Wednesday, May 27, 2015

Cerita Cinta Enrico: Tak Melulu Harus Ikut 'Yang Seharusnya'

Sesuai komitmen saya di tulisan sebelumnya (Si Parasit Lajang: Membaca Perspektif Pernikahan Yang Lain) bahwa saya akan melahap Cerita Cinta Enrico segera setelah saya kenyang "Si Parasit Lajang", maka di sinilah saya sekarang, mencoba menuangkan hasil bacaan saya dalam bentuk ulasan yang, mungkin tak terlalu mendalam, tapi punya cukup gambaran. 

Seperti Apa Kisah 'Cerita Cinta Enrico'?


Tanpa bermaksud membandingkan, tetapi ingin mencoba realistis bahwa Si Parasit Lajang dan Cerita Cinta Enrico adalah bagian dari sebuah trilogi, maka saya rasa saya bisa menarik benang merah kalau kedua buku ini sesungguhnya memiliki perbedaan mendasar tentang keputusan menikah. Jika di buku pertama saya kira tokoh A mantap untuk tidak menikah, maka di buku ke dua, akhirnya A menikah. Dengan alasan yang masih sama logis. Dengan kendali yang masih sama penuh atas diri sendiri.

Sampai di buku ini, betapa akhirnya saya kagum sekali dengan tokoh A.

Lantas, siapakah gerangan lelaki pasangan A yang berhasil menemaninya mengucapkan janji perkawinan di Gereja? Ya, nama Enrico muncul sebagai jawabannya. Sesosok lelaki yang juga menjadi judul dari buku ini. Tokoh yang, potongan-potongan cerita kehidupannya mulai dari umur 1 hari hingga umur 53 tahun (umur saat ia menikah, kalau tidak salah)diceritakan dengan amat baik meskipun tak runut. Tokoh laki-laki yang tumbuh sejalan dengan peristiwa dan gejolak sejarah negara. Tokoh yang, awalnya juga tak ingin menikah, namun dengan segala kerumitannya, memutuskan untuk melangkahkan kakinya bersama tokoh A hingga ke hadapan altar.

"Barangsiapa yang tidak memiliki dosa, silakan menjadi pelempar pertama batu perajam" (hlm. 205)

Jangan bayangkan Cerita Cinta Enrico ini penuh drama. Ya, mungkin ada sedikit drama, tapi sama sekali bukan itu sisi dominannya. Dominasi diambil alih penuh oleh kisah perjalanan Enrico yang padat dan bukannya penuh drama, mulai dari masa kecilnya, masa remaja, masa pemberontakan diri, masa pencapaiannya akan kebebasan, hingga masa di mana Enrico dan A akhirnya bertemu. 

Sungguh cerita yang, bahkan saya sendiri tak menyangka bahwa ada kisah seperti ini di dunia nyata nyatanya memang nyata.

Jujur, saya sampai habis kata-kata untuk menuangkan semua kesan yang saya dapatkan. Tapi bagaimanapun juga, saya terdesak untuk menuliskannya. Maka, mari simak bagian selanjutnya.

Buku ini memiliki keunikan tersendiri karena latar yang digunakan berjarak dari tahun 1958 hingga 2011. Perjalanan hidup Enrico diwarnai oleh latar peristiwa-peristiwa pada pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Ajaibnya, setiap latar peristiwa kenegaraan itu dibubuhi pula oleh peristiwa-peristiwa pribadi bersejarah milik Enrico. Seolah Enrico punya sejarahnya sendiri yang sejalan senada dengan peristiwa sejarah di negara ini.

Berbeda dengan penulisan buku pertama trilogi Parasit Lajang yang ditulis dalam format kumpulan tulisan pendek momen-momen tokoh A, buku Cerita Cinta Enrico ini dapat dibaca kiranya dengan dua cara. Pertama, menganggap buku ini adalah novel yang dihasilkan murni dari imajinasi Ayu Utami. Kedua, menganggap buku ini adalah kisah nyata tokoh Enrico berbentuk cerita-cerita lisan yang serupa cerita dalam buku harian, kemudian direformulasikan ke dalam bentuk novel oleh Ayu Utami, yang tak lain adalah tokoh A sendiri.

Saya memilih membacanya dengan cara yang kedua. Sejalan dengan cara ini, ada konfirmasi tak gamblang pula dari Ayu Utami pada bagian akhir buku yang menyatakan bahwa buku ini memang berdasarkan kisah nyata, ditambah sedikit bumbu-bumbu imajinasi dan pemanis cerita. Nyatanya, buku ini berhasil menjadi hiburan manis, meskipun jalinan peristiwa dan latarnya lebih banyak yang tak manis. Percayalah.

