Tuesday, February 10, 2015

Jenjang Pendidikan Master/S2: Kebutuhan Atau Keinginan?

Hello!

Bagi kalian yang akhirnya meng-klik link tulisan ini setelah menemukannya di media sosial manapun, saya ucapkan selamat serta terima kasih :). Selamat karena kalian sudah mau saya bikin galau atas pilihan S2 kalian dan terima kasih karena kalian mau membaca sedikit pandangan saya tentang pendidikan S2.

Galau? Hm, sebenarnya saya tidak bermaksud menyebut ini galau. Saya yakin, jikalau kalian sudah mantap dengan pilihan kalian untuk melanjutkan pendidikan S2, kalian tidak akan terpengaruh oleh apapun yang saya tulis di sini. Percayalah, saya tidak ingin menggagalkan apapun. Saya hanya ingin membagi, menyampaikan, ataupun mengemukakan gagasan saya. Boleh ya? Boleh kan, boleh dong*?

*hehe, gaya kan-dong ini sudah lama sekali ya saudara-saudara*

(Dulu) Saya mau S2!

Jujur saja, saya tentu pernah bersinggungan dengan keinginan (cita-cita) untuk menempuh pendidikan S2. Semua bermula ketika saya pertama kali mengunjungi EHEF (European Higher Education Fair) sebuah pameran pendidikan tinggi di Eropa yang memberikan banyak sekali penawaran dari berbagai kampus di Uni Eropa dan sekitarnya pada tahun 2011 atau pada saat saya sedang menempuh pendidikan semester tigaWaktu itu, setelah berkeliling dari ujung ke ujung arena pameran, saya akhirnya jatuh hati pada sebuah kampus bernama SciencesPo. di Paris. Pilihan itu diambil karena saya menemukan bahwa kampus tersebut adalah kampus yang mencetak sebagian besar orang besar di Prancis. Sebut saja Jacques Chirac atau François Hollande. Selain itu, saya menemukan program studi yang saya ingin ambil, yakni S2 Jurnalisme, ada di SciencesPo.

Pulang dari acara tersebut, saya membulatkan tekad dalam diri saya untuk mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang pendidikan S2 di Prancis, terutama pendidikan S2 Jurnalisme yang ingin saya tempuh di L'école de journalisme de Sciences Po. Mulai dari biaya (paling penting!), cara mendaftar, lama pendidikan, biaya hidup, tempat tinggal, dan banyak lagi. Ijin orang tua juga tidak ketinggalan. Setuju tidak setuju, ijin itu bisa dibilang lampu hijau yang paling penting sebelum saya dapat melesat mencari info-info yang saya butuhkan.

Nyatanya oh nyatanya, ijin itu tak kunjung datang. Berbagai alasan mulai dari posisi saya sebagai anak tunggal yang akan membuat rumah semakin sepi jika pergi, kemudian dana perkuliahan yang pasti tidak sedikit, sampai alasan remah-remah seperti umur yang terus bertambah selagi saya berkuliah es duamulai dilontarkan secara terstruktur, sistematis, dan masif (kayak familiar dengan istilahnya, ya?). Lama-kelamaan, niat itu luntur juga seiring dengan ijin yang tak kunjung rilis. Lama-kelamaan, saya hanya sering berkunjung ke laman kampus itu tanpa benar-benar mengorek informasi. Pada akhirnya, sampai saya lulus kuliah di akhir tahun 2013 kemarin, saya sama sekali tidak berhasil mengumpulkan data yang bisa dikatakan berarti. 

Sedih? Tentu. Saya merasa tidak cukup memperjuangkan keinginan saya untuk berkuliah S2. Kecewa? Bisa dikatakan, iya saya cukup kecewa. Di saat teman-teman yang lain mulai dengan mantap menjawab "Iya, gue mau lanjut S2" saat ditanya tentang pilihan S2 atau langsung kerja, saya justru masih mengawang-ngawang di antaranya. Mau S2, belum menentukan di mana. Mau kerja, juga belum tau mau kerja di bagian apa dan di mana. Lalu, akhirnya?

