Tidak ada manusia yang tidak punya hati nurani karena pada dasarnya, manusia diciptakan satu paket dengan akal budi dan nurani.
Setidaknya, demikian yang saya pelajari di mata pelajaran agama saat bangku sekolah.
Lantas saya berpikir, kalau memang manusia punya hati nurani, mengapa banyak terjadi kejahatan bahkan ada yang hingga menghilangkan nyawa? Saya memang masih terbingung-bingung, namun kemudian, akal saya mencoba berkesimpulan.
Ada sekurangnya dua jawaban untuk pertanyaan tersebut. Pertama, mungkin akal budi dan nurani manusia itu sudah lama tertutup kedengkian atau kegelapan. Atau kedua, mungkin manusia tersebut dengan sadar, berusaha meniadakan akal budi dan nuraninya. Manusia ini menutup nuraninya dengan sengaja. Yang kedua ini mungkin lebih langka.
Tapi sudahlah, itu hanyalah pertanyaan yang tak tuntas karena sampai saat ini, kejahatan pun masih kerap merajalela. Saya ingin mengalihkan perhatian kalian justru pada apa yang saya alami beberapa hari yang lalu. Hubungannya dengan manusia dan nurani. Hubungannya, dengan abang angkot yang salah saya naiki (angkotnya).
Ceritanya kurang lebih begini. Hari Selasa lalu, saya bermaksud mengunjungi kawasan Green Garden, Kedoya. Titik keberangkatan saya ada di jalan Kavling DKI, Meruya. Dari sana, saya pertama-tama menumpang angkot B10 menuju jalan Pesanggrahan, Jakarta Barat. Kemudian, dari Pesanggrahan, angkot yang saya tahu hanyalah angkot nomor B14. Angkot ini akan melewati jalan Panjang, Kebon Jeruk dan saya pikir, saya bisa melanjutkan perjalanan ke perumahan Green Garden dari Kebon Jeruk. Akhirnya saya putuskan untuk menumpang angkot tersebut.
Selanjutnya, tiba di kawasan yang dimaksud (jalan Panjang), saya turun dan bertanya pada supir angkot B14 yang saya tumpangi. Kurang lebih percakapannya begini:
Saya (S): Bang, dari sini bisa ke Green Garden, 'kan? (sambil menyerahkan uang untuk membayar).
Abang Angkot (AA): Lah, mbak mau ke Green Garden? Aturan tadi dari Pesanggrahan langsung naik angkot 09 (sambil menghitung uang).
S: Oh gitu ya, bang? Saya taunya lewat sini. Kalau dari sini tapi tetep bisa ke Green Garden 'kan bang? (sambil nungguin kembalian).
AA: Ya bisa, nanti di depan, (sambil menunjuk ke arah jalan Panjang) mbak jalan dikit ke arah kiri nanti naik angkot 03 (kemudian AA menyerahkan uang kembalian).
S: Oke deh bang, makasih ya (mengambil kembalian).
AA: Tadi bukannya nanya, harusnya naik 09 aja. Langsung itu (masih menggerutu).
S: (Agak merasa kesal kenapa enggak tahu harus naik 09 plus kesal sama abang-abang ini kenapa masih ngoceh) Iya bang, saya enggak tahu. Tadi naik 03 kan bang? Oke makasih ya bang (kemudian melengos pergi).
Ternyata, perjalanan dengan menggunakan kedua kaki dari titik saya turun angkot ke titik saya harus naik angkot 03 cukup jauh. Saya agak menyesal kenapa terburu-buru turun padahal sebenarnya saya bisa saja turun di dekat titik saya harus mengambil angkot 03. Okelah, saya berjalan dengan hati ikhlas saja.
Sampai setengah jalan, tiba-tiba saya diklakson oleh angkot B14 yang tadi saya tumpangi. AA (Abang Angkot) kemudian meminta saya naik lagi. Dia berujar begini:
AA: Mbak, naik dulu sini mbak. Jauh itu naik angkotnya masih ke depan, saya muter di depan aja.
S: (Bingung) Oh, gitu bang? Okelah (naik angkot kemudian duduk di depan).
AA: Turunnya tadi jauh itu, harusnya turun di sini. Ini saya puter di depan deh satu lagi. Nah, mbak turun di sini nih mbak. Nanti cegat aja angkotnya ya.
S: Oh di sini ya bang, oke. Makasih banyak ya bang.
Lalu AA memutar angkotnya di satu putaran lebih depan dari putaran yang seharusnya digunakan oleh angkot B14 lainnya.
Saya bukannya mau mendramatisir kejadian kecil ini. Mungkin biasa saja, jika seorang manusia mencoba memberikan bantuan kepada manusia lain yang membutuhkan. Toh, manusia memang punya nurani untuk membantu sesamanya. Tapi yang bikin saya sedikit menganggap ini tidak biasa adalah karena yang membantu saya itu seorang abang angkot.
Abang angkot yang dilekati stereotip bengal, suka ugal-ugalan, dan suka seenaknya. Abang angkot yang tidak jarang profesinya dilekatkan pada berita-berita kriminal. Abang angkot yang seringkali dianggap tidak berpendidikan bahkan hampir tidak peduli keselamatan orang karena gaya menyetirnya yang asal-asalan.
Itulah yang membuat saya akhirnya menilai ini sedikit tidak biasa. Saya dikasih kesempatan bertemu dengan abang angkot yang punya naluri menolong, dan sama sekali enggak ugal-ugalan. Sama sekali baik dan sama sekali peduli.
Selama saya ke sana kemari dengan bermacam abang angkot plus angkotnya, saya lebih sering merasa kesal dari pada merasa bersyukur. Pernah sekali waktu, saya menumpang angkot berdua dengan penumpang lain yang sedang hamil. Abang angkot seakan tak peduli dengan keberadaan dua penumpangnya ini. Melihat jalanan lengang, ia justru memacu kendaraan sejadi-jadinya, sampai akhirnya saya beranikan diri untuk memintanya menurunkan kecepatan. Saya yakin, bukan hanya saya seorang yang sering sebal dan menggerutu tentang kelakuan abang angkot.
Meski begitu, hari Selasa itu saya belajar satu. Yang senantiasa kita sebut abang angkot itu sebetulnya manusia juga. Manusia yang punya nurani dan akal budi. Tinggal masalahnya adalah, abang angkot yang mana yang mau menggunakan nuraninya, dan yang mana yang tidak mau. Pada akhirnya saya (kembali) sadar, bahwa sangat tidak pantas jika saya selalu melekatkan stereotip tertentu pada kelompok tertentu. Sebab, stereotip tetaplah stereotip, yang terbentuk atas berbagai pengalaman nyata, namun tetap saja tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai orang lain.
salah satu dari sekian alasan kenapa gue masih memilih untuk menggunakan angkutan umum.
ReplyDeletekarena belajar tentang manusia itu, banyak diperoleh dari situ.
Yap, meskipun kadang sesekali suka manja maunya tetep naik mobil, tapi berasa banget lebih dapet 'pelajaran'nya kalau naik angkot. Hehehe.
Deletemenarik melihat si abang yang menggerutu karena nerima uang.
ReplyDeletebiasa abang angkot seneng banget nerima uang, walaupun salah naik juga.
tapi yang ini engga tega buat "ngibulin" penumpang yang ga tau.
sungguh bersyukur ada manusia seperti ini
Abang angkot juga manusia, Vin ehehe :D
Delete