Endgame adalah lakon satu babak tentang ketidakbahagiaan yang menggelikan, tentang permainan yang tak berkesudahan;
Ketika hasrat mengakhiri permainan muncul di awal kisah dan di akhir sebuah kisah lain baru akan bermula. Tentang empat orang cacat dalam sebuah keluarga. Hamm buta dan tidak bisa berdiri; Clov, pembantu Hamm, tidak bisa duduk; Nagg dan Nell, ayah dan ibu Hamm, keduanya tidak berkaki dan tinggal di tong sampah. Karena keterbatasan itu mereka saling bergantung, bertarung di antara kekosongan dan kesepian, mencoba memberi nilai pada yang sia-sia.
Endgame adalah lakon yang tak menyuguhkan cerita, melainkan serangkaian peristiwa dan situasi. Peristiwa dan situasi itu dekat dengan kita, sementara kenyataan kerap tak terpahami dan menekan. Manusia mesti menciptakan dan memainkan kepercayaan, harapan, fiksi dan narasi lainnya, agar hidup masih bisa terus berlangsung dan dipertanggungjawabkan--seabsurd apapun ia.
Endgame adalah lakon yang tak menyuguhkan cerita, melainkan serangkaian peristiwa dan situasi. Peristiwa dan situasi itu dekat dengan kita, sementara kenyataan kerap tak terpahami dan menekan. Manusia mesti menciptakan dan memainkan kepercayaan, harapan, fiksi dan narasi lainnya, agar hidup masih bisa terus berlangsung dan dipertanggungjawabkan--seabsurd apapun ia.
Pemain
Yudi Ahmad Tajudin - Hamm
Yudi Ahmad Tajudin - Hamm
Whanny Darmawan - Clov
Kusworo Bayu Aji - Nagg
Erythrina Baskoro - Nell
Kusworo Bayu Aji - Nagg
Erythrina Baskoro - Nell
Tim Produksi
Sutradara: Landung Simatupang
Co-Sutradara: Yudi Ahmad Tajudin
Penulis: Samuel Beckett
Penerjemah: Yudi Ahmad Tajudin & Jean Pascal Elbaz
Penata Ruang/Skenografi: Mohamad Marzuki alias Kill The D.J.
Penata Cahaya & Pengarah Teknik: Ignatius Sugiarto
Penata Kostum: Retno Ratih Damayanti
Penata Musik: M. Rizky Sasono
Manajer Panggung: Gading Paksi
Asisten Produksi: Arsita Iswardhani
Liaison Officer: Wati Gandarum
(sumber: buku HELATEATER Salihara)
Sutradara: Landung Simatupang
Co-Sutradara: Yudi Ahmad Tajudin
Penulis: Samuel Beckett
Penerjemah: Yudi Ahmad Tajudin & Jean Pascal Elbaz
Penata Ruang/Skenografi: Mohamad Marzuki alias Kill The D.J.
Penata Cahaya & Pengarah Teknik: Ignatius Sugiarto
Penata Kostum: Retno Ratih Damayanti
Penata Musik: M. Rizky Sasono
Manajer Panggung: Gading Paksi
Asisten Produksi: Arsita Iswardhani
Liaison Officer: Wati Gandarum
(sumber: buku HELATEATER Salihara)
Sepenggal opini:
Sebelum berceloteh, saya mau mengantisipasi kecewamu terlebih dahulu. Saya akan mengucap komentar yang saya lihat dari sudut pandang kaum awam. Bukan seniman teater. Bukan juga aktris panggung. Bukan kritikus. Apalagi pemikir kritis. Saya hanya penikmat. Seorang mahasiswi pecinta pertunjukan teater yang gemar menyaksikan berbagai pementasan.
Sebelum berceloteh, saya mau mengantisipasi kecewamu terlebih dahulu. Saya akan mengucap komentar yang saya lihat dari sudut pandang kaum awam. Bukan seniman teater. Bukan juga aktris panggung. Bukan kritikus. Apalagi pemikir kritis. Saya hanya penikmat. Seorang mahasiswi pecinta pertunjukan teater yang gemar menyaksikan berbagai pementasan.
Kadang, sulit mengerti aksi dan cerita para seniman teater itu di area pentas. Kadang ceritanya terlalu sulit dipahami. Salah, kadang otak saya yang sedikit sulit memahami. Namun, kadang pula, saya merasa terhibur dan makin suka menonton teater. Alasannya? Saya tak tahu juga. Mungkin, karena saya merasa tertantang untuk menggali kemampuan saya memahami 'pesan' yang mereka tawarkan. Karena saya ingin 'dipaksa' untuk berpikir kritis, tak hanya memandang sesuatu dari luar, tapi dari dalam, bahkan sampai inti terkecilnya.
Berangkat dari situ, maka, saya akhirnya menyeret diri saya hadir pada pementasan Endgame tanggal 30 Juni 2013 kemarin pukul 20.00 di Teater Salihara. Nyaris sendiri, karena teman saya membatalkan datang tepat pukul 19.00. Beruntunglah, saya bertemu dengan seorang senior yang datang bersama keluarganya (seru sekali keluarga mereka, weekend diisi dengan pertunjukan teater) sehingga hilanglah kecanggungan menonton seorang diri.
Mengantuk dan bosan. Hal yang sejujur-jujurnya saya rasakan beberapa kali dalam pementasan. Saya tak tahu, hal ini datang dari diri saya yang kurang tidur selama seminggu belakangan, atau datang dari dialog-dialog panjang yang sulit untuk pikiran saya terjemahkan. Tapi, ada hal lain selain dua kendala tersebut yang saya rasakan. Geli memancing tawa. Ya, beberapa dialog Clov yang dicetuskan dengan ekspresi datar mampu membuat saya tertawa mengikik. Ringan dan jujur. Terjadi di sekitar kita. Celetukan-celetukan datar, tanpa berpikir terlebih dahulu, yang seringkali membuat kita ditertawakan karena mereka menganggap kita bodoh.
Tokoh-tokoh dalam Endgame, dengan semua kecacatannya, digambarkan masih membutuhkan satu sama lain. Isu teringan yang dapat saya lihat, mungkin mengenai ketergantungan manusia satu sama lain. Kadang, bosan menghampiri manusia-manusia ini, tapi tak bisa diingkari, manusia-manusia ini tak mau saling meninggalkan. Terbukti dari Hamm yang secara berulang kali bertanya pada Clov mengapa Clov belum juga meninggalkannya. Terbukti dari Clov, yang seringkali disuruh-suruh oleh Hamm, masih saja bertahan. Sebuah pertanyaan, yang tak dijawab dengan jawaban, tapi dengan adegan.
Hal lain yang ada dalam Endgame (ini saya simpulkan setelah membuka dan membaca 3 halaman persegi bolak-balik yang mengupas tentang Endgame) adalah representasi hidup manusia. Sadar atau tidak sadar. Manusia dengan segala kecacatannya seringkali sudah sadar bagaimana akhir hidupnya. Kematian. Ketiadaan. Tapi, ia menjalani hidupnya dengan segala kecacatannya itu. Ia mengulang terus menerus dan terus kebiasaan dan kegiatannya sehari-hari, meskipun ia tau ia sia-sia dan pada akhirnya ia hanya berjumpa dengan kematian.
Yang lucu adalah ketika Hamm bertanya pada Clov, mengapa Clov tidak menghabisi Hamm. Clov menjawab karena ia tak tau caranya membuka lemari makan. Hamm menawarkan bantuan untuk mengajari Clov cara membuka lemari makan. Tapi kemudian, Clov tak ingin menghabisi Hamm. Dialog-dialog yang terus berulang, bersahut-sahutan, terkesan ringan, tapi (pastilah) membawa 'sesuatu'.
Dialog lainnya, ketika Hamm mengancam tak akan memberi makan Clov. Lalu Clov dengan ringannya berkata "Maka kita akan mati", lalu Hamm tak ingin Clov mati, dan ia akan memberi makan Clov sangat sedikit. Clov menjawab "Maka kita tidak akan mati". Terkesan seperti sesuatu yang dilontarkan tanpa dipikirkan. Konyol. Tapi ini hadir di sekitar kita. Pernyataan-pernyataan konyol. Tak penting. Tak mudah dimengerti.
Satu hal yang menarik lagi, yang berkaitan dengan kehidupan adalah perkataan Nell. Saya tak ingat persis perkataannya. Maklum, memori jangka pendek. Tapi, ia mengatakan bahwa manusia seringkali mentertawakan hal yang sama berulang-ulang, dirasanya itu adalah kebahagiaannya. Lucu. Katanya lucu, tapi jika disajikan berulang-ulang dan terus-menerus, maka apakah masih sama lucu? Apakah tawa masih sama? Itulah yang kadang sulit dimengerti.
Saya, tak ingin terlalu jauh mengomentari ceritanya, karena saya belum berhasil mengupasnya hingga tuntas. Saya, yakin bahwa masih banyak yang belum saya tangkap dari dialog-dialognya. Bukan, bukan karena teaternya tak apik. Mereka sungguh menarik. Bagaimana tidak, kurang lebih 20 tahun sudah mereka berkarya. Hanya saja, butuh waktu banyak untuk saya lebih jauh terjun sebagai penikmat pementasan teater.
Dari segi settingnya, panggungnya sangat artistik. Melingkar dan dikelilingi kayu-kayu, menciptakan suasana kusam, karena dindingnya tampak tua. Tapi dengan tata cahaya yang begitu terang (dan kadang muram), dinding itu beberapa kali tak terlihat tua. Saya suka bangku dorong Hamm. Saya suka melihat dua jendela di dinding. Saya suka tata panggungnya.
Musik, ya. Alunan lagu KYRIE yang masih tak saya mengerti untuk apa sebenarnya. Mungkin karena padanannya adalah 'Tuhan, Kasihanilah Kami' ?.
Dari segi perannya, saya suka semuanya. Jelas, dari hasil perjalanan saya mencari info para tokoh di dunia Google, saya rasa mereka semua adalah para pemeran yang sudah punya jam terbang tinggi. Mereka dengan sukses 'membawa' perannya. Peran-peran tak mudah. Peran-peran yang jauh lebih banyak 'menyembunyikan' daripada 'menampilkan'. Peran-peran yang sesungguhnya ada dalam kehidupan manusia nyata. Kesia-siaan. Meskipun sia-sia tapi tetap dijalankan. Meskipun di ujung sana, yang menyambut hanyalah kematian.
Dua jam lebih beberapa menit kemarin malam, bagi saya adalah keberuntungan. Dengan segala kekurangan dalam penghayatan menyaksikan, saya cukup terpuaskan. Tak menyurutkan niat untuk terus menjadi penikmat teater.
Terakhir, saya ucapkan selamat kepada Teater Garasi atas empat kali pementasannya! Berkaryalah selalu dan senantiasa menampilkan sesuatu yang tak biasa! :)
sedikit gambar dari ENDGAME |
sedikit gambar dari ENDGAME |
ulasan yg bagus dan informatif.. kbtulan saya juga ingin menggarap naskah end game ini.. trimakasih..
ReplyDelete