S2/Kerja? Nyatanya, Kerja

Beberapa waktu sebelum saya resmi diwisuda, saya mendapatkan sebuah tawaran pekerjaan dari pembimbing akademis saya. Lantas, beberapa hari sebelum wisuda, saya resmi bekerja sebagai salah satu anggota divisi Marketing sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bakery industry. Akhirnya saya bekerja dan bukan sibuk mengurus es dua. 

Selama saya bekerja, ada beberapa hal yang terpaksa ditunda. Salah satunya, jurnal untuk mendapatkan ijazah (untungnya sih, sekarang ijazah sudah di tangan setelah satu tahun wisuda). Selama bekerja itu pula, saya mencoba mencari apa yang saya inginkan. Apakah benar-benar ingin S2? Atau hanya ingin serius bekerja?

Saya mulai mengajukan ijin yang kedua kalinya kepada orang tua saya. Hasilnya? Tetap saja tidak ada ijin untuk S2 di luar negeri. Kalau memang benar ingin S2, dalam negeri saja sudah cukup. Tidak perlu jauh-jauh. Toh gelarnya sama-sama master. Di samping usul itu, orang tua saya mencoba memberikan pengarahan, apakah benar-benar S2 itu kebutuhan saya? Pengarahan tersebut kemudian bukan tanpa contoh. Beberapa nama saudara yang sedang menempuh S2 (bahkan S3) dan belum menikah turut diikutsertakan dalam perbincangan tersebut. Alhasil, selanjutnya saya mencoba untuk berpikir ulang tentang ide menempuh pendidikan S2.

Tidak, Saya Tidak Ingin S2

Saya mencoba berpikir pelan-pelan. Pertama, saya bukan tipe penulis makalah ataupun skripsi yang baik. Lulus dari S1 saja, saya tidak membuat skripsi. Orang boleh bilang kuliah saya hampa tanpa skripsi atau saya tidak mampu menghadapi tantangan hidup karena tidak mau skripsi. Tapi, hey, tantangan hidup tidak hanya pada skripsi *pembelaan*. Kembali ke topik, skripsi saja saya tidak punya, apalagi saya diharuskan membuat tesis? Mungkin bisa lebih dari dua atau tiga tahun itu gelar master baru nempel di belakang gelar S.Hum saya. Kedua, masih terkait dengan alasan menulis, membuat jurnal saja, saya butuh satu tahun untuk benar-benar fokus. Apalagi membuat tesis sambil mencari uang sendiri? Untuk itu, saya teramat salut bagi mereka semua yang berhasil menelurkan sebundel tesis di akhir studi S2 mereka, terlebih bagi mereka yang membuatnya sambil bekerja dan mencari penghasilan. Cool! Ketiga, kalaupun saya menempuh S2 di negeri sendiri, dan saya mengambil pendidikan jurnalisme, saya nggak yakin saya akan betah memaksakan beragam ilmu dan teori itu masuk ke dalam otak saya. Eventhough I really love writing and journalism. Saya nggak ngebayangin berapa banyak jurnal dan tulisan ilmiah yang harus saya buat sebagai seorang mahasiswa es dua. Bukan tulisan dengan genre itu yang saya suka. Nantinya ketika saya beneran jadi reporter atau jurnalis atau wartawan, yang saya tulis juga bukan jurnal ilmiah, tetapi berita. Yang saya tuangkan bukan teori A, atau teori B, akan tetapi kejadian apa yang saya lihat di lapangan. Keempat, ini mungkin alasan yang sangat subjektif. Saya tidak mau menempuh pendidikan es dua hanya karena saya tidak ingin kalah saing dengan teman-teman yang lain. Istilahnya, saya tidak ingin menjadi mahasiswa es dua hanya untuk gaya-gayaan semata. Saya ingin, kalaupun saya benar-benar menempuh pendidikan S2, itu saya lakukan karena saya benar-benar ingin dan benar-benar butuh. Pada akhirnya, renungan saya berujung pada konklusi bahwa, bukan pendidikan es dua yang saya butuhkan, melainkan pengetahuan umum dan pengetahuan yang luas. Sekiranya dapat pula ditambah dengan pikiran yang terbuka, sikap yang berani, mental yang kuat, dan pengalaman yang banyak. Saya lebih tertarik belajar di lapangan daripada belajar di kelas. Saya lebih merasa ujian hidup jauh lebih keras daripada sekadar ujian di dalam kelas. Saya lebih memilih bertemu orang banyak, atau diceramahi beberapa orang yang berpengalaman, dibandingkan harus bertemu dengan dosen yang sama setiap harinya. Saya akhirnya menyadari bahwa saya bukan orang yang suka terikat dengan institusi pendidikan. 

