Tuesday, February 24, 2015

Kebinatangan Manusia Dalam Novel Lelaki Harimau - Eka Kurniawan

SINOPSIS

Seorang lelaki dua bersaudara bernama Margio merasakan bahwa ada harimau bersemayam di dalam tubuhnya ketika ia mulai beranjak dewasa meninggalkan remaja. Lika-liku kehidupan keluarga yang carut-marut sudah menjadi makanan sehari-harinya, bahkan semenjak ia berusia bocah. Sebut saja kekerasan seorang ayah terhadap anak dan keluarganya hingga kemurungan seorang ibu yang berujung kesintingan kemudian berakhir perselingkuhan dengan tetangga. Selingkuhan ibunya yang dipikir mampu membuat bahagia tak lebih dari seorang pecundang mata keranjang. Cinta akan ibunya membuat harimau dalam lelaki ini bertindak menghabisi nyawa sang perebut hati ibunya dengan cara yang paling brutal.

CUAP-CUAP MENGULAS

Sudah lama saya nggak pernah baca novel dengan begitu serius. Meskipun nyatanya saya harus menghabiskan waktu hampir seminggu, novel berbobot 190 halaman ini habis juga saya lalap.

Alasan pemilihan novel ini sebagai salah satu anggota di daftar buku yang akan saya baca sebenarnya cukup sederhana. Pertama, rangkuman cerita di cover bagian belakang novel ini cukup menarik dan unik. Membuat saya penasaran untuk mendalami kisahnya. Kedua, novel ini saya rasa bukanlah sebuah novel percintaan remaja yang dulu menjadi makanan saya saat SMA. Ketiga, saya ingin mencoba mencicipi sebuah bacaan yang lumayan ‘berat’, atau setidaknya mampu membuat otak saya sedikit bekerja untuk mencerna kata per kata hingga rajutan kalimat di setiap paragrafnya. Dan saya rasa, Lelaki Harimau cukup mampu membebani otak saya dengan ceritanya yang rumit dan penuh kejutan.

Ketika mata dan otak saya berusaha bersinergi memahami permulaan cerita di halaman pertama, di situ saya langsung merasa lelah. Bahasa dan diksi yang digunakan terkesan cukup ‘jadul’. Latar yang digunakan juga tidak kalah kuno. Tidak ada penggunaan gadget. Hanya ada layar tancap bersama di lapangan. Latar tempat hanya di perkampungan (yang disebutkan sebagai kota) dan latar waktu sepertinya adalah masa-masa kala sinema Cintaku di Kampus Biru masih berjaya. Demi menghabiskan halaman-halaman selanjutnya, mau tidak mau saya harus menyesuaikan diri dan berusaha memahami gaya penulisan yang digunakan sang pengarang, Eka Kurniawan.

Seorang pembaca yang memberikan pengakuan di cover belakang novel ini menyebutkan bahwa novel ini serupa dengan kesimpangsiuran dan ketumpangtindihan bahasa-bahasa Byron, Kafka, Virgina Woolf, Edgar Alan Poe, Faulkner, Marquez, dan juga Morrison. Siapa mereka? Saya sendiri bahkan hanya pernah mendengar namanya namun tidak begitu tahu pasti seperti apa bahasa mereka. Yang pasti, novel ini dengan kerumitannya yang tak terbantahkan, mampu membuat saya tenggelam larut dalam kisahnya.

Dengan alur campuran yang digunakan, saya seolah dipermainkan sekali maju sekali mundur kemudian maju lagi, mundur beberapa langkah ke belakang, kemudian maju lagi hingga saya mencapai akhir cerita. Hebatnya, saya tidak pernah merasa dipermainkan dengan tak layak. Perpindahan setiap bagian kisahnya terlalu (atau bahkan sangat) halus. Penghubung antar kisah dibuat sedemikian saru sehingga saya kadang tidak sadar bahwa saya sedang dipaksa mundur ketika saya berada di satu peristiwa ataupun sebaliknya. Uniknya, titik awal dan titik akhir kisah ini hanya bertumpu pada satu peristiwa, yakni pembunuhan yang dilakukan Margio dengan begitu sadis —kemudian diketahui bahwa harimau di dalamnya lah yang berperilaku—.

Keseluruhan kisah yang dituangkan Eka di dalam novel ini membuat saya menganga begitu selesai membaca. Seluruh kekecewaan, kesadisan, kesedihan, berikut juga kesengsaraan bahkan nafsu birahi seperti dicampuradukkan menjadi satu rentetan kisah yang mencengangkan. Singkatnya, semua bermula dari hilangnya rasa suka ibu Margio karena tidak pernah dikirimi surat oleh ayah Margio saat mereka berdua sedang menjajaki hubungan jauh sebelum menikah, hingga pada akhirnya ibu Margio menjadi orang yang sangat kaku jika tidak bisa dijuluki sinting setelah menikah dengan lelaki yang kemudian menjadi ayah Margio, menyebabkan adanya perselingkuhan ibu Margio yang lanjut berbuah hati yang akhirnya mati, dan pada akhirnya si penanam benih ikut-ikutan dihabisi.

Sebelum cuap-cuap mengulas yang entah jelas atau tidak ini saya sudahkan, saya ingin memasukkan pemikiran seorang Bapak (atau Romo) yang sekali waktu saya ceritakan bahwa saya sedang membaca novel ini. Beliau menyampaikan bahwa dari judulnya, sepertinya novel ini akan menampilkan sisi ‘kebinatangan’ manusia. Dan ternyata memang begitu adanya. Sifat ‘kebinatangan’ yang bertindak tanpa berotak, diam karena tidak mampu (tidak mau) bersuara, mengamuk tanpa bisa diredam, juga mengabaikan akal sehat ketika birahi memuncak. Sifat ‘kebinatangan’ yang sadar atau tidak sadar, mungkin saja turut tinggal di dalam diri setiap manusia yang katanya makhluk paling bermartabat dan merupakan citraan penciptanya.

Lelaki Harimau berhasil menguliti sisi ‘kebinatangan’ manusia ini dengan sedemikian halus namun gamblang. Selain itu, Lelaki Harimau sarat pula dengan pesan moral yang bertema besar keluarga. Betapa nasib sebuah keluarga ditentukan dari sang nahkoda rumah tangga. Carut marut kah atau bahagia kah?

Lebih lanjut lagi kalau ditarik lebih jauh hingga ke akarnya, kesimpulan singkat yang bisa saya rangkum dari keseluruhan kisah ini adalah bahwa betapa sakralnya sebuah keterbukaan. Berbagai masalah datang silih berganti hanya karena tidak adanya keterbukaan. Ketidaksiapan seseorang membagi penatnya dan memutuskan untuk menyimpannya rapat terbukti justru jadi malapetaka yang maha dahsyat. Memancing sisi ‘kebinatangan’ dari seekor manusia keluar menampilkan kebuasannya. Bahagia pun sejatinya menjadi lenyap karena 'diam' sedemikian didewakan.

Memilih untuk membaca novel ini sama sekali bukanlah pilihan yang tidak tepat. Kita akan dibawa ke suasana amat lain dari suasana kehidupan penuh hiruk pikuk kendaraan, masuk dan menelusuri kehidupan yang amat terperikan, penuh kepedihan dan teramat kelam.


Kiranya apakah kalian berminat menjelajah kisah Margio?

