Monday, May 18, 2015

Bergandengan Tangan

Hari Minggu sudah tiba lagi. Tapi, saya tetap harus bangun pagi. Ah, rasanya seperti tidak ada hari libur sama sekali saja. Minggu pun harus bangun pagi untuk bisa mengikuti Misa pagi di Gereja. Apa saya tidak boleh berleha-leha 24 jam tanpa ke mana-mana? Bagaimanapun juga, setelah kebiasaan mengeluh pagi-pagi, saya akhirnya beranjak juga dari kasur. Lantas, lekas saya berbenah diri setelah kembali terjaga pukul tujuh tadi.

Saya Anna. Saya tinggal di kosan seorang diri karena jauh dari rumah. Saya pegawai kantoran biasa yang setiap hari masuk kerja pukul delapan dan pulang pukul lima. Tentunya, kecuali hari Sabtu dan Minggu. Bukan-bukan, kecuali hari Minggu saja. Hari Sabtu tak bisa saya hitung libur karena saya kadang juga disuruh masuk kalau ada keperluan mendesak. Benar-benar kantor yang memeras tenaga.

Jarak beratus bahkan beribu kilometer dari rumah tidak membuat saya melupakan rutinitas hari Minggu. Semenjak dulu masuk kuliah, saya selalu diingatkan dan secara tidak langsung 'dipaksa' untuk tetap beribadah setiap Minggu. Siapa lagi yang mendesak kalau bukan orang tua. Kadang-kadang, diri terasa sungguh malas untuk berpindah dari kenyamanan tempat tidur menuju ketenangan rumah Tuhan. Namun apa daya, rutinitas ini secara otomatis terlalu melekat dan sulit untuk dielak.

Misa di Gereja dekat kosan saya dimulai pukul delapan tiga puluh pagi. Seperti biasa, pukul delapan teng, saya sudah tiba di Gereja supaya bisa duduk di bagian dalam dan tak perlu berpanas-panasan di luar. Kali ini saya sendiri. Kalau ada teman ya sama teman. Kalau tidak ya, sendiri pun sudah biasa.

Tak lama berselang, sekitar pukul delapan lebih lima belas menit, segerombol keluarga datang dan mengambil tempat duduk di samping saya. Tampak sederhana dan tidak berlebihan. Tokoh ayah berpakaian cukup rapi dengan kemeja abu-abu dan celana panjang hitam. Tokoh ibu berpakaian sangat rapi dengan dress batik warna biru dongker dan tas berwarna senada. Tanpa banyak perhiasan dan tanpa make-up tebal. Tokoh anak-lah yang paling lucu. Anak laki-laki bertubuh sedikit gempal, berkemeja kotak-kotak biru muda, dan bercelana jeans hitam. Pipinya yang bulat, betul-betul menggoda saya untuk mencubit gemas. 

***

"Atas petunjuk penyelamat kita, dan menurut ajaran ilahi, maka beranilah kita berdoa..." ucap Romo yang memimpin Misa pagi itu menandakan bahwa perayaan Ekaristi sudah sampai pada bagian doa (lagu) Bapa Kami. "Bagi yang datang berkeluarga, silahkan bergandengan tangan satu sama lain."

Selalu ketika doa Bapa Kami dilantunkan dalam bentuk nyanyian, saya akan membuka kedua telapak tangan saya dan menghadapkannya ke atas seakan meminta berkat dan penyertaan Tuhan. Saya tak datang berkeluarga, jadi saya tak menggandeng siapa-siapa.

Baru saja lagu Bapa Kami memasukki bagian '...dimuliakanlah nama-Mu,...', tiba-tiba tangan saya diraih oleh anak laki-laki bertubuh gempal tadi. Sontak saya terkejut sekaligus menahan senyum juga. Tangannya yang masih seukuran tangan anak SD mencoba membuat pautan tangan kami semakin erat. Saya yang heran, kemudian beralih pandang dari tangan anak kecil menuju ke wajah ibu si anak. Ibu itu menoleh singkat, kemudian tersenyum.

Dalam hati saya hanya bisa berujar, lucu juga ya digandeng anak kecil yang bahkan saya nggak kenal asal muasalnya ini

***

Sepanjang bagian Bapa Kami hingga Komuni, saya terus penasaran dan bertanya-tanya tentang hal apa yang membuat anak gempal itu menggandeng tangan saya. Mungkin kelihatannya sederhana, tetapi hal ini betul-betul mengusik dan membuat penasaran. Akhirnya, setelah saya membuat tanda salib usai berdoa pasca Komuni, saya menyenggol pelan perut anak kecil di samping saya dengan siku. Mudah-mudahan perutnya nggak sakit.

"Dek, nama kamu siapa?"
"Tius, kak."
"Kamu datang sama mama papa aja? Kakak-adik mana?"
"Kakak saya kerja di luar kota. Kalau adik, saya nggak punya. Kak, ini kan masih Misa, jangan ajak saya ngobrol dulu ya. Ssst..." ucapnya sambil menempelkan jari telunjuk di kedua bibir yang terkatup.
"Oh, iya iya." balas saya sambil mengambil jarak lagi. Heran, anak kecil ini ternyata cukup cerdas dan pintar untuk tidak menimbulkan kegaduhan di dalam gereja. Justru saya yang mengajaknya ngobrol duluan. Ah, saya jadi malu sebagai orang dewasa. Tapi sungguh, saya penasaran dengan sikap bocah ini. Apa karena kakaknya sedang berada di luar kota, makanya ia menggandeng tangan saya sebagai bentuk kerinduan akan kakaknya? Hmm, mungkin juga. Bisa jadi bisa.