Lha, Terus Kenapa Dulu Kuliah S1?

Iya juga ya, kalau saya pada akhirnya berpikir tidak membutuhkan S2, kenapa dulu saya harus kuliah S1? Harus capek-capek menguras otak, membuang waktu dan tenaga hanya demi sebuah gelar sarjana? Harus bela-belain masuk kuliah demi bertemu dosen yang itu lagi itu lagi? Harus berjuang begadang sampai tengah malam demi membuat makalah atau belajar untuk ujian? Harus bersusah payah menghafalkan konjugasi bahasa Prancis yang alamak susahnya?

Inilah uniknya S1 bagi saya. Perkuliahan menempuh gelar S1 tidak hanya memberikan saya teori dan ilmu kaku. Akan tetapi, perkuliahan juga memberikan saya babak baru dalam menempuh hidup. Perkuliahan memberikan saya banyak 'bekal' baru yang mampu membuat saya 'kenyang' di masa depan. Perkuliahan bagi saya merupakan jembatan peralihan dari pola pikir saya yang masih remaja menuju pola pikir dewasa. Oleh karenanya, S1 bagi saya tetap menjadi istimewa meskipun saya harus berjuang sedemikian rupa meraih gelar sarjana. 

Singkat kata (karena bukan bagian ini yang utama), saya merasa S1 tetap penting karena adanya perbedaan-perbedaan signifikan antara pendidikan S1 dengan pendidikan SMA. Mungkin bisa saya jabarkan beberapa.

1. Jadwal
Dari segi jadwal saja sudah berbeda. Di SMA, yang mengatur jadwal seorang siswa adalah sekolah. Masuk setengah tujuh pulang pukul satu. Di kuliah? Yang memilih jadwal adalah mahasiswa. Yang menyediakan jadwal memang masih tim dari program studi. Akan tetapi, mau atau tidaknya seorang mahasiswa memilih jadwal yang sudah disediakan itu sepenuhnya menjadi hak mahasiswa, bukan?

Pada aspek ini,
seorang mahasiswa mulai dikenalkan pada kebebasan,
dan
seorang mahasiswa mulai dikenalkan pada kemandirian.

2. Aktif
Di SMA, semua buku sudah disediakan untuk setiap pelajaran. Di perkuliahan? Meskipun referensi buku sudah diberikan oleh dosen, setiap mahasiswa masih harus mencari tambahan referensi lain demi lebih memperoleh ilmu. Syukur-syukur kalau buku yang menjadi referensi ditulis dalam bahasa Indonesia. Kalau ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Prancis (bagi saya?), akan lebih sulit bukan?

Pada aspek ini,
seorang mahasiswa mulai diajarkan untuk memiliki inisiatif,
dan
seorang mahasiswa mulai diajarkan untuk berjuang lebih keras dalam memahami mata kuliah yang sedang dipelajarinya.

3. Tugas-tugas Hingga Skripsi
Saya tidak menampik bahwa saya juga menemukan setumpuk PR atau tugas yang diberikan oleh para guru di tingkat SMA. Kadang-kadang malah gurunya tega, PRnya dikasih hari ini, dikumpulkannya esok hari. Masih mending juga tugas-tugas di perkuliahan. Dikasih hari ini, dikumpulkannya bisa minggu depan, atau dua minggu kemudian. Namun eits jangan salah, standar mencapai A jangan dikira rendah. Sudah menulis susah payah saja, kadang-kadang nilai yang dicapai baru B-. Kalau dianugerahi kemampuan menulis karya ilmiah yang baik dan mumpuni, baru deh nilai A dijamin mampu dikantongi. 

