Friday, May 23, 2014

Tukang Ketoprak.

Sore itu aku melangkah keluar Transjakarta. Tidak terasa, sudah hampir satu jam aku berdiri di dalamnya. Bertumpuk menyatu dengan belasan, bahkan puluhan penumpang lain yang macam-macam asalnya.

Dahiku perih. Bahkan untuk mengerutkannya pun, cukup sakit. Ya, wajar. Dua hari aku terbakar matahari. Tangan dan lengankupun, tak kalah perih. Warnanya mulai memerah. Mungkin ini yang namanya kulit terbakar. Wajahku, mungkin sudah tak beraturan. Keringat bercucuran. Ya wajar. Mau bagaimana lagi.

Kakiku melangkah keluar terminal. Sesegera mungkin, aku ingin berpindah ke atas angkutan umum yang akan membawaku ke rumah. Belum sampai kutemukan angkutan umum yang pas, kuhentikan langkahku di depan sebuah tenda ketoprak. Aku yang kala itu ditemani seorang temanku memutuskan untuk berhenti dan mampir sejenak mengisi perut yang cukup lama terhoyak di atas kapal.


"Pak, ketopraknya dua. Yang satu, ketupatnya setengah."

"Ya, mbak."



Aku duduk menghadap ke jalan raya, sementara temanku menghadap ke arah tukang ketoprak. Gerah, aku membeli tisu di warung sebelah, lalu mengusapkannya ke wajah. Duh, perih. Rasanya wajahku seperti tak terlapisi kulit lagi. Langsung mengenai bagian dalamnya. Ah, tapi masa iya. Aku, toh masih merasakan adanya kulit wajah. Ya sudah. Perih ini mau tak mau harus kutahan. Tak mungkin wajah ini kulepas dan kutitipkan di sini, kan?

Makananku datang. Bumbu kacang, ketupat, dan bihun yang mengisi piring itu langsung aku lahap hingga perlahan melewati tenggorokan. Lumayan.

Sambil mengunyah, aku melihat ke arah tukang ketoprak yang bermain bersama anaknya di dalam gendongan istrinya. Masih kecil. Mungkin, belum sampai 1 tahun umurnya. Kalau boleh kutebak, sosok ayah yang ada di dekatku ini, begitu menyayangi anaknya. Wajarkah? Ah, kurasa tidak. Ah, tak tau juga.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjA4PHMh2v1OG_7JAxw0TNFHBA5_xDuGR3yHSSD3u_QSMu1xYK04pF5YjH9Wt4_s4CW-JNGz1cjhCLLg6LTVyh1eKquJWFmR0ZVkoDwu_vNmkPXUwbeC5huGz5DpSx3wCfa6-C_Sj10vEI/s1600/gerobak+ketoprak+vektor+by+thesoeryanto.jpg
Mataku melihat. Mulutku mengunyah. Kerupuk dan tahu ikut hanyut ke dalam perut.
Tak lama, tukang ketoprak duduk melihat aku dan temanku kemudian berujar,

"Kalian pacarannya udah lama?"

"Haha, dia Pak? Dia mah temen saya."

"Oalah. Kirain udah lama. Kalau pacaran nih, saya mau bilang aja, seandainya nanti nikah, terus punya anak, rasanya nikmat banget."


Kami diam dan tersenyum. Menanti untuk mendengar lebih lanjut. Tanpa bicara, tukang ketoprak meneruskan suara pikirannya:


"Punya anak itu Mas, rasanya beda. Adem bawaannya. Saya nih, pulang ke rumah, liat piring belum dicuci, rasanya mau aja marah-marah. Eh, abis liat anak sama istri udah tidur kecapean, akhirnya nggak jadi marah Mas. Saya cuciin aja piringnya."

"Ya, saya mikirnya mungkin istri saya capek Mas, ngurus anak seharian. Ngurusin yang lain juga. Yasudahlah, enggak apa-apa."



"Emosinya jadi teredam ya Pak, semenjak punya anak? Anaknya lucu banget lagi Pak. Gemes."

"Iya, mba. Makanya nih, saya adem banget liatnya. Mas sama mbak pacaran udah berapa lama?"

Aku dan temanku berpandangan sekilas.

"Oiya, nggak pacaran ya, Mas? Kalau saya sama istri saya, dulu pacaran cuma dua bulan setelah itu langsung menikah."

"Waduh, cepet juga ya, Pak?"

