"Jadi kapan kamu akan meninggalkan Bali?"
"Secepatnya. Setelah semua urusan keberangkatanku ke sana diurus, tentu aku akan langsung memulai hidupku yang baru."
"Dan melupakan aku, bukan?"
"Ah, ayolah Kemina, aku ke sana hanya untuk mengejar cita-citaku."
"Cita-cita ayahmu, mungkin."
"Sudahlah, aku tak ingin membahas hal itu lagi."
"Mengapa? Tak ada salahnya hal itu dibahas terus-menerus. Agar kamu sadar, Wil, hidupmu itu milikmu, bukan milikku bahkan bukan milik ayahmu. Ayahmu hanya..."
"Kemina! Jika hidupku bukan milikmu, mengapa kamu begitu memaksa aku? Apa susahnya bagi kamu untuk mengerti? Kamu tak bisa bertahan pada kehendakmu saja. Sudah kubilang bukan, persoalan ini sama sekali tak sederhana." Wil hampir emosi. Disesapnya sehirup kopi hangat pertama yang segera berpindah melewati lidah menghampiri tenggorokan. Agar ia sedikit tenang.
"Kamu yang membuatnya tak sederhana, Wil. Tapi sudahlah, aku bisa apa?" Kemina sedikit tertawa. Tertawa seperti mencela. Sebelum ia menghisap rokoknya yang sudah lama menyala." Aku hanya masih berusaha mengingatkanmu pada tujuan hidupmu. Tujuan hidupmu sama sekali bukan di sana, Wil. Tujuan hidupmu di sini. Bersamaku. Itu saja."
"Bukannya sudah beribu kali kutanamkan ke batinmu? Aku akan kembali, Kemina. Bukankah tujuan bermakna perhentian akhir? Perhentian terakhirku itu kamu." Sesapan kedua.
"Semoga benar begitu." Sesapan pertama. Hisapan kedua.
"Maksudmu?"
"Bagaimana kamu bisa yakin kalau aku masih jadi tujuanmu ketika kita tak lagi sering bertemu, Wil? Coba kamu jelaskan." Sesapan kedua. Hisapan ketiga. Asap menyembul dari bibir Kemina yang meruncing.
"Hei, ini sudah abad keduapuluhsatu, Kemina. Aku bisa menghubungimu lewat berbagai media yang disediakan para pencipta kecanggihan itu. Apa lagi yang kurang?"
"Halah, media-media canggih itu lagi. Kamu ingat kan, berapa banyak masalah yang muncul di keluargaku akibat teknologi sialan itu. Ayahku selingkuh setelah bertemu rekannya semasa SMA. Pemberitaannya semua sampah. Ibu kemudian ikut-ikutan menikah lagi dan pergi karena tersakiti. Adikku? Adikku hilang setelah ia memamerkan hasil ujiannya yang melulu dapat A di berbagai media. Jasadnya ditemukan setelah lima hari dan yang mengambil nyawanya ternyata adalah teman sebangkunya sendiri! Alasannya? Iri. Kedengkian sudah membutakan mata sahabat adikku, Wil. Apalagi, apalagi kalau bukan gara-gara kemunculan media sosial itu? Yang ada semuanya masalah, masalah sosial yang benar!" Hisapan keempat. Asap keluar dari sepasang lubang hidung Kemina.
"Hei Kemina, hei, kamu meracaukan apa? Aku hanya merasa bahwa media-media itu akan membantu kita dan kamu tidak perlu khawatir akan terlupakan."
"Maaf. Aku hanya sedikit trauma. Kamu tahu itu, kan?" Sesapan ketiga. Matanya memandang lurus dan terasa jauh ke dalam mata Wil. Kemina mengambil tangan kirinya, kemudian mengelus perlahan rambut Wil yang terurai panjang. "Maaf. Aku, aku hanya masih tak rela. Ayahmu sudah merenggut cita-citamu yang bisa kamu wujudnyatakan di sini Wil, di Bali. Hidupmu bukan untuk berkutat dengan lingkungan akademisi seperti yang ayahmu inginkan. Hidupmu bebas, hidupmu itu penjelajahan. Hidupmu dan semangatmu itu untuk perjalanan honey and, this is your hometown. You should be here rather than going to US. Following the study that you won't ever fall in love with. Itu maksudku." Hisapan kelima. Dalam. Asapnya hampir tak terlihat melesat keluar.
"Yes, I knew it, baby, but I already took this decision." Sesapan ketiga.
"Okay, okay, yes I know. Just go ahead! Aku tahu kamu hanya ingin membalas budi ayahmu, kan? Ayah angkatmu yang hanya punya kamu untuk mewujudkan harapannya." Hisapan keenam. Sesapan keempat.
Wil mengangguk.
"God! Beginikah cara orang tua menuntut balas? Kamu pun bahkan tak pernah meminta diangkat oleh keluarga mereka. Aku pernah baca di suatu majalah, seharusnya orang tua tak bisa menuntut apa pun dari anak-anak mereka. Mereka yang menghadirkan kita, ya itu benar adanya. Tapi, kita berhak mencari kebahagiaan kita sendiri dan lepas darinya. Kita tidak dilahirkan untuk menjadi alat pencapai hasrat mereka, ataupun pengurusnya di masa tua, Wil."