Skripsi sebagai salah satu syarat lulus juga merupakan anggota setia dari keluarga karya ilmiah (terima kasih seribu bagi program studi Prancis dan bagi para pembuat kebijakan di UI yang justru memberikan kemudahan mahasiswanya untuk lulus tanpa skripsi). Saya yakin, seseorang yang melewati skripsi akan bisa menghadapi tantangan hidup lainnya. Meskipun di awal tulisan ini saya bilang bahwa tantangan hidup bukan hanya skripsi, akan tetapi orang-orang yang mampu melewati tahapan penulisan skripsi dan bukan melepasnya atau bahkan meninggalkannya di tengah jalan adalah orang-orang yang saya rasa kuat dan hebat!

Bukan berarti orang-orang yang lulus non-skripsi tidak kuat dan hebat. Meskipun tidak skripsi dan hanya membuat jurnal, mereka juga hebat karena mampu menghasilkan sebuah karya ilmiah (iya, kan jurnal juga karya ilmiah, bro!). Mendapatkan tanda tangan persetujuan dari seorang pembimbing jurnal juga bukan sesuatu yang bisa digampangkan loh ya (curhat). 

Ketiga poin di atas mungkin baru segelintir 'bekal mental' yang saya dapatkan selama perkuliahan. Masih banyak pengalaman dan pelajaran lain yang saya kenyam selama saya berjuang mendapatkan gelar sarjana Humaniora. Bukan hanya saya, saya yakin juga beribu-ribu mahasiswa di luar sana yang akhirnya berhasil mendapatkan macam-macam gelar sarjana, telah berhasil menangkap berbagai macam ilmu selain ilmu di dalam kelas. Untuk itu, sekali lagi saya katakan, S1 bukan hanya tempat saya menimba ilmu tetapi juga arena peralihan saya dari yang berpikir ala remaja, menjadi seorang yang mampu berpikir dewasa.

Jadi, apakah S1 penting bagi saya? Jelas, S1 itu penting. 

Kok Bisa S1 Penting, S2 Nggak?

Kalau saya masih membahas ini lebih mendetil lagi, itu tandanya saya akan berputar-putar di satu tempat saja. Inti dari segala inti adalah, saya merasa pendidikan strata satu dan proses perjuangan saya mendapatkan sebuah gelar adalah sudah lebih dari cukup untuk menjadi bekal hidup saya bertahun-tahun ke depan. Sudah saatnya saya mencari arena bermain lain yang berbeda dari sekadar 'ruang kelas' dan lingkup akademis. Sudah tiba waktunya saya terjun ke 'lapangan', belajar dari kejadian, dan berkaca pada realitas. Karena bagi saya pribadi, hal-hal di luar sana akan jauh lebih menarik dan memperkaya diri saya dibandingkan dengan mengejar gelar master saja. 

Setidaknya, saya sudah cukup puas karena pernah diperkenalkan dan diperkenankan bermain di dalam lingkungan akademis yang jauh lebih serius dan menegangkan dari pada hanya sekadar mengejar nilai di sekolah. Setidaknya, saya pernah tahu bagaimana mengurus riwayat akademis diri sendiri, kenal akan susahnya memperjuangkan kata 'lulus' di setiap mata kuliah, serta pernah lulus, memakai toga dan diwisuda.

Saya tidak mengatakan pendidikan S2 tidak penting. Bagi sebagian besar orang, S2 mungkin tergolong sangat penting karena merupakan kelanjutan dari pendidikan S1 yang ia tempuh. Pada beberapa program studi misalnya saja dalam pendidikan kedokteranjenjang S2 tentu dibutuhkan untuk memperoleh ilmu yang lebih spesifik lagi dibandingkan dengan ilmu pendidikan S1 yang lebih umum. Selain itu, pendidikan S2 juga kiranya penting bagi mereka yang ingin menjadi tenaga pengajar atau dosen di universitas. Di sini, posisi S2 menjadi kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan.

Jadi, S2 bukannya tidak penting. Semua itu hanya bergantung pada apa tujuan seseorang menempuh pendidikan S2.