"Iya, gitulah mba. Ngapain lama-lama. Sebulan pacaran, saya langsung ajak dia nikah. Dia bilang pikir-pikir dulu. Yasudahlah kata saya. Saya tungguin dia sebulan lagi, akhirnya sebulan lagi, bener mas, dia datang sama saya, dia bilang mau nikah sama saya. Ya sudah, saya ajak dia ke kampung saya, kita nikah."

Aku masih menyantap ketoprak hasil buatan laki-laki penuh cerita ini, sementara temanku menenggak air mineral usai menatap piringnya yang licin tak bersisa. Tentunya, kami masih menanti kelanjutan cerita.

"Kampungnya di mana, Pak? Di Jawa?"

"Iya mas, saya Di Tegal. Istri saya Banyumas. Lumayan, lah"

"Lah, deket dong ya Pak sama kampung istri? Lebaran nanti mudik nggak nih, Pak?"

"Iya, deket Mas. Wah, belum tau juga nih mudik atau nggak. Saya nggak berani mudik naik motor, udah punya anak begini."

"Jadinya di sini aja Lebarannya, Pak?"

"Mungkin, Mas. Tapi tergantung. Kalau adik bini saya ngajak mudik bareng, ya pulang. Tahun lalu, saya mudik sama dia Mas. Kaget saya. Dia telepon bini saya, bilang dia ada rejeki, bisa beli mobil tahun 2009. Xen*a. Saya sama bini nggak percaya, eh ternyata beneran. Pulang juga kita akhirnya, dibawa sama adik bini saya."

"Wah, berkah ramadhan banget dong, Pak?" ucapku sumringah.

"Iya, saya ngeliat bener itu mobilnya. Seneng saya dia udah sukses. Dulu, waktu sekolah mah bandel banget. Sampai akhirnya lulus SMA, udahlah masuk militer aja. Sempet susah juga ngebiayain. Akhirnya saya jual sawah, bantuin adik ipar saya. Ya, syukur deh mas, sekarang sudah sukses. Sawah sudah kebeli lagi dibantuin sama dia. Ikut seneng dan bangga saya, liat dia berhasil begitu."

"Haha, anak badung katanya emang gitu, Pak. Udah gedenya berhasil."

"Amin"

"Amin-amin. Dia sekarang tugasnya di Cilandak sana. Dulu, waktu saya bermasalah sama orang di sini, dia langsung turun tangan bantuin saya."

"Masalah apa Pak emangnya?"

"Biasa, posisi dagang. Saya kan lumayan lama jualan di sini. Masa tempat saya mau di ambil. Ujung-ujungnya berantem. Saya dipukul. Saya enggak terima dan saya balik serang dia.Banyak saksi tapi diam. Akhirnya adik ipar saya langsung ke sini dihubungin sama bini saya."

Terperangah.


"Terus masalahnya selesai kan, Pak?"


"Iya, untungnya udah selesai"



"Ya gitulah Mas. Kalo kita baik nggak niat jahat mah, pasti ada aja yang nolongin. Adik ipar saya baik juga, mau nau-in keluarga, nggak badung-badung lagi setelah lulus."


"Iya, Pak. Syukur lah Pak, jadi seneng sekarang semuanya. Rumah jauh, Pak?"

"Nggak juga, ya di belakang sini lah" ucapnya sambil menunjuk jauh ke arah belakang tenda ketopraknya.

"Bang, satu ya."

"Iya." bapak tukang ketoprak langsung berdiri menyiapkan sepiring untuk seorang lagi. Piring saya sudah lama kosong. Mau tak mau obrolan kami harus terputus. Aku dan temanku saling memberi tanda bahwa kita harus segera pulang.

Berdiri angkat pantat dari tempat duduk yang akhirnya menghangat, kami berdua pamit pada si tukang ketoprak yang kelihatannya penuh semangat.

Angkutan umum yang diharap, sudah menunggu sedikit jauh dari tenda ketoprak. Kami melangkah, naik ke dalam dan menumpang dalam diam. Menanti waktu jumpa penghuni rumah setelah dua hari jumpa alam.

Ya, penghuni rumah. Yang paling dekat, hangat, dan ramah. -



*terinspirasi dari cerita nyata seorang tukang ketoprak yang saya temui di dekat terminal Kalideres(04/05), dengan sedikit (sekali) perubahan.

No comments:

Post a Comment

Thanks for leaving a comment :)