Pemikiran dan gagasan. Dua hal ini yang selayaknya saya puji sebagai yang manis. Lagi-lagi, sebagaimana tertuang dalam bagian-bagian di buku pertama, Cerita Cinta Enrico mampu untuk menghadirkan (tepatnya menegaskan) pemikiran-pemikiran tokoh A terhadap pernikahan, tuduhan dosa atau tidak dosa terhadap perbuatan seks di luar pernikahan, objektivitas kegiatan seks, dan juga tentang kebebasan. A tetap pada pendiriannya untuk tetap menjunjung nilai-nilai yang ia percayai. A tetap berpegang pada moralitas kehidupan bermasyarakat namun tak juga lepas dari paham kebebasan terkait ketubuhan. Dalam hal ini, tentu soal seks.

Melulu dan melulu seks, buku ini saya rasa tak bermaksud porno atau vulgar. Yang saya tangkap kemudian adalah, bagaimana manusia seharusnya mencoba bersikap wajar terhadap seks dan tak melulu mengaitkannya dengan agama. Tak melulu menganggapnya sakral dan dipuja-puja. Dan cerdasnya, dalam buku ini tokoh A membahas dosa dan zinah dari perspektif agama, khususnya Katolik. Hebatnya lagi, ia menceritakan dengan patut hal-hal yang menurutnya salah atau tak tepat, namun secara jujur diceritakan dalam Alkitab. Bahkan, kutipan Alkitab yang saya jadikan subjudul bagian ini pun, ada pada interior buku ini. Sayang sekali jika saya harus menceritakan ulang bagaimana penjelasan tokoh A di buku itu ke dalam tulisan ini. Selain tak elok, pasti juga tak akan sesempurna penutur langsungnya, Ayu Utami, lewat tokoh A (makanya, baca!). 

Satu hal yang membuat saya memuja-muja buku ini setelah menutup lembaran terakhirnya adalah, tentang isu wanita yang diangkatnya. Terutama, sosok makhluk hidup berperan ibu yang punya isu penting dalam penceritaan kisah di buku ini. Membuat saya pribadi makin kagum dan makin percaya akan anugerah terindah Tuhan di muka bumi ini, yaitu Ibu. Wanita bernama Ibu.

Cerita Cinta Enrico mengisahkan bagaimana wanita dapat begitu kokoh, dan punya hak untuk memiliki hak atas dirinya sendiri, apa yang akan ia lakukan, apa yang bisa ia lakukan, apa yang ia kenakan, dan apa yang ia putuskan. Wanita tak seharusnya mengikuti apa yang sudah umum terjadi pada wanita, melainkan wanita harus melakukan apa saja yang menurutnya ingin ia lakukan.

Dua sosok wanita yang mengagumkan pada buku ini jelas saja ada pada sosok ibu Enrico, dan sosok A sendiri. Keduanya mewakili sosok wanita yang kokoh. Memang ternyata kuat makhluk bernama wanita itu. Ia bisa memanusiakan orang lain dan (sesungguhnya) mampu memanusiakan dirinya sendiri. Ia sebenarnya mampu untuk memilih tak ikut ke dalam apa yang dipercaya sebagai 'yang seharusnya'. Kita telah tahu bahwa 'yang seharusnya' itu kebanyakan didominasi pola pikir patriarkal. Wanita juga manusia yang bisa dan boleh memilih. Makhluk wanita yang konon katanya rumit itu, sejatinya mampu merdeka.

Akhir kata

Terlalu banyak, bahkan sangat banyak, pemikiran-pemikiran berlandaskan alasan logis yang dikemukakan oleh Ayu Utami di dalam buku ini. Baik melalui tokoh Enrico maupun melalui tokoh A yang eksistensinya sungguh betulan ada. Pemikiran-pemikiran yang, masih seperti kata saya di tulisan sebelumnya, jauh dari pemikiran orang kebanyakan. Jauh dari pemikiran yang lazim. Bahkan kalau saya tak mencoba mengerti, memahami, dan mendalami, mungkin saya hanya bisa protes pada Ayu Utami, "Mba, kamu terlalu banyak mikir. Rumit. Mengapa tak jalankan saja apa yang sudah ada, umum, dan terbentuk begitu saja?". Tetapi saya memilih untuk tetap membaca, perlahan mengangguk setuju, kemudian memilih untuk merdeka dengan cara yang akan saya tentukan sendiri.

Sebagaimana arti istilah 'trilogi' pada umumnya, seri ini terdiri dari tiga buku. Satu judul lagi masih tersisa, dan ya, seperti yang bisa ditebak, lembar pertama akan segera dibuka. Pengakuan Eks Parasit Lajang.

2 comments:

  1. hi Icha, jadi penasaran sama Cerita Cinta Enrico. Kalau dibaca langsung bukunya tanpa buku yang pertama apakah kita tetep bisa nyambung ke ceritanya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa kok :) :) Tapi di buku ini, tokoh A mau menikah. Di buku pertama, tokoh A menyampaikan keinginannya untuk tidak menikah dan alasannya. Hehe. Selamat membaca!

      Delete

Thanks for leaving a comment :)