memasukkan pemikiran seorang Bapak (atau Romo)
yang sekali waktu saya ceritakan bahwa saya sedang membaca novel ini. Beliau
menyampaikan bahwa dari judulnya, sepertinya novel ini akan menampilkan sisi ‘kebinatangan’
manusia. Dan ternyata memang begitu adanya. Sifat ‘kebinatangan’ yang bertindak
tanpa berotak, diam karena tidak mampu (tidak mau) bersuara, mengamuk tanpa
bisa diredam, juga mengabaikan akal sehat ketika birahi memuncak. Sifat ‘kebinatangan’
yang sadar atau tidak sadar, mungkin saja turut tinggal di dalam diri setiap
manusia yang katanya makhluk paling bermartabat dan merupakan citraan
penciptanya.
Lelaki Harimau berhasil menguliti sisi ‘kebinatangan’
manusia ini dengan sedemikian halus namun gamblang. Selain itu, Lelaki Harimau
sarat pula dengan pesan moral yang bertema besar keluarga. Betapa nasib sebuah
keluarga ditentukan dari sang nahkoda rumah tangga. Carut marut kah atau bahagia
kah?
Lebih lanjut lagi kalau ditarik lebih jauh hingga ke akarnya, kesimpulan singkat yang bisa
saya rangkum dari keseluruhan kisah ini adalah bahwa betapa sakralnya sebuah
keterbukaan. Berbagai masalah datang silih berganti hanya karena tidak adanya
keterbukaan. Ketidaksiapan seseorang membagi penatnya dan memutuskan untuk
menyimpannya rapat terbukti justru jadi malapetaka yang maha dahsyat. Memancing
sisi ‘kebinatangan’ dari seekor manusia keluar menampilkan kebuasannya. Bahagia
pun sejatinya menjadi lenyap karena 'diam' sedemikian didewakan.
Memilih untuk membaca novel ini sama sekali bukanlah
pilihan yang tidak tepat. Kita akan dibawa ke suasana amat lain dari suasana
kehidupan penuh hiruk pikuk kendaraan, masuk dan menelusuri kehidupan yang amat
terperikan, penuh kepedihan dan teramat kelam.
Kiranya apakah kalian berminat menjelajah kisah Margio?
ulasan yang pas. memikat
ReplyDelete