Tuesday, February 17, 2015

Jupiter Ascending: Where Symbols Represent The Reality

Pernah terbayangkah oleh kalian (dan saya) bagaimana sosok atau rupa sebuah kekuatan Maha yang mengatur skenario kehidupan di bumi ini? Sebagian percaya, bahwa Ia adalah yang kita kenal dengan Tuhan. Sebagian lagi, justru lebih percaya akan teori-teori ilmiah atau sains yang menjabarkan asal-muasal kehidupan atau proses berlangsungnya kehidupan dari sudut pandang atom atau partikel.

Terlepas dari basa basi saya di atas, kita semua seharusnya telah sadar bahwa pada dasarnya, semua hal yang terjadi di bumi ini masih merupakan misteri. Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya pengendali dunia ini. Pengendali nafas kehidupan di sebuah planet bernama bumi. Ya, kenapa bumi? Kenapa manusia? Kenapa nafas? Kenapa hidup? All things are still a mystery for us, humans. Karena tak ada jawaban yang dapat memuaskan hasrat ingin tahu manusia seratus persen, mari kita biarkan misteri demikian tetap menjadi misteri dan manusia tetap pada hakekatnya mencari.

Pencarian akan sebuah pengendali bumi mungkin justru berbuah imajinasi kreatif dari The Wachowskis. Dalam film Jupiter Ascending yang dirilis pada tahun 2015 (I randomly watched it a few days ago), The Wachowskis seakan sangat leluasa bermain dalam kreasi yang berporos pada manusia, kehidupan, dan bumi. Jupiter Ascending bagi saya menjadi sebuah karya yang lahir dari peleburan sel cerita yang sedikit rumit dipahami, diaduk dengan campuran efek sinematografis yang canggih, serta disempurnakan oleh pemeran utama yang menyilaukan mata hati. Channing Tatum and Mila Kunis


Sumber
SINOPSIS

Jupiter Ascending menampilkan 'pemilik bumi' dari sudut pandang dan pemikiran yang berbeda. Film ini menceritakan tentang kehidupan sosok wanita muda bernama Jupiter Jones, seorang pekerja bersih-bersih toilet yang setiap pagi hari mengatakan "I hate my life" sebelum akhirnya bangun dari tempat tidur. Ia tinggal bersama ibu dan keluarga ibunya karena ayah Jupiter sudah tewas dibunuh pada suatu kejadian perampokan sebelum Jupiter lahir.

Penggalan kisah lain muncul ketika sebuah keluarga yang tinggal di tataran luar angkasa mulai masuk ke dalam jalannya cerita. Namanya keluarga Abrasax. Keluarga Abrasax terdiri dari tiga orang anak yang sudah ditinggalkan oleh ibunya karena mati dibunuh. Masing-masing anak yang bernama Balem, Kalique, dan Titus ini mengambil alih planet yang berbeda sebagai wujud dari harta warisan yang ditinggalkan sang ibunda. Bumi, sebagai planet yang hidup, berkembang, dan berpopulasi, dikisahkan menjadi hak penuh seorang Balem. Malang bagi Balem, Bumi yang terlalu menggiurkan tersebut perlahan juga ingin direbut oleh seorang Titus yang tak lain adalah saudara Balem sendiri. 

Seorang Balem meyakini, bahwa ibunya yang sudah tiada itu telah menjelma menjadi seorang manusia biasa setelah melalui proses reinkarnasi. Dengan melakukan penyelidikan yang dieksekusi oleh kaki tangannya, Balem menemukan bahwa adalah seorang perempuan bernama Katharine Dunlevy yang menjadi reinkarnasi dari ibunya. Sadar bahwa gen Abrasax berdiam dalam diri Katharine Dunlevy dan keadaan tersebut akan mengancam status kepemilikannya akan Bumi, Balem memerintahkan bawahannya untuk menghabisi nyawa Katharine. 

Di sisi lain, seorang Jupiter sedang ingin membeli sebuah teleskop, namun ia tidak memiliki cukup uang. Saudara sepupu Jupiter menawarkan sebuah pekerjaan menarik agar Jupiter dapat memperoleh uang. Wanita ini harus menjual sel telurnya dan ia akan mendapatkan imbalan sebesar USD 5.000. Merasa tawaran tersebut sangat menarik, Jupiter memutuskan untuk merelakan sel telurnya. Demi kelancaran prosedur penyerahan sel telurnya, Jupiter menggunakan nama samaran temannya yang tak lain adalah Katharine Dunlevy.

Pada saat prosedur operasi mulai dijalankan, ternyata agen-agen medis yang ada di ruang operasi Jupiter justru berusaha membunuh Jupiter dengan memutus aliran oksigen yang ada. Agen-agen medis ini kemudian diketahui merupakan agen-agen utusan Balem yang menyamar menjadi manusia. Sebelumnya, agen-agen ini telah berusaha membunuh Katharine Dunlevy yang sebenarnya. Hanya saja, karena adanya perbedaan gen antara Katharine dan Jupiter (dan agen-agen Balem tersebut dapat mengenali perbedaan tersebut), maka pembunuhan akan Katharine yang asli tidak berhasil. Kemudian, agen-agen Balem tersebut segera mendapatkan bahwa target mereka sebenarnya adalah Jupiter Jones. 

Sesaat ketika Jupiter hampir kehilangan nyawa, seorang Caine Wise makhluk dengan genetika campuran masuk mendobrak ruang operasi dan menggagalkan proses penghilangan nyawa tersebut. Caine Wise-lah orang yang di dalam film ini menjadi penyelamat Jupiter dalam berbagai situasi dan kondisi yang mengancam. Caine Wise sesungguhnya adalah utusan seorang Titus yang ditugaskan untuk menemukan keberadaan Jupiter dan membawa Jupiter ke hadapan Titus. Akan tetapi, setelah menemukan Jupiter, Caine justru tidak melaksanakan tugasnya untuk menghantarkan Jupiter ke Titus. Ia malah menemani dan mendampingi Jupiter bahkan saat ia mengklaim gelar Abrasax-nya gelar yang memungkinkan Jupiter untuk mengambil alih planet Bumi dari tangan Balem.

Ancaman hidup bagi Jupiter bukan berasal dari pihak seorang Balem saja, melainkan juga dari sisi Titus. Terlebih ketika Jupiter telah mendengar dari Kalique tentang siapa sesungguhnya ia dan kemudian memutuskan untuk melakukan klaim atas kepemilikannya terhadap bumi, Titus makin gencar ingin membunuh Jupiter. Rencana Titus, begitu ia tau Jupiter telah menjadi pemilik sah atas planet Bumi, ia akan menikahi Jupiter dan membunuh Jupiter setelahnya. Tujuannya jelas, Titus ingin agar Bumi menjadi miliknya seutuhnya.

Dengan keinginan yang besar untuk melawan berbagai rencana jahat itu, Jupiter dibantu oleh Caine berjuang untuk mempertahankan kepemilikan Bumi di tangannya. Intrik dan konflik selalu muncul secara bergantian di film ini hingga pada akhirnya Jupiter ditampilkan berhasil mencapai tujuannya. Ia tetap menjadi pemilik sah Bumi yang diakui oleh pemerintahan ruang angkasa (tidak secara gamblang ditampilkan). Namun begitu, Jupiter kembali ke Bumi dan menjalankan hidupnya seperti biasa.