"Itu sebenarnya pilihan."
"Dan kamu memilih untuk merantai dirimu ke dalam pasungan keinginan itu?" Hisapan ketujuh. Habis. Kemudian puntung kecil itu ditekan kuat-kuat ke asbak perak.
"Aku bahagia. Aku bahagia jika aku bisa membuat ayahku bahagia. Aku tidak tersiksa. Aku bahagia. Aku rela. Sekalipun ia bukan ayah yang sedarah."
Kemina menarik nafas dalam-dalam. Menyesap kopi yang masih sedikit hangat untuk kelima kalinya. Mengambil sebatang lagi gulungan tembakau lalu membakar dan menghisapnya kuat. Asap kemudian menghambur keluar. Senyum mencela khas Kemina mengikutinya. "Baiklah. Pergilah. Jangan lupa kabari aku tanggalnya. Kamu tahu,..."
"Ya, aku tahu. Kamu menyayangi aku sedari dulu. Kamu menyayangi aku, lebih lebih setelah ayah dan ibumu mengkhianati kamu. Kamu hanya ingin aku mengikuti desirku untuk berplesir dan hidup dari situ. Kamu hanya ingin aku juga ada di sisimu saat kamu melangkah ke setiap penjuru negeri ini. Aku tahu, Kemina. Aku tahu. Bahkan aku sangat tahu dan kamu tak perlu mengulanginya lagi."
Kemina diam. Matanya menatap Wil. Lagi. Dalam. Hampir tiga puluh detik. Hisapan kedua, rokok kedua.
"Kamu tak perlu menunggu aku hingga pulang. Pergilah, ke Aceh, ke Padang, ke Riau, ke Jambi, ke Flores, ke Manado, ke Makassar, ke Kalimantan, ke Papua, silahkan. Gunakan tabunganmu dan jangan sayang untuk itu. Tak ada yang lebih menyedihkan bagiku selain melihatmu tak bisa bahagia. Tulislah, Kemina, tulislah apapun yang ingin kau tulis seiring dengan jejakmu menyusuri negeri ini."
"Aku, aku ingin denganmu."
Wil tersenyum. Mendengus. "No, Kemina. Itu akan lama sekali. Kamu kejar saja mimpimu. Aku yakin, tulisanmu mengenai daerah-daerah itu akan membuatmu mencapai mimpimu. Good luck." Wil tersenyum. Tangannya meraih pucuk kepala Kemina. "Good luck."
"Will do my best. You too. Jangan lupa tetap ke gereja ya di sana."
Wil tertawa. Lebar. Terpingkal. "That's why I love you. Kamu selalu ingat Tuhan meski ditempa banyak cobaan."
"Entahlah. Aku sendiri juga bingung. Aku hanya merasa, Dia selalu memberiku kekuatan."
"Mungkin itu karena namamu saja, Kemina."
"Mungkin juga karena aku memang kuat. Lihat!" Kemina tertawa sambil berpura ingin melayangkan tinjunya ke wajah Wil. "Kamu macam-macam di sana, biar nanti kepalku yang bermain."
Wil tertawa. Lagi. Lebih lebar.
"Hidupku memang terlalu banyak cobaan. Kamu pergi jauh, itu pun cobaan. Kalau aku tidak punya Tuhan, entah bagaimana aku bertahan."
"Tuhan akan jaga orang baik, Kemina. Ia akan jaga kamu ke manapun kamu pergi. Kejar mimpimu dan tunggu aku kembali. Oke?"
"Ini perjumpaan terakhir kita?"
"Di dunia nyata, mungkin. Di dunia maya tidak, sayang."
"Apa aku tak boleh mengantarmu ke bandara?"
"Mengapa tidak boleh?"
"Kalau begitu, ini bukan perjumpaan terakhir kita." Kemina menghisap lagi rokoknya. Hisapan ketiga rokok kedua. Wajahnya mendongak ke atas. Udara semakin dingin dan kopi tak lagi hangat. Hari mulai gelap.
"Aku mau ke pinggir laut. Kamu mau ikut, Kemina?"
Kemina mengangguk. Sisa-sisa kopi di cangkir masing-masing diteguk. Mereka berjalan sambil setengah berpeluk.
Obrolan senja itu akhirnya ditutup dengan habisnya cairan kopi yang tak lagi hangat. Kemina dan Wilfreda yang bergandengan erat. Serta lantunan lagu Float yang dari dalam kedai, terdengar lamat-lamat.
Sementara teduhlah hatiku
Tidak lagi jauh
Belum saatnya kau jatuh
Sementara ingat lagi mimpi
Juga janji janji
Jangan kau ingkari lagi
Percayalah hati lebih dari ini
Pernah kita lalui
Jangan henti di sini
Sementara lupakanlah rindu
Sadarlah hatiku hanya ada kau dan aku
Dan sementara akan kukarang cerita
Tentang mimpi jadi nyata
Untuk asa kita berdua
Percayalah hati lebih dari ini
Pernah kita lalui
Takkan lagi kita mesti jauh melangkah
Nikmatilah lara
Jangan henti di sini
(Float-Sementara)
Kamar, 30 Juli 2015, 23.18
No comments:
Post a Comment
Thanks for leaving a comment :)