Bagi Saya, S2 Masih Merupakan Keinginan Semata

Segala celotehan di atas sejatinya hanya ingin menunjukkan bahwa, tidak selamanya pendidikan S2 itu menjadi kebutuhan seseorang. Buktinya, saya pribadi hingga sekarang masih merasa bahwa gelar master itu hanyalah keinginan selewat saja, bukan kebutuhan. Hanya berada di tataran keinginan pun belum cukup. Artinya, belum tentu saya akan memperjuangkan gelar tersebut karena bukan pendidikan formal semacam itu yang saya sukai. Bukan gelar tersebut saja yang harus saya pikirkan, melainkan juga kesiapan saya untuk mampu berdamai dengan proses pencapaian itu nantinya. Bagaimana jika saya tidak bisa menikmati prosesnya? 

Ya betul, untuk mencapai suatu tujuan, dalam hal ini gelar master, saya harus mampu melewati semua prosesnya. Namun, jika saya menemukan bahwa gelar master ini bukan tujuan utama yang benar-benar saya inginkan dan butuhkan dalam hidup saya, bukan pula menjadi satu-satunya cara untuk memperoleh tujuan hidup saya yang sebenarnya, apakah saya tetap harus memaksakan diri? Tentu tidak.

Pada akhirnya, saya tetap pada pilihan saya untuk tidak melanjutkan S2.

Kalaupun nanti S2 akan menjadi sebuah kebutuhan mendesak bagi saya, saya mungkin tidak akan mampu melarikan diri darinya. Hanya saja, karena S2 masih di batas keinginan dan belum mendobrak ke dalam batas kebutuhan, saya rasa, saya masih akan belajar dari lapangan saja. So, bye-bye S2!!!

Akhir Kata

Sesuai dengan sub-judul bagian ini akhir kata, saya hanya ingin mengajak teman-teman yang memiliki keinginan menempuh S2 untuk benar-benar memantapkan diri akan pilihannya. Apakah S2 adalah sesuatu yang benar-benar kalian inginkan dan butuhkan? Apakah proses pendidikan S2 akan bisa kalian jalani dan nikmati? Yang terpenting, kalian harus bisa menjawab pertanyaan ini dengan yakin, 'Apa tujuan kalian menempuh pendidikan S2?'


Sumber
PS:

Saya tergelitik untuk melahirkan tulisan ini karena hingga saat ini, saya masih banyak melihat orang lain (sebagian di kalangan teman-teman saya sendiri) yang mampu mendapatkan pekerjaan hebat ketika ia baru lulus dari pendidikan S1. Beberapa bahkan menjadi reporter atau jurnalis (my future job, I wish) tanpa memiliki gelar master di belakang gelar sarjana-nya.

Faktanya, beberapa teman saya yang tidak melanjutkan kuliah S2 atau bahkan mereka yang tidak cerdas di pendidikan S1nya, mampu memiliki wawasan yang lebih luas, serta memberikan saya pelajaran hidup yang amat berharga yang tidak akan saya dapatkan di bangku kuliah. Terima kasih untuk kalian!

2 comments:

  1. I decided to take a master degree last year and this week is my first week! :))
    Keputusan ambil master itu bener-bener impulsif, cuma kayak "omg kangen kampus," and then I just signed up for it.
    Awalnya takut sebenarnya apakah gue cuma kangen suasana nongkrong sama temen-temen aja, thank God ternyata gue betul-betul kangen dengerin dosen. :))

    Jadi dalam kasus gue, S2 itu keinginan (bukan kebutuhan, dan sejujurnya gue belom ingin melakoni profesi yang gue S2-kan ini kelak)... Tapi, keinginan itu nggak ada salahnya diwujudkan kan? :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wow, good to know that, Lynn! Hehe. Sebenarnya, sebagai manusia kan kita memang diberi kebebasan untuk memilih. Bahkan untuk menentukan sesuatu sebagai sebuah keinginan/kebutuhan. Bebas untuk memutuskan pada akhirnya akan mewujudkan dan merealisasikan yang mana. And, if you finally took Master Degree, it would be really great. The most important thing is, you can ensure yourself that your decision is a thing that you really want. You have to be sure that you're gonna enjoy the process. And of course, you should know how to use that afterward. Goodluck :)

      Delete

Thanks for leaving a comment :)