Thursday, March 20, 2014

Menonton Demonstran, Teater Koma: Demonstran yang tak berdemo.

Blubard blubard blaburd.


blibli.com

Sulit sekali menjadi baik. Blubard blubard blubard. Blaburd blaburd. Blubard.
Demonstran yang berdemo, yang berunjuk rasa, kini tak lagi mencari baik. Mereka mencari menang. Lalu di manakah baik?

Barangkali itu secuil pesan yang dapat saya cerna setelah berkesempatan menonton pentas Teater Koma yang ke -131.

Ceritanya penuh kritik. Begitu yang saya kira. Siapa lagi yang dikritik kalau bukan pemegang kuasa yang dulu pada zamannya muda, sempat berjuang menggulingkan penguasa? Yang sekarang banyak harta, memegang tahta, dan tak kenal apa itu rakyat biasa?


Hmm, berbicara mengenai rakyat, Demonstran juga memuat pertanyaan yang saya kira cukup reflektif. Di zaman bingung zaman panik sekarang, siapa ya rakyat sejati?

Niken, Wiluta, dan Jiran, tiga tokoh pengikut Topan, mantan demonstran pun menanyakan hal tersebut.

Mereka bertiga adalah manusia-manusia yang sudah tua, namun masih punya semangat memperjuangkan hak-hak dan suara rakyat. Tetapi, mereka sendiri akhirnya sadar bahwa mereka tidak tahu rakyat mana yang mereka harus perjuangkan. Mana yang bisa mereka sebut sebagai rakyat sejati. Yang terlihat hanya rakyat. Sejatinya entah bersembunyi di mana.

Kita sendiri tergolong rakyat seperti apa ya di zaman sekarang?

Kisah sang demonstran.

Saya hampir lupa memperkenalkan Topan. Tokoh yang diperankan Budi Ros ini sangat penting dalam perjalanan cerita Demonstran. Topan, sang Demonstran, diceritakan pernah memimpin barisan paling depan dalam menggulingkan pemerintahan duapuluh tahun silam. Berhasil nyatanya. Perjuangannya dielukan di mana-mana. Bahkan, setiap tahun, rekonstruksi gerakan Topan selalu ditampilkan ulang. Tidak ketinggalan, patung Topan serta para rekan dihadiahkan oleh seorang jenderal, (eh atau pejabat?) bernama Pejabat-T. Sungguh hebat bukan seorang Topan itu?
Lalu, di mana Topan sekarang?

Menikmati adegan.

Pertanyaan tadi dijawab oleh adegan demi adegan selama hampir empat jam. Topan kini menjadi pedagang. Punya banyak uang. Sukses dan kaya raya. Istrinya yang cantik, dulu merupakan rekan sesama demonstran. Sama-sama berjuang hingga mencapai titik yang sekarang. Hal ini rasanya memuat pesan yang cukup miris dan membuat saya sedikit berpikir. 

Tentang pikiran.
Pejuang kita yang dulu punya semangat berapi-api, perginya kemana, ya? Untuk apa dulu mereka berjuang? Apakah demi posisi yang mereka nikmati sekarang? Mungkin saya juga tidak tau jawabannya, karena kalau tidak salah, kala itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Masih lugu. Tidak mengerti apa-apa.




Kesimpulan saya.

Secara lugas, namun tetap sedikit tersirat, Demonstran ingin mencari, menemukan, dan (kalau bisa dibilang) menuntut para ex-demonstran yang seolah menutup mata pada keadaan linglung dan bingung sekarang. 

Keadaan dimana siapapun bisa punya kuasa asal ada harta. Siapapun bisa dapat tahta meski otak tak ada. 

Mungkin ada ex-demonstran setia yang tersisa, tapi, apakah saat ini masih merupakan waktu mereka untuk berkata-kata. Yang muda kemana?

Yang muda, ya digambarkan sebagai tokoh yang berjuang untuk menang, bukan untuk bergerak ke arah yang lebih baik dan tenang.
Sosok Topan di zaman panik zaman bingung ini masih dalam pencarian.
(Mungkin) belum ditemukan.


Salah kesimpulan.

Topan akhirnya kembali mau turun. Ketika pikirannya terbuka, nalurinya berkata, ia segera mengambil tindakan. Melaksanakan apa yang ia rasakan benar. Tapi, Topan sungguh malang. Nyawanya hilang.


Ujung-ujungnya Keadilan.

Hilang nyawa Topan akibat tak ada keadilan.

Sedikit kembali ke awal cerita, Demonstran ingin membuat kita mencari lagi di mana sosok 'keadilan' sedang bersembunyi? Sadarkah kita kalau sosok keadilan sudah hampir lenyap? Ya, seperti yang dilihat dan dialami sendiri saja. Masih adakah keadilan?



Di mana bersembunyinya ia?



Penutup.

Saya hanya penonton biasa yang setelah berkata-kata lewat tulisan, ingin mengucapkan selamat bagi sutradara dan pementas. Tak lupa juga pada penikmat yang mau mencoba 'melihat'. Great job! :)

Wednesday, March 19, 2014

Partner.

C'est pas de fleurs. Pas de poupées. Pas de bijoux.
C'est laugh together. Everything is funny. Nothing is boring.
Go everywhere. Ride n'importe quel vehicule,
because every place has their own story.

Eat anything. Cheapest to the most expensive.
Rice to the steak.

Talk about everything.
Debate.
5 minutes of fighting but the rest for loving.
Open. Say positive and negative.
Not egoist. Respect. Not envy.
Keep eyes and ears open, just for listening.
That's the partner should be.
:)

Tuesday, March 11, 2014

Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjer.

Saya menonton pertunjukan teater. Lagi.
Hmm, tapi kali ini sedikit berbeda.
Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjer, begitu judulnya.


https://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/t1/1925219_1466560503556019_527052966_n.jpg
Ceritanya sederhana.
Waktunya juga tidak begitu lama.
Namun sangat berhasil membuat yang hadir terpana.
Pertunjukan ini memang sederhana.
Cukup diperankan enam orang saja.
Cerita yang lama terpendam seakan ditampilkan secara nyata.
Eyang-eyang berumur tua yang berharta derita.
Kala dulu mereka disiksa, difitnah, bahkan terpaksa mendekam di penjara.
Dianiaya.
Jelas saja mereka tak bisa apa-apa, mereka semua tak berdaya.
Siksa itu tentu tak bisa dilupa.
Apalagi oleh mereka yang menderita.
Derita melahirkan di penjara.
Derita disetubuhi di penjara.
Derita kehilangan suami yang dicinta.
Dan juga,
Derita memendam rahasia bertahun lamanya.
Saya memang miris menyaksikannya, tapi saya kagum akan kekuatan para eyang itu di luar sana.
Semua karena harapan mereka masih ada.
Harapan dan cinta yang tumbuh dalam jiwa.
Mereka bisa.
Pasti kita juga bisa, bukan?
Kuatlah, tersenyumlah, pada apa yang mereka bilang kehidupan.
Peliharalah harapan.
Biar boleh kita tuai di masa depan.

Selamat bagi mereka yang terlibat pementasan.
Baik mereka yang tampil di depan maupun bagi mereka yang tak langsung kelihatan.
Terima kasih juga pada kemanusiaan.
Mungkin karena kamu masih hidup, maka pementasan ini tercipta.
Selamat bagi penulis naskah, sekaligus sutradara yang mencipta.

Saya...suka...