***

Setelah berkat Tuhan lewat Romo diberikan, perayaan Ekaristi hari Minggu itu resmi selesai. Saya menutup dengan doa pribadi, kemudian begitu panjatan doa selesai, wajah saya segera beralih lagi ke bocah di samping saya. Syukurlah, dia belum pulang. Maka, saya buka lagi percakapan yang tadi sempat disudahkan.

"Nah, Misanya sudah selesai. Sekarang sudah boleh ngobrol, Tius?"

"Sudah. Memangnya kenapa sih, kak?" tanyanya dengan wajah yang seakan minta dicubit semalam suntuk.

"Nggak apa-apa kok. Kakak kan mau nambah-nambah temen aja."

"Oooooohh."

"Tius, Tius, kakak mau tanya deh."

"Tanya apa?" 

Sebelum bertanya, saya melihat kedua orang tuanya masih berlutut memanjatkan doa penutup. Nah, nggak apa-apa deh ngobrol sama anaknya dulu. "Tadi kamu kok gandeng-gandeng tangan kakak sih?"

"Loh, memang nggak boleh ya kak? Kan kata Romo tadi, yang datang berkeluarga disuruh gandengan tangan. Kata mama aku, kita semua yang ada di Gereja ini keluarga. Kalau bisa, aku malah mau gandeng seeeeeeeeeeeemuanyaaa." Nah loh!

"Berarti setiap minggu, kamu selalu menggandeng orang lain di samping kamu?"

"Hmm, nggak setiap minggu kak. Kakak sepertinya orang kedua yang aku gandeng dan heran. Minggu-minggu sebelumnya, aku cuma gandeng mama dan kakakku. Tapi kakakku kan baru pergi ke luar kota dua minggu lalu. Jadi nggak ada lagi yang aku gandeng di sebelah kanan." usai Tius menyelesaikan pembicaraannya (yang sedikit membuat saya terpana juga), mamanya bangkit dari posisi berlutut dan duduk menoleh serta senyum pada saya.

"Saya memang mengajarkan anak saya begitu, Mba. Semua orang di dunia ini adalah keluarga. Bahkan di luar Gereja ini juga, semua adalah keluarga. Kan nenek moyang kita saja sama ya Mba? Sama-sama Adam dan Hawa. Makanya, saya ajarkan anak-anak saya, kalau mereka harus rendah hati sama semua orang. Setiap orang yang dijumpai, ya keluarga juga. Semua hanya masalah jalinan, dekat sekali atau jauh sekali." ternyata ibu bocah ini langsung berinisiatif menjelaskan dan memaparkan. Saya tertegun sekaligus menahan senyum.

"Wah, ibu nggak takut anaknya kelewat baik sama semua orang?"

"Ya nggak, Mba. Saya tentu juga mengajarkan dia untuk selalu berhati-hati dan menjaga diri. Dari kecil harus diajarkan begitu agar dia juga tahu pentingnya melindungi diri. Kalau soal konsep keluarga sih, ya keluarga kandung saja masih ada yang suka punya niat jahat, jadi kuncinya ya hati-hati. Siapapun memang keluarga, tapi keluarga sekalipun belum tentu sepenuhnya baik. Jadi itu kembali lagi ke niat masing-masing orang yang berjumpa dengan anak saya, Mba. Saya bekali dia untuk tidak membeda-bedakan orang lain, sekaligus mengajarkan dia realita yang ada tentang macam-macam sifat orang." sekarang giliran tokoh ayah yang bangkit dari posisi berlutut dan ikutan menoleh serta senyum pada saya.

"Ibu nggak terlalu jauh mengajarkan hal-hal seperti ini? Anak kecil kan masih lugu, bu? Memangnya sudah mengerti?"

"Seharusnya, sudah. Tadi saja Tius gandeng tangan Mba, kan?..."

Belum sempat saya menjawab, tokoh ayah sudah memotong pembicaraan. Saya yakin ia tak sengaja.

"Ayo, Ma. Nanti susah keluar parkirannya."

"Oh iya, Pa." jawab tokoh ibu sambil berdiri dan merapikan dress serta mengambil tas tangannya. "Mari Mba, duluan."

"Eh, iya bu. Mari, mari."

"Dadah kak!"

"Dadah Tius!!!"

***

"Kakak cantik kenapa tadi pas Bapa Kami gandeng tangan aku?" tanya perempuan kecil itu dengan suara yang masih bocah.

"Dek, tadi kan Romo bilang, yang datang berkeluarga sebaiknya bergandengan. Nah, kamu sudah kakak anggap jadi keluarga kakak sendiri. Kita semua di sini kan satu keluarga. Kamu nggak kasihan sama kakak yang datang ke Gereja sendirian, nggak sama siapa-siapa?"

***

No comments:

Post a Comment

Thanks for leaving a comment :)