Mengapa Bumi Seolah Begitu Menggiurkan?

Dari sudut pandang keluarga Abrasax, Bumi dipandang sebagai satu lahan peternakan super besar yang menjadikan manusia sebagai hasil ternak paling utama. Kehadiran manusia dalam jumlah banyak merupakan sebuah keuntungan besar bagi keluarga Abrasax, terutama Balem dan Titus. Manusia dianggap sebagai komoditas utama perdagangan intergalaksi karena dari manusia-lah, bangsa makhluk luar angkasa (alien) termasuk Abrasax, dapat menjadi awet muda dan terus memperpanjang masa hidupnya.

Bagaimana bisa manusia menghidupi alien? Tentu saja, semua berasal dari sebuah imajinasi. Imajinasi mampu untuk menghasilkan apa saja. Termasuk imajinasi The Wachowskis menciptakan metode serum sebagai 'makanan' bagi para alien dalam film tersebut. Sayangnya, satu tabung berisi serum memperpanjang umur itu baru dapat dihasilkan dari seratus ekor manusia. Tentu saja, satu tabung serum tidak mungkin cukup bagi para alien yang saya sendiri tidak tahu ada berapa jumlahnya dalam film itu. Dengan demikian, Bumi sebagai penghasil manusia terbanyak di ruang angkasa ini kendatinya menjadi sumber 'kehidupan' yang begitu menggiurkan.

Cara berpikirnya mudah saja. Jika bahan utama pembuatan serum itu dalam hal ini manusia dikuasai oleh keluarga Abrasax, dan keluarga Abrasax dapat menciptakan bertabung-tabung serum, kemudian menjualnya kepada para alien yang membutuhkan, berapa keuntungan yang akan mereka dapatkan? 

Kehidupan dan keuntungan kemudian menjadi dua unsur yang mengikat dalam satu rantai kehidupan. Pihak yang memiliki keuntungan, tentu memiliki kapital untuk menghasilkan sesuatu untuk terus mempertahankan kehidupan. Ibaratnya, manusia butuh uang untuk membeli makanan untuk menyambung hidup, sementara Abrasax (dan makhluk-makhluk aneh lainnya, mungkin) butuh manusia untuk hidup. Karena populasi manusia paling meledak di planet Bumi, maka tak heran, Bumi menjadi begitu 'lezat' di mata mereka.

Pandangan Singkat

Di film ini, saya dipaksa untuk mengerti dan memahami permainan simbol yang digunakan. Waktu, manusia, planet, bumi, alien, bahkan serum. Dan secara otomatis, saya mencoba berusaha menggali makna yang hendak dibawa. Entah pada akhirnya makna yang saya tangkap adalah benar makna yang The Wachowskis hendak sampaikan pula atau malah salah, saya tidak tahu. Yang saya tahu, saya bebas berinterpretasi.

Betapa Berharganya Sebuah Waktu
Ada satu bagian di dalam film tersebut yang membuat saya terkesan. Adegan tersebut menampilkan Kalique yang sedang menjelaskan kepada Jupiter yang sesungguhnya adalah reinkarnasi ibunya tentang hal yang paling berharga dalam hidup bangsa mereka,

"For Abrasax Industries, the single, and most valuable commodity, is not oil, gas, or electricity, but time"

Film ini menjadi menarik ketika bukan lagi sumber daya alam yang menjadi daya tarik utama, melainkan waktu. Manusia di kehidupan nyata mungkin masih mendewakan komoditi seperti yang disebutkan di atas oil, gas, and electricity—. Tetapi manusia, kita, lupa akan satu hal, waktu. Waktu terus berjalan dan kadang-kadang kita tidak pernah sadar sudah berapa lama waktu yang kita habiskan untuk melakukan sesuatu. Berbeda dari pandangan tersebut, Abrasax dkk justru tidak akan pernah mau kehilangan waktu. Waktu bisa menjadi komoditi yang dapat diperdagangkan. Komoditi yang jika dirunut asal-muasalnya, akan bermuara pada manusia yang pada imajinasinya diceritakan sebagai bahan dasar pencipta 'waktu'. 

Bila boleh saya artikan simbol 'waktu' dalam film ini, saya menemukan bahwa 'waktu' tak ubahnya adalah 'makanan' bagi para alien yang berkeliaran di luar angkasa sana. Sedang manusia, tak ada bedanya dengan tingkat piramida paling bawah dalam piramida kehidupan untuk kehidupan luar angkasa sana.

Pentingnya 'waktu' bagi para alien itu bagi saya seakan menjadi sentilan terhadap kehidupan manusia yang seringkali mengabaikan waktu. Mengabaikan masa hidupnya, lama hidupnya. 

Saya pribadi merasa diingatkan akan kehadiran sosok waktu yang pada hakekatnya tidak boleh tidak harus diperhatikan. BUKAN diabaikan. Jika waktu berhenti, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Jika waktu kita habis, kita sudah berbuat apa?

Keserakahan

Perebutan bumi antara Titus dan Balem hanya menunjukkan dua kekuatan yang tidak pernah puas akan apa yang sudah mereka miliki. Mereka bahkan memiliki rencana untuk membunuh seseorang yang ditengarai adalah reinkarnasi ibunya sendiri. Dengan kata lain, keserakahan terlalu lihai bermain dalam benak mereka. Bahkan dalam hubungan persaudaraan atau keluarga yang idealnya harmonis.

Jika di dunia ini di bumi tempat para makhluk yang namanya manusia menjalankan hidup, kita bisa menyaksikan adanya drama perebutan lahan, perebutan sumber daya, eksplorasi sumber daya alam secara besar-besaran untuk memuaskan hasrat serakah pihak-pihak tertentu, maka di dalam film Jupiter Ascending, sumber daya yang diperebutkan bukan lagi lahan atau alam, melainkan adalah manusia. Meskipun seolah-olah lingkup 'aksi serakah' yang dilakukan lebih luas lagi dari hanya sekadar satu planet bumi saja, intinya hanya satu, keserakahan hanya berujung petaka. Bijaknya, jangan jadi serakah, jangan gelap mata, apabila tidak ingin celaka. 

Pesan sederhana yang bisa indera saya tangkap hanya satu. Keserakahan hanya berujung kehancuran. Dalam hal apapun, dalam kondisi apapun, dalam kehidupan di manapun. Terbukti, di akhir cerita ini Titus diindikasikan sebagai pihak yang akan menerima ganjaran atas rencana jahatnya membunuh Jupiter. Balem sendiri terbunuh karena terjatuh dalam pertengkarannya dengan Jupiter. Keserakahan itu kejam, saudara-saudara. Tak kenal siapa dan bagaimana hubungannya, sekali serakah menghajar masuk, maka habislah. 

Pengendali Bumi Tetap Misteri

Saya tidak tahu apakah pandangan saya yang terakhir ini dapat dipahami atau tidak. Yang pasti, pada akhirnya saya masih merasa ada satu rahasia yang tidak terungkap. Yakni mengenai siapa yang menguasai alam semesta. Jupiter boleh saja menguasai bumi. Namun jika memang benar lingkup cerita ini hanya sebagai perluasan representasi apa yang terjadi sebenarnya di bumi, maka tetap tidak ada seorangpun yang tahu siapa pengendali alam semesta —sebuah simbol yang saya pahami sebagai representasi dari bumi itu sendiri—. 

