Sunday, April 19, 2015

Teater Koma - Opera Ular Putih: Ketika Siluman Menjadi Lebih 'Manusia'.

Saya makin yakin dengan bisik-bisik yang menghembus kabar bahwa teater, sejatinya adalah sebuah sarana yang efektif untuk menyampaikan isu-isu sosial (dan politik) yang sedang berkembang di masyarakat. Saya juga yakin, teater, dengan caranya sendiri memiliki tujuan mencerdaskan masyarakat terkait isu-isu tersebut. Ah ya, dan juga membuat penontonnya serta penikmatnya, berefleksi karenanya.

Keyakinan saya ini kembali muncul tatkala saya usai menyaksikan pementasan Teater Koma yang kesekian kalinya (mungkin, kali keempat). Setelah sebelumnya saya menyaksikan Republik Cangik yang juga sarat sindiran, maka Opera Ular Putih hasil olahan tangan N.Riantiarno melalui Teater Koma ini juga mampu memaksa saya menghidupkan kepekaan. Banyak hal yang menggelitik ketika mata tertuju pada mereka yang beraksi di panggung. Otak memutar mencoba mengerti jalan cerita plus maksud dibaliknya. Sampai semua duga-duga terekam, jaripun menuangkannya dalam bentuk tulisan.

PARA PEMAIN
SINOPSIS

Dua siluman ular kakak-beradik, ular putih dan ular hijau telah menunaikan pertapaan selama ribuan tahun dan memperoleh kemampuan untuk menjelma menjadi manusia. Sayangnya, hanya ular putih yang bertekad kuat untuk mengubah diri menjadi manusia, sementara si adik menentang. Meskipun demikian, atas nama kesetiaan adik pada kakak, ular hijau setuju juga dengan ide memanusiakan diri. Mereka pun memiliki nama masing-masing setelah hidup sebagai manusia. Putih menjadi Pehtinio dan Hijau menjadi Siocing. Selanjutnya, mereka berdua berkelana dan bertemu seorang lelaki sederhana bernama Kohanbun di tepi danau. Kepada Siocing, Tinio mengungkap bahwa Kohanbun sesungguhnya adalah reinkarnasi dari seorang pemuda yang dulu pernah menyelamatkan Tinio ketika masih berwujud ular dan hendak dijual. Tinio menyampaikan niatnya pada Siocing untuk mempersuami Kohanbun. Meskipun diliputi keheranan yang teramat, Siocing akhirnya merestui pernikahan Tinio dengan Kohanbun. Pernikahan mereka pun dilaksanakan dan mereka pindah ke kota lain untuk memulai usaha toko obat. Malangnya, pembasmi siluman yang diberi mandat oleh langit, dengan giat berusaha untuk mengungkap identitas Tinio pada Kohanbun. Meskipun Tinio tidak pernah berbuat jahat dan justru selalu berusaha melakukan kebaikan, Tinio seakan tidak pernah diakui sebagai bagian dari bangsa manusia. Sampai akhirnya, setelah melahirkan buah cintanya dengan Kohanbun, Tinio tetap harus menerima hukuman.

MENANGKAP-NANGKAP MAKNA

Jika ditelisik secara sederhana, maka saya yakin semua penonton akan menangkap sebuah pesan yang teramat gamblang, yakni tentang bagaimana seharusnya seorang manusia bersikap dan berperilaku. Bagaimana bisa seorang siluman bahkan lebih ‘manusia’ dari manusia itu sendiri?

Baiklah, sebelum membahas pesan yang saya kira menjadi tajuk utama ini, ada baiknya saya sedikit mengupas beberapa bagian menarik nan bermakna yang saya tangkap selama perjalanan cerita berdurasi hampir 4 jam ini.

Pada beberapa adegan Opera Ular Putih, saya menemukan adanya isu ‘perempuan’ yang coba diangkat. Bagaimana kedudukan seorang perempuan bahkan terkadang bisa menggantikan kedudukan seorang lelaki. Maksudnya di sini, peran seorang lelaki dapat digantikan oleh seorang perempuan dan begitupun sebaliknya. Ambil contoh, ketika Tinio pergi melamar Kohanbun. Memang, mereka berdua dicomblangi Siocing, akan tetapi siapa yang melamar dan membiayai pernikahan? Jelas, Tinio lah orangnya. Tinio juga yang akhirnya memberi modal untuk membuka usaha. Kemudian, contoh lain yang tampak adalah ketika Kohanbun jatuh pingsan bahkan hampir sekarat karena menemukan wujud siluman ular di kamar tidurnya malam hari. Tinio rela menghadang bahaya demi mendapatkan rumput sakti yang konon bisa menyembuhkan Kohanbun. Pada bagian ini, saya tentu langsung menangkap kesan bahwa ‘perempuan’ khususnya Tinio, jauh lebih banyak berperan dalam hubungan mereka berdua dibandingkan Kohanbun itu sendiri.

Tinio, Siocing, dan Kohanbun yang sedang tertidur

Pernikahan Tinio dan Kohanbun
Saya memang sebelumnya belum pernah menyaksikan pertunjukan Ular Putih apalagi membaca tentang kisahnya. Terlepas dari adegan ini memang asli dari naskah terdahulu atau justru merupakan improvisasi dari N.Riantiarno, saya menyangka bahwa adegan ini cukup mampu membawa suatu ‘perubahan’ paradigma tentang peran perempuan. Mungkin masyarakat Indonesia telah mengenal tradisi perempuan melamar lelaki dalam adat Minang. Akan tetapi, secara lebih luas lagi, masyarakat Indonesia sepertinya lebih melazimkan pernikahan di mana pihak lelaki lah yang melamar perempuan. Namun, apakah salah jika perempuan yang ‘mengajak’ menikah terlebih dahulu? Saya rasa tak ada yang salah.

Secara subjektif, saya pun melihat adanya permainan karakter perempuan dan laki-laki di sini. Dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, saya melihat bahwa karakter ‘mudah menangis’, ‘tidak mudah percaya’ dan ‘penakut’ seringkali diidentikkan dengan kaum perempuan, sementara ‘bijaksana’ dan ‘penuh perjuangan’ disematkan pada kaum lelaki. Dalam Opera Ular Putih, kedua hal ini justru berkebalikan. Tinio ditampilkan sebagai orang yang bijaksana dan penuh perjuangan, tanpa meninggalkan kelemahlembutannya, sementara Kohanbun digambarkan sebagai pihak yang justru lebih lemah, karena diliputi rasa takut dan kecemasan, serta penuh dengan kecurigaan pada sang istri, Tinio. Seingat saya, Kohanbun juga dengan mudahnya menangis. Lantas karena itu, masihkah karakter-karakter tertentu kita percayai hanya untuk jenis kelamin tertentu? Untuk gender tertentu? Buktinya, paradigma semacam yