Lagi-lagi, buku yang selesai dibaca setelah hanya terpajang selama sekian bulan di dalam rak buku saya: Dwilogi Saman dan Larung oleh Ayu Utami.
Usai menamatkan trilogi Parasit Lajang (Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, Pengakuan Eks Parasit Lajang) yang berasal dari penulis yang sama, saya akhirnya memulai babak baru perjalanan membaca saya dengan dwilogi ini.
SINOPSIS
SAMAN
Empat perempuan dengan karakternya masing-masing, bernama Cok, Yasmin, Laila, dan Shakuntala, merupakan sahabat sejak kecil. Seiring mereka beranjak dewasa, mereka kelak memiliki kehidupan yang berbeda pula. Cok, si pengusaha perhotelan. Yasmin, si pengacara sukses. Shakuntala, si penari. Dan Laila, fotografer. Perempuan yang terakhir ini sempat memendam rasa pada seorang frater bernama Wisanggeni yang kelak menjadi imam. Siapa sangka, Saman adalah Wisanggeni yang terlahir sebagai pribadi baru. Melepaskan kelekatannya pada janji seorang imam. Dan mulai menjadi sosok yang aktif membela kaum awam sebagai pula seorang awam. Setelah berselang beberapa tahun dihitung dari masa-masa kesukaan Laila pada Wisanggeni, mereka dipertemukan lagi dalam sebuah peristiwa yang melibatkan kekasih Laila pada masa terkini. Sihar, seorang lelaki beristri.
LARUNG
Secara garis besar, merupakan lanjutan cerita dari Saman. Bagaimana Saman yang akhirnya menjalin cinta bukan dengan Laila, melainkan dengan satu dari ketiga perempuan yang bersahabat itu. Wanita yang kelak membawa Saman untuk bertemu dengan Larung, pria misterius yang jenius namun sering membantah apapun di sekitarnya dengan serius. Larung dan Saman yang secara terpisah terhubung dalam suatu misi melarikan aktivis, akhirnya harus berjumpa pada apa yang dinamakan kegelapan sesungguhnya.
CUAP CUAP UNTUK SAMAN DAN LARUNG
Bagi saya, Saman dan Larung memang adalah dua buku terpisah yang harus dibaca keduanya. Tidak cukup hanya Saman saja. Atau tidak puas hanya Larung saja. Maka dari itu, saya memutuskan untuk menuliskan kesan hasil membaca keduanya dalam satu tulisan yang sama.
Satu kata yang patut saya ucapkan setelah menutup halaman terakhir Saman maupun Larung: rumit. Rumit dari segi cerita, rumit dari segi pemikiran, rumit dari segi permasalahan, dan rumit dari segi pemilihan kata. Dan berangkat dari 'rumit'nya kisah ini, Ayu Utami memang sudah selayaknya menjadi idola para pencinta sastra.
Membaca sebuah karya sastra yang mengambil latar waktu ketika saya masih berusia tiga tahun agaknya menjadi kesulitan bagi saya sendiri untuk memahami ceritanya. Bahkan ada beberapa bagian yang berlatar di tahun di mana saya belum lahir! Dengan Saman juga Larung, saya diajak untuk membayangkan sebuah dimensi waktu yang benar-benar lain dari pada masa sekarang, yakni pada zaman Orde Baru berkuasa.
Tantangannya tak hanya berhenti pada persoalan waktu saja. Saya harus beberapa kali membuka kamus untuk mencari definisi kata yang agaknya kurang lazim digunakan dalam karya-karya lainnya yang lebih 'pop'. Jelas, saya harus terbiasa karena ini bukanlah karya biasa. Ini karya sastra!
Seperti tulisan Ayu Utami lainnya yang pernah saya baca, Saman dan Larung, meski juga memasukkan persoalan sosial-politik, sama sekali tidak melupakan 'warna' feminisme di dalamnya. Pada beberapa bagian, kita akan menemukan betapa perempuan, sebagai seorang individu, direpresentasikan sebagai seorang subjek yang berkewajiban untuk menentukan kemauannya sendiri. Independen dan tak terikat oleh apapun. Termasuk, kehidupan seks seorang perempuan. Tak seharusnya bergantung pada aliran patriarkal yang sudah berakar. Khas Ayu Utami, boleh dibilang begitu.
Pada Saman, pembaca akan diajak untuk membuka sisi permukaan karakter empat tokoh utama yang bersahabat. Permukaan berarti, tak mendalam. Kisah yang akan lebih dalam kita peroleh justru kisah tentang Saman. Kita diajak 'menengok' intrik keluarga Saman, sejak ia kecil, menjadi frater, hingga kemudian berkarya sebagai seorang imam yang pada akhirnya memutuskan untuk menjadi awam. Ada gejolak emosi, yang melibatkan unsur spiritualitas dalam keputusan yang diambil oleh Wisanggeni (kelak menjadi Saman). Dan proses Wisanggeni menjadi Saman adalah kisah yang cukup menarik untuk diikuti.
Perasaan saya selalu teraduk kala membaca Saman. Saya agak 'geregetan' dengan Laila yang seolah kehilangan arah dalam hubungannya dengan Sihar sebagai suami orang. Saya juga 'geregetan' sama Saman sebagai tokoh yang terlampau baik, meski bertujuan mulia. Saya agak 'keki' sama Sihar yang terlalu kaku dan lempeng sebagai seorang manusia. Tak bisa tegas, tak bisa memilih, tak bisa berbuat apa-apa. Ujung-ujungnya, hubungan ia dan Laila seperti menjebak keduanya.
Kemudian, tak hanya permasalahan cinta Laila-Sihar yang menarik perhatian serta membuat geregetan. Konflik lahan perkebunan di Sei Kumbang yang diceritakan secara mendetil, membuat saya tak luput dari kenyataan untuk bergidik ngeri. Saya diundang untuk membayangkan bagaimana kehidupan masa itu terlihat amat mencekam bagi rakyat kecil tanpa kuasa. Membayangkan bagaimana teror itu seolah akrab dan bisa kapan saja menyerang. Membayangkan bagaimana hebatnya mereka yang punya kapital, menginjak-nginjak siapapun yang hanya bisa melawan tanpa apa-apa.
Pada Larung, perasaan ngeri justru terbangun sejak awal. Sejak saya dibawa untuk mengenal kehidupan Larung, juga ibu serta neneknya yang ternyata gelap. Puncak kengerian pada awal cerita ini adalah ketika Larung, dengan dinginnya, mengungkapkan keinginannya untuk menghabisi nyawa neneknya. Dan akhirnya, nenek seorang Larung menghabiskan nafas terakhir justru di tangan cucunya sendiri. Mengejutkan sekaligus membuat penasaran.
Sama seperti buku Saman yang membahas detil kehidupan Saman, buku Larung juga kerap menjadikan Larung sebagai pusat cerita. Namun, tak bisa dinafikan jika kisah keempat sahabat perempuan tadi pun diceritakan secara lebih mendalam dan bergantian. Di dalam buku Larung, kita akan menyelami kehidupan Shakuntala, mencoba mengerti bagaimana pemikiran Cok, memahami (dan kesal setengah mati pada) perasaan Yasmin, dan merasakan kerapuhan Laila seutuhnya.
Larung tak memberi jawaban akan ujung hubungan Laila dan Sihar. Larung juga memberikan akhir yang tragis pada Saman dan kekasihnya yang merupakan salah satu dari Cok, Yasmin, atau Shakuntala. Larung juga menunjukkan bahwa perempuan sesempurna Yasmin pun punya cacat cela. Larung tak memberi jawaban yang muncul pada buku Saman, tentang siapa seorang 'raksasa' yang merebut hati Shakuntala.
Namun Larung memberikan akhir yang pasti bagi kehidupan Larung dan Saman. Larung berhasil menunjukkan bahwa Larung dan Saman adalah dua tokoh yang mampu melawan terhadap kekuasaan dan berjuang demi kebenaran.
AKHIR KATA
Lagi-lagi buku Ayu Utami membuat saya kelelahan. Kelelahan karena menggunakan kata-kata yang lebih dari menawan (jika tidak bisa dibilang memusingkan). Kelelahan karena saya diajak untuk mengerti bahwa individu adalah subjek yang harus punya kuasa sepenuhnya atas diri sendiri, dan juga patut memilih kebebasannya sendiri. Kelelahan karena di beberapa bagiannya, saya minta ampun sama keberanian Ayu Utami menyampaikan pemikirannya dengan struktur cerita yang bisa dibayangkan secara vulgar.
Saman Larung pantas dicintai karena kehebatannya memadukan isu percintaan, perselingkuhan, seksualitas, sampai dengan isu sejarah, pemerintah, dan kekuasaan serta kekerasan OrBa pada zamannya.
Ayu Utami lewat karyanya yang ini berhasil membuktikan kecerdasannya dan kekritisannya dalam berbicara lewat menulis karya sastra. Menyampaikan pemikiran yang buat sebagian besar orang (termasuk saya) njelimet dengan cara yang juga sama njelimet-nya. Namun saya suka. Saya suka pada yang rumit. Dan saya tak bisa lagi berkata-kata pada karyamu (mba Ayu Utami) yang luar biasa.
Pada akhirnya, SAMAN dan LARUNG buat saya adalah, dua buku yang sangat antusias dalam memaksa saya menalar dan merasa.
Kalau kesan saya pada buku-buku ayu utami itu "kepedesan" :D
ReplyDelete