Saya harap kalian tidak bingung dengan apa yang saya jabarkan karena saya juga tidak ingin terjebak dalam kebingungan yang kalian bingungkan. Jadi, pada akhirnya dalam film ini, saya dapat menyimpulkan bahwa 'waktu' merupakan simbol 'makanan', 'manusia' menjadi simbol 'produsen makanan', dan 'Abrasax' menjadi simbol 'manusia'. Kalau boleh saya menerka-nerka lagi, sekiranya dinasti Abrasax ini juga dapat dipahami sebagai sebuah simbol. Jupiter Jones sebagai reinkarnasi seorang Ibu dari Balem, Kalique, dan Titus dapat dipandang sebagai 'Bumi' itu sendiri. Ketiga anaknya dapat dilihat sebagai simbol dari beragam bangsa yang mendiami bumi. Dan planet-planet yang dikuasai setiap anaknya, saya lihat sebagai simbol dari lahan-lahan di atas bumi itu sendiri. Ada lahan yang 'menghasilkan'. Ada lahan yang 'kurang menguntungkan'. Untuk merebut yang 'menghasilkan' tersebut, timbulah 'kompetisi'. Hati-hati terjebak sosok serakah, kompetisi itu mungkin saja tidak berujung suka.

Nah, terlepas dari pemahaman beraneka simbol dalam film ini, lantas siapa yang menjadi simbol penguasa alam semesta yang selama ini kita yakini mengendalikan bumi? Yang pasti, bukan The Abrasax, karena yang saya pahami, Abrasax adalah justru manusia itu sendiri.

Still, all things are a mystery for us, humans. Nobody can explain it precisely.

Thursday, February 12, 2015

Hashtag Banyak di Instagram: Perlukah? Atau Mengganggukah?

HALO!

Setelah sebelumnya saya menulis dengan topik-topik yang (kayaknya kok sok) serius, seperti topik KPK vs POLRI atau topik S2, kali ini saya kebetulan ingin menuangkan gagasan saya tentang topik yang tidak terlalu serius. Tentang Instagram.

Sebelum membaca postingan ini, saya mau nanya, kalian punya akun nggak di Instagram?

Kalau punya: oke, berarti kalian akan mampu memahami tulisan saya kali ini.
Kalau nggak punya: oke, berarti kalian cukup membaca saja, tidak perlu memahami *loh*.

Hehe, terlepas dari eksis atau nggaknya kalian di dunia per-Instagram-an, tulisan ini pada dasarnya ingin menyuarakan apa yang saya pikirkan tentang salah satu unsur ber-Instagram. Yap, tentang Hashtag atau Tagar.

Definisi Hashtag Atau Tagar

Kalau saya tidak salah mengamati dan menyimpulkan, hashtag yang dicantumkan pada setiap caption foto di Instagram itu sesungguhnya adalah sebuah cara yang sangat amat memudahkan para pengguna Instagram dalam menyebarluaskan hasil karyanya. Hashtag tersebut idealnya merupakan kata kunci —biasanya diawali oleh tanda pagar— yang mungkin akan diketikkan para pengguna lain dalam pencarian kategori foto tertentu. Kata kunci tersebut tentunya harus berkaitan dengan tema dari karya foto yang diunggah ke Instagram.

Misalnya:

1. Untuk foto makanan, minuman, cemilan, atau restoran, biasanya hashtag yang muncul adalah #instafood, #culinary, #foodgasm, #foodphotography, #dailyfood, dan lain sebagainya.

2. Untuk foto pantai, laut, gunung, atau pemandangan, biasanya hashtag yang digunakan adalah #instatravel, #travelphotography, #traveling, #beach, #mountain, #hiking, dan atau #beautifulIndonesia.

3. Untuk foto yang berkaitan dengan fashion atau style seseorang, hashtag yang muncul pun akan berbeda, yaitu #fashion, #instaootd, #ootd, dan lain-lain.

Salah satu contoh penggunaan hashtag
Masih banyak tema-tema foto lain yang mungkin diunggah ke Instagram. Sebut saja tema otomotif, sejarah, wedding, human interest, atau bahkan foto-foto pribadi alias selfie.
Hashtag yang tidak terikat pada satu tema khusus pun ada, misalnya #instagram, #photooftheday, #bestphoto, dan masih (super) banyak lagi.

Hashtag juga biasanya digunakan sebagai salah satu unsur kompetisi foto di Instagram. Salah satu contoh hashtag yang saya ketahui berlaku untuk kompetisi adalah #BatikJelajahNusantara yang digaungkan oleh @BatikAir beberapa bulan yang lalu. Para peserta kompetisi diwajibkan untuk mengikutsertakan hashtag tersebut di dalam setiap caption foto yang dilombakan.

Jika dicermati, penggunaan hashtag khusus seperti itu sekiranya bertujuan untuk memudahkan juri atau tim penyelenggara lomba dalam melacak foto mana saja yang telah berpartisipasi dalam kompetisi. Sebagai peserta, kita juga dapat melihat-lihat foto apa saja yang sudah diunggah untuk perlombaan, tentunya dengan mengakses hashtag yang disyaratkan tersebut. 

Kok Tidak Pakai Hashtag?

Nah menariknya, selain menemukan pengguna yang rajin ber-hashtag, saya juga menemukan beberapa following saya di Instagram yang tidak menyertakan hashtag pada setiap fotonya. Padahal kan kalau ada hashtag-nya, foto tersebut akan memiliki kesempatan lebih besar untuk dilihat secara lebih luas lagi. Tul ndak?

Sebagai contoh, ketika saya sedang ingin melihat berbagai macam foto kecantikan dan keindahan alam Indonesia, tentu saya akan mencari foto-foto dengan hashtag #beautifulIndonesia atau #InstaNusantara. Setelah saya mengakses hashtag tersebut, maka seketika saya akan disuguhkan berbagai macam foto pemandangan alam Indonesia. Jika foto tersebut memang benar-benar bagus dan menarik, bukan tidak mungkin saya akan mencoba mem-follow akun si pengunggah. Tul ndak?

Begitupun dengan saya. Di akun Instagram milik sendiri, dapat dikatakan followers saya masih sangat sedikit. Untuk itu, bagaimana caranya saya menyebarluaskan foto saya agar dapat dilihat berbagai pasang mata di segala penjuru dunia? Jelas saja, salah satunya dengan hashtag. Kadang-kadang, beberapa orang yang tidak saya kenal malahan tertarik untuk menekan opsi follow di profil saya. Lumayan kan, kekuatan si hashtag itu? Tul ndak?

Lantas kira-kira kenapa ya banyak pengguna Instagram —baik yang merupakan following saya atau bukan— tidak mengikutsertakan satu atau beberapa hashtag dalam fotonya

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya kira, saya butuh riset yang panjang, mendalam, dan melelahkan hingga saya dapat memberikan jawaban yang akurat. Namun, sehubungan dengan niat saya yang tidak sebesar itu untuk mendalami persoalan ini, maka saya akan mencoba untuk berasumsi saja.

1. MUNGKIN SAJA jumlah followers mereka sudah banyak

Asumsi pertama ini mungkin yang paling masuk akal. Jika followers seseorang sudah banyak, tentu saja kemungkinan untuk mendapatkan banyak likes pada setiap foto akan semakin besar. Selain itu, tanpa penggunaan hashtag, karya foto mereka sudah pasti mampu tersebar secara luas. Minimal, followers yang menurutnya sudah banyak itu akan melihat karya-karya dari mereka yang mengunggah.

2. MUNGKIN SAJA likers setia mereka sudah banyak

Alasan kedua ini mungkin masih dapat diterima juga. Bisa saja ketika seorang instagrammer tidak mencantumkan hashtag pada setiap fotonya, ia masih mampu memperoleh banyak likes. Dengan kata lain, penikmat foto mereka sudah terhitung banyak, so penggunaan hashtag tidak lagi dianggap terlalu penting.

3. MUNGKIN SAJA strategi mereka sudah terlampau cerdas

Alasan ketiga ini mungkin jauh lebih strategis. Jika seseorang tidak menggunakan hashtag, itu bisa saja disebabkan oleh strategi mereka yang pintar dalam memancing pengguna lain untuk berkunjung ke profilnya. Salah satu strateginya adalah sering-sering memberikan like atau mampir ke profil pengguna lain. Dalam hal ini, asas balas budi kemungkinan besar dapat diterapkan. Saya mampir ke profil kamu, saya like foto kamu, jadi kamu mampir ke profil saya juga ya, kamu like foto saya juga ya. Kurang lebih begitu.

Perlu disadari, balas-membalas like ini sebaiknya dilakukan karena benar-benar suka akan kualitas fotonya, bukan hanya pemaksaan balas budi semata.

4. MUNGKIN SAJA mereka lelah

Ya, untuk mengetikkan beragam hashtag, pasti akan dibutuhkan waktu lebih banyak hingga pada akhirnya sebuah foto dapat muncul di laman profil Instagram seseorang. Salah seorang teman saya juga mengakui hal ini. Ia merasa malas mengetikkan banyak hashtag karena cukup memakan waktu. Jadi nambah-nambahin kerjaan. Akan lebih mudah jika langsung upload saja dengan caption seadanya. 

5. MUNGKIN SAJA mereka nggak mau IG-nya jelek

Instagram jelek? Kok bisa? Ada seorang teman yang mengatakan pada saya bahwa ia lebih suka caption yang simpel-simpel namun menarik. Tidak perlu banyak hashtag. Menurut dia, kalau menggunakan banyak hashtag, maka akan membuat laman profilnya jelek.

Alasan ini masih dapat diterima sih, mengingat hashtag yang super banyak akan sangat memenuhi caption sebuah foto yang tampil di setiap laman profil Instagram. Hal ini berakibat pada hilangnya daya tarik dari laman profil Instagram seseorang itu. Kalau sudah seperti itu, opsi untuk tidak mencantumkan hashtag yang kelewat banyak adalah sebuah solusi yang tepat.

6. MUNGKIN SAJA mereka bangga

Alasan ini sesungguhnya didasarkan pada insting saya sebagai seorang manusia. Ketika saya mengunggah sebuah foto ke akun Instagram milik saya, dan saya tidak menyertakan hashtag di caption-nya, namun saya mendapatkan like yang sangat banyak, tentunya saya akan merasa bangga. Jelas, dong! Hashtag itu kan salah satu bentuk promosi hasil karya. Kalau saya tidak perlu susah-susah promosi, tapi penikmat dan penyuka foto saya sudah banyak, masa iya saya nggak bangga?

Mungkin suatu saat nanti, jika saya berhasil mencapai titik ini, dalam hati saya akan berkata kepada pengguna yang masih memasang hashtag, "Nih liat, instagram gue aja nggak perlu pake hashtag banyak-banyak, udah bejibun yang nge-like!"*.

*Edisi nyolot plus sombong. Woooo! Hehe.*

7. MUNGKIN SAJA mereka nggak mau ganggu

Alasan ketujuh ini merupakan asumsi saya yang terakhir sekaligus alasan yang membawa saya pada bagian tulisan yang selanjutnya. Mungkin, ada beberapa orang yang merasa bahwa dengan banyaknya hashtag yang disertakan pada setiap fotonya, orang-orang lain (atau followers-nya) akan merasa terganggu. Jika seseorang merasa terganggu, bukan tidak mungkin, tombol unfollow dapat ditekan dengan segera. Pasti, sebagian besar pengguna Instagram (termasuk saya) akan merasa terusik jika jumlah followersnya berkurang, apalagi jika hanya disebabkan oleh penggunaan hashtag yang tidak tepat.

Mungkin (lagi-lagi mungkin), ada juga sih orang-orang yang tidak peduli akan jumlah followers-nya. Mau di-follow ya syukur, mau nggak di-follow ya syukur. Tapi logikanya, orang-orang seperti ini biasanya juga nggak akan peduli apakah posting-an mereka di Instagram mengganggu atau nggak. Yang penting judulnya berkarya.

Patut diingat, ketujuh alasan yang saya kemukakan di atas masih sebatas asumsi, belum kesimpulan pasti. Jadi, masih ada kemungkinan bahwa saya salah. Tapi, bagaimana kalau saya benar? Ya, bagus lah bagus dong itu sih urusannya.

Hashtag, Mengganggukah?

Sesuai apa yang sudah saya singgung di poin ketujuh, poin tersebut adalah poin yang cukup menarik untuk mengantarkan saya hingga tiba pada pembahasan ini. Apakah benar, penggunaan hashtag pada setiap foto kita di Instagram mengganggu?

Lagi-lagi, karena saya tidak riset, jadinya tulisan ini hanyalah bersumber pada asumsi dan ide di dalam otak saja. Ah ya, tentunya juga dengan pengamatan sehari-hari plus ditambah pengalaman diri sendiri bermain Instagram. 

Bagi saya pribadi, penggunaan hashtag itu tidak mengganggu. Selama, penggunaannya wajar dan tidak berlebihan. Saya justru sampai sekarang masih menilai hashtag sebagai cara yang paling efektif dalam menyebarluaskan (mempromosikan) hasil foto saya kepada orang lain, baik mereka yang saya kenal, maupun yang saya tidak kenal. Hashtag juga nyatanya, berfungsi dalam menaikkan jumlah followers saya di Instagram.

Lantas, kriteria apa saja yang membuat penggunaan hashtag itu menjadi sangat mengganggu dan seyogianya harus dihindari?

1. Penggunaan Hashtag Yang Tidak Sesuai Dengan Tema Foto

Kalau kalian ingin melihat-lihat foto dengan hashtag #beautifulIndonesia, tapi yang kalian temukan justru gambar alat kosmetik atau kecantikan, kesel nggak? Kalau kalian sedang mengakses foto-foto ber-hashtag #foodgasm, tapi kalian justru melihat gambar mobil balap di parkiran hotel mewah, bete nggak? Penggunaan hashtag yang tidak berhubungan dengan tema foto inilah yang harus dihindari.

Seringkali, untuk mendapatkan banyak like, seseorang menggunakan beraneka ragam hashtag bahkan yang tidak berhubungan sama sekali dengan foto yang diunggah. Memang benar, semakin banyak hashtag yang digunakan, maka akan semakin besar kemungkinan foto kalian akan dilihat oleh orang lain. Tapi mbok ya nggak gitu juga caranya. Jangan menggunakan hashtag secara berlebihan, apalagi sampai melencong begitu dari tema foto. Ini baru namanya ganggu.

2. Jumlah Hashtag Yang Ngalahin Jumlah Sekantong Permen

Isi satu kantong permen biasanya berapa? 30? 40? Nah, kalau bisa, ketika kalian memutuskan untuk memasang hashtag pada setiap posting-an di Instagram, jangan sampai jumlahnya melebihi 30 atau 40. 20 hashtag saja sudah tergolong banyak, apalagi 30 atau 40 hashtag? Pastinya akan mengganggu mereka yang melihat foto kalian. 

3. Penggunaan Hashtag #TagsForLike #Follow4Follow #Like4Like, dll.

Penggunaan hashtag lainnya yang tergolong mengganggu adalah penggunaan hashtag-hashtag di atas. Jujur, saya pernah menggunakan salah satu di antaranya hanya untuk melihat sesignifikan apa penambahan like atau followers Instagram saya. Namun, lama-kelamaan saya merasa bahwa hashtag ini mengganggu. Selain karena tidak ada hubungannya dengan tema foto tertentu, hashtag semacam ini juga seolah memaksa pengguna lain untuk berbalasbudi BUKAN berdasarkan kualitas sebuah karya, melainkan berdasarkan kuantitas saja.

Jika saya menggunakan hashtag ini, maka orang-orang tidak akan memfollow saya berdasarkan ketertarikannya akan karya saya, tetapi orang-orang akan memfollow saya karena saya sudah terlebih dulu memfollow dia, padahal belum tentu saya menyukai karyanya. Logikanya, saya pun hanya terpaksa memfollow dia.

Setelah penjabaran di atas, mungkin saya pada akhirnya bisa memberikan kesimpulan bahwa pada dasarnya, penggunaan hashtag di setiap posting-an Instagram itu adalah berguna dan bermanfaat. Asalkan jangan berlebihan dan jangan mengganggu sesama pengguna Instagram, apalagi pengguna yang memfollow kalian.

Kalian yang memilih untuk tidak menggunakan hashtag juga jangan sampai menyangka bahwa pengguna hashtag dalam jumlah banyak (namun wajar) seperti saya adalah orang-orang yang fotonya tidak laku. Mereka (dan juga saya) hanya sedang berusaha untuk promosi dan menyebarluaskan karya, jadiiiiii tolong dimaklumi dan dimengerti saja. He-he-he.

Sebagai pemain Instagram, jangan sampai juga kalian membiarkan foto-foto bagus kalian di-upload tanpa menggunakan satupun hashtag. Kalau begitu ceritanya, bagaimana orang-orang yang tidak mem-follow Instagram kalian dapat melihat indahnya foto kalian? 

So, seperti nasihat-nasihat bersosial media pada umumnya, cerdas-cerdaslah dalam memanfaatkan akun sosial media yang kalian punya. Sebuah nilai tambah jika kalian mampu membuat akun kalian menjadi disukai dan bernilai. Selamat ber-hashtag

Thank you for reading.

Tuesday, February 10, 2015

Jenjang Pendidikan Master/S2: Kebutuhan Atau Keinginan?

Hello!

Bagi kalian yang akhirnya meng-klik link tulisan ini setelah menemukannya di media sosial manapun, saya ucapkan selamat serta terima kasih :). Selamat karena kalian sudah mau saya bikin galau atas pilihan S2 kalian dan terima kasih karena kalian mau membaca sedikit pandangan saya tentang pendidikan S2.

Galau? Hm, sebenarnya saya tidak bermaksud menyebut ini galau. Saya yakin, jikalau kalian sudah mantap dengan pilihan kalian untuk melanjutkan pendidikan S2, kalian tidak akan terpengaruh oleh apapun yang saya tulis di sini. Percayalah, saya tidak ingin menggagalkan apapun. Saya hanya ingin membagi, menyampaikan, ataupun mengemukakan gagasan saya. Boleh ya? Boleh kan, boleh dong*?

*hehe, gaya kan-dong ini sudah lama sekali ya saudara-saudara*

(Dulu) Saya mau S2!

Jujur saja, saya tentu pernah bersinggungan dengan keinginan (cita-cita) untuk menempuh pendidikan S2. Semua bermula ketika saya pertama kali mengunjungi EHEF (European Higher Education Fair) sebuah pameran pendidikan tinggi di Eropa yang memberikan banyak sekali penawaran dari berbagai kampus di Uni Eropa dan sekitarnya pada tahun 2011 atau pada saat saya sedang menempuh pendidikan semester tigaWaktu itu, setelah berkeliling dari ujung ke ujung arena pameran, saya akhirnya jatuh hati pada sebuah kampus bernama SciencesPo. di Paris. Pilihan itu diambil karena saya menemukan bahwa kampus tersebut adalah kampus yang mencetak sebagian besar orang besar di Prancis. Sebut saja Jacques Chirac atau François Hollande. Selain itu, saya menemukan program studi yang saya ingin ambil, yakni S2 Jurnalisme, ada di SciencesPo.

Pulang dari acara tersebut, saya membulatkan tekad dalam diri saya untuk mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang pendidikan S2 di Prancis, terutama pendidikan S2 Jurnalisme yang ingin saya tempuh di L'école de journalisme de Sciences Po. Mulai dari biaya (paling penting!), cara mendaftar, lama pendidikan, biaya hidup, tempat tinggal, dan banyak lagi. Ijin orang tua juga tidak ketinggalan. Setuju tidak setuju, ijin itu bisa dibilang lampu hijau yang paling penting sebelum saya dapat melesat mencari info-info yang saya butuhkan.

Nyatanya oh nyatanya, ijin itu tak kunjung datang. Berbagai alasan mulai dari posisi saya sebagai anak tunggal yang akan membuat rumah semakin sepi jika pergi, kemudian dana perkuliahan yang pasti tidak sedikit, sampai alasan remah-remah seperti umur yang terus bertambah selagi saya berkuliah es duamulai dilontarkan secara terstruktur, sistematis, dan masif (kayak familiar dengan istilahnya, ya?). Lama-kelamaan, niat itu luntur juga seiring dengan ijin yang tak kunjung rilis. Lama-kelamaan, saya hanya sering berkunjung ke laman kampus itu tanpa benar-benar mengorek informasi. Pada akhirnya, sampai saya lulus kuliah di akhir tahun 2013 kemarin, saya sama sekali tidak berhasil mengumpulkan data yang bisa dikatakan berarti. 

Sedih? Tentu. Saya merasa tidak cukup memperjuangkan keinginan saya untuk berkuliah S2. Kecewa? Bisa dikatakan, iya saya cukup kecewa. Di saat teman-teman yang lain mulai dengan mantap menjawab "Iya, gue mau lanjut S2" saat ditanya tentang pilihan S2 atau langsung kerja, saya justru masih mengawang-ngawang di antaranya. Mau S2, belum menentukan di mana. Mau kerja, juga belum tau mau kerja di bagian apa dan di mana. Lalu, akhirnya?

S2/Kerja? Nyatanya, Kerja

Beberapa waktu sebelum saya resmi diwisuda, saya mendapatkan sebuah tawaran pekerjaan dari pembimbing akademis saya. Lantas, beberapa hari sebelum wisuda, saya resmi bekerja sebagai salah satu anggota divisi Marketing sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bakery industry. Akhirnya saya bekerja dan bukan sibuk mengurus es dua. 

Selama saya bekerja, ada beberapa hal yang terpaksa ditunda. Salah satunya, jurnal untuk mendapatkan ijazah (untungnya sih, sekarang ijazah sudah di tangan setelah satu tahun wisuda). Selama bekerja itu pula, saya mencoba mencari apa yang saya inginkan. Apakah benar-benar ingin S2? Atau hanya ingin serius bekerja?

Saya mulai mengajukan ijin yang kedua kalinya kepada orang tua saya. Hasilnya? Tetap saja tidak ada ijin untuk S2 di luar negeri. Kalau memang benar ingin S2, dalam negeri saja sudah cukup. Tidak perlu jauh-jauh. Toh gelarnya sama-sama master. Di samping usul itu, orang tua saya mencoba memberikan pengarahan, apakah benar-benar S2 itu kebutuhan saya? Pengarahan tersebut kemudian bukan tanpa contoh. Beberapa nama saudara yang sedang menempuh S2 (bahkan S3) dan belum menikah turut diikutsertakan dalam perbincangan tersebut. Alhasil, selanjutnya saya mencoba untuk berpikir ulang tentang ide menempuh pendidikan S2.

Tidak, Saya Tidak Ingin S2

Saya mencoba berpikir pelan-pelan. Pertama, saya bukan tipe penulis makalah ataupun skripsi yang baik. Lulus dari S1 saja, saya tidak membuat skripsi. Orang boleh bilang kuliah saya hampa tanpa skripsi atau saya tidak mampu menghadapi tantangan hidup karena tidak mau skripsi. Tapi, hey, tantangan hidup tidak hanya pada skripsi *pembelaan*. Kembali ke topik, skripsi saja saya tidak punya, apalagi saya diharuskan membuat tesis? Mungkin bisa lebih dari dua atau tiga tahun itu gelar master baru nempel di belakang gelar S.Hum saya. Kedua, masih terkait dengan alasan menulis, membuat jurnal saja, saya butuh satu tahun untuk benar-benar fokus. Apalagi membuat tesis sambil mencari uang sendiri? Untuk itu, saya teramat salut bagi mereka semua yang berhasil menelurkan sebundel tesis di akhir studi S2 mereka, terlebih bagi mereka yang membuatnya sambil bekerja dan mencari penghasilan. Cool! Ketiga, kalaupun saya menempuh S2 di negeri sendiri, dan saya mengambil pendidikan jurnalisme, saya nggak yakin saya akan betah memaksakan beragam ilmu dan teori itu masuk ke dalam otak saya. Eventhough I really love writing and journalism. Saya nggak ngebayangin berapa banyak jurnal dan tulisan ilmiah yang harus saya buat sebagai seorang mahasiswa es dua. Bukan tulisan dengan genre itu yang saya suka. Nantinya ketika saya beneran jadi reporter atau jurnalis atau wartawan, yang saya tulis juga bukan jurnal ilmiah, tetapi berita. Yang saya tuangkan bukan teori A, atau teori B, akan tetapi kejadian apa yang saya lihat di lapangan. Keempat, ini mungkin alasan yang sangat subjektif. Saya tidak mau menempuh pendidikan es dua hanya karena saya tidak ingin kalah saing dengan teman-teman yang lain. Istilahnya, saya tidak ingin menjadi mahasiswa es dua hanya untuk gaya-gayaan semata. Saya ingin, kalaupun saya benar-benar menempuh pendidikan S2, itu saya lakukan karena saya benar-benar ingin dan benar-benar butuh. Pada akhirnya, renungan saya berujung pada konklusi bahwa, bukan pendidikan es dua yang saya butuhkan, melainkan pengetahuan umum dan pengetahuan yang luas. Sekiranya dapat pula ditambah dengan pikiran yang terbuka, sikap yang berani, mental yang kuat, dan pengalaman yang banyak. Saya lebih tertarik belajar di lapangan daripada belajar di kelas. Saya lebih merasa ujian hidup jauh lebih keras daripada sekadar ujian di dalam kelas. Saya lebih memilih bertemu orang banyak, atau diceramahi beberapa orang yang berpengalaman, dibandingkan harus bertemu dengan dosen yang sama setiap harinya. Saya akhirnya menyadari bahwa saya bukan orang yang suka terikat dengan institusi pendidikan. 

Lha, Terus Kenapa Dulu Kuliah S1?

Iya juga ya, kalau saya pada akhirnya berpikir tidak membutuhkan S2, kenapa dulu saya harus kuliah S1? Harus capek-capek menguras otak, membuang waktu dan tenaga hanya demi sebuah gelar sarjana? Harus bela-belain masuk kuliah demi bertemu dosen yang itu lagi itu lagi? Harus berjuang begadang sampai tengah malam demi membuat makalah atau belajar untuk ujian? Harus bersusah payah menghafalkan konjugasi bahasa Prancis yang alamak susahnya?

Inilah uniknya S1 bagi saya. Perkuliahan menempuh gelar S1 tidak hanya memberikan saya teori dan ilmu kaku. Akan tetapi, perkuliahan juga memberikan saya babak baru dalam menempuh hidup. Perkuliahan memberikan saya banyak 'bekal' baru yang mampu membuat saya 'kenyang' di masa depan. Perkuliahan bagi saya merupakan jembatan peralihan dari pola pikir saya yang masih remaja menuju pola pikir dewasa. Oleh karenanya, S1 bagi saya tetap menjadi istimewa meskipun saya harus berjuang sedemikian rupa meraih gelar sarjana. 

Singkat kata (karena bukan bagian ini yang utama), saya merasa S1 tetap penting karena adanya perbedaan-perbedaan signifikan antara pendidikan S1 dengan pendidikan SMA. Mungkin bisa saya jabarkan beberapa.

1. Jadwal
Dari segi jadwal saja sudah berbeda. Di SMA, yang mengatur jadwal seorang siswa adalah sekolah. Masuk setengah tujuh pulang pukul satu. Di kuliah? Yang memilih jadwal adalah mahasiswa. Yang menyediakan jadwal memang masih tim dari program studi. Akan tetapi, mau atau tidaknya seorang mahasiswa memilih jadwal yang sudah disediakan itu sepenuhnya menjadi hak mahasiswa, bukan?

Pada aspek ini,
seorang mahasiswa mulai dikenalkan pada kebebasan,
dan
seorang mahasiswa mulai dikenalkan pada kemandirian.

2. Aktif
Di SMA, semua buku sudah disediakan untuk setiap pelajaran. Di perkuliahan? Meskipun referensi buku sudah diberikan oleh dosen, setiap mahasiswa masih harus mencari tambahan referensi lain demi lebih memperoleh ilmu. Syukur-syukur kalau buku yang menjadi referensi ditulis dalam bahasa Indonesia. Kalau ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Prancis (bagi saya?), akan lebih sulit bukan?

Pada aspek ini,
seorang mahasiswa mulai diajarkan untuk memiliki inisiatif,
dan
seorang mahasiswa mulai diajarkan untuk berjuang lebih keras dalam memahami mata kuliah yang sedang dipelajarinya.

3. Tugas-tugas Hingga Skripsi
Saya tidak menampik bahwa saya juga menemukan setumpuk PR atau tugas yang diberikan oleh para guru di tingkat SMA. Kadang-kadang malah gurunya tega, PRnya dikasih hari ini, dikumpulkannya esok hari. Masih mending juga tugas-tugas di perkuliahan. Dikasih hari ini, dikumpulkannya bisa minggu depan, atau dua minggu kemudian. Namun eits jangan salah, standar mencapai A jangan dikira rendah. Sudah menulis susah payah saja, kadang-kadang nilai yang dicapai baru B-. Kalau dianugerahi kemampuan menulis karya ilmiah yang baik dan mumpuni, baru deh nilai A dijamin mampu dikantongi. 

Skripsi sebagai salah satu syarat lulus juga merupakan anggota setia dari keluarga karya ilmiah (terima kasih seribu bagi program studi Prancis dan bagi para pembuat kebijakan di UI yang justru memberikan kemudahan mahasiswanya untuk lulus tanpa skripsi). Saya yakin, seseorang yang melewati skripsi akan bisa menghadapi tantangan hidup lainnya. Meskipun di awal tulisan ini saya bilang bahwa tantangan hidup bukan hanya skripsi, akan tetapi orang-orang yang mampu melewati tahapan penulisan skripsi dan bukan melepasnya atau bahkan meninggalkannya di tengah jalan adalah orang-orang yang saya rasa kuat dan hebat!

Bukan berarti orang-orang yang lulus non-skripsi tidak kuat dan hebat. Meskipun tidak skripsi dan hanya membuat jurnal, mereka juga hebat karena mampu menghasilkan sebuah karya ilmiah (iya, kan jurnal juga karya ilmiah, bro!). Mendapatkan tanda tangan persetujuan dari seorang pembimbing jurnal juga bukan sesuatu yang bisa digampangkan loh ya (curhat). 

Ketiga poin di atas mungkin baru segelintir 'bekal mental' yang saya dapatkan selama perkuliahan. Masih banyak pengalaman dan pelajaran lain yang saya kenyam selama saya berjuang mendapatkan gelar sarjana Humaniora. Bukan hanya saya, saya yakin juga beribu-ribu mahasiswa di luar sana yang akhirnya berhasil mendapatkan macam-macam gelar sarjana, telah berhasil menangkap berbagai macam ilmu selain ilmu di dalam kelas. Untuk itu, sekali lagi saya katakan, S1 bukan hanya tempat saya menimba ilmu tetapi juga arena peralihan saya dari yang berpikir ala remaja, menjadi seorang yang mampu berpikir dewasa.

Jadi, apakah S1 penting bagi saya? Jelas, S1 itu penting. 

Kok Bisa S1 Penting, S2 Nggak?

Kalau saya masih membahas ini lebih mendetil lagi, itu tandanya saya akan berputar-putar di satu tempat saja. Inti dari segala inti adalah, saya merasa pendidikan strata satu dan proses perjuangan saya mendapatkan sebuah gelar adalah sudah lebih dari cukup untuk menjadi bekal hidup saya bertahun-tahun ke depan. Sudah saatnya saya mencari arena bermain lain yang berbeda dari sekadar 'ruang kelas' dan lingkup akademis. Sudah tiba waktunya saya terjun ke 'lapangan', belajar dari kejadian, dan berkaca pada realitas. Karena bagi saya pribadi, hal-hal di luar sana akan jauh lebih menarik dan memperkaya diri saya dibandingkan dengan mengejar gelar master saja. 

Setidaknya, saya sudah cukup puas karena pernah diperkenalkan dan diperkenankan bermain di dalam lingkungan akademis yang jauh lebih serius dan menegangkan dari pada hanya sekadar mengejar nilai di sekolah. Setidaknya, saya pernah tahu bagaimana mengurus riwayat akademis diri sendiri, kenal akan susahnya memperjuangkan kata 'lulus' di setiap mata kuliah, serta pernah lulus, memakai toga dan diwisuda.

Saya tidak mengatakan pendidikan S2 tidak penting. Bagi sebagian besar orang, S2 mungkin tergolong sangat penting karena merupakan kelanjutan dari pendidikan S1 yang ia tempuh. Pada beberapa program studi misalnya saja dalam pendidikan kedokteranjenjang S2 tentu dibutuhkan untuk memperoleh ilmu yang lebih spesifik lagi dibandingkan dengan ilmu pendidikan S1 yang lebih umum. Selain itu, pendidikan S2 juga kiranya penting bagi mereka yang ingin menjadi tenaga pengajar atau dosen di universitas. Di sini, posisi S2 menjadi kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan.

Jadi, S2 bukannya tidak penting. Semua itu hanya bergantung pada apa tujuan seseorang menempuh pendidikan S2.

Bagi Saya, S2 Masih Merupakan Keinginan Semata

Segala celotehan di atas sejatinya hanya ingin menunjukkan bahwa, tidak selamanya pendidikan S2 itu menjadi kebutuhan seseorang. Buktinya, saya pribadi hingga sekarang masih merasa bahwa gelar master itu hanyalah keinginan selewat saja, bukan kebutuhan. Hanya berada di tataran keinginan pun belum cukup. Artinya, belum tentu saya akan memperjuangkan gelar tersebut karena bukan pendidikan formal semacam itu yang saya sukai. Bukan gelar tersebut saja yang harus saya pikirkan, melainkan juga kesiapan saya untuk mampu berdamai dengan proses pencapaian itu nantinya. Bagaimana jika saya tidak bisa menikmati prosesnya? 

Ya betul, untuk mencapai suatu tujuan, dalam hal ini gelar master, saya harus mampu melewati semua prosesnya. Namun, jika saya menemukan bahwa gelar master ini bukan tujuan utama yang benar-benar saya inginkan dan butuhkan dalam hidup saya, bukan pula menjadi satu-satunya cara untuk memperoleh tujuan hidup saya yang sebenarnya, apakah saya tetap harus memaksakan diri? Tentu tidak.

Pada akhirnya, saya tetap pada pilihan saya untuk tidak melanjutkan S2.

Kalaupun nanti S2 akan menjadi sebuah kebutuhan mendesak bagi saya, saya mungkin tidak akan mampu melarikan diri darinya. Hanya saja, karena S2 masih di batas keinginan dan belum mendobrak ke dalam batas kebutuhan, saya rasa, saya masih akan belajar dari lapangan saja. So, bye-bye S2!!!

Akhir Kata

Sesuai dengan sub-judul bagian ini akhir kata, saya hanya ingin mengajak teman-teman yang memiliki keinginan menempuh S2 untuk benar-benar memantapkan diri akan pilihannya. Apakah S2 adalah sesuatu yang benar-benar kalian inginkan dan butuhkan? Apakah proses pendidikan S2 akan bisa kalian jalani dan nikmati? Yang terpenting, kalian harus bisa menjawab pertanyaan ini dengan yakin, 'Apa tujuan kalian menempuh pendidikan S2?'


Sumber
PS:

Saya tergelitik untuk melahirkan tulisan ini karena hingga saat ini, saya masih banyak melihat orang lain (sebagian di kalangan teman-teman saya sendiri) yang mampu mendapatkan pekerjaan hebat ketika ia baru lulus dari pendidikan S1. Beberapa bahkan menjadi reporter atau jurnalis (my future job, I wish) tanpa memiliki gelar master di belakang gelar sarjana-nya.

Faktanya, beberapa teman saya yang tidak melanjutkan kuliah S2 atau bahkan mereka yang tidak cerdas di pendidikan S1nya, mampu memiliki wawasan yang lebih luas, serta memberikan saya pelajaran hidup yang amat berharga yang tidak akan saya dapatkan di bangku kuliah. Terima kasih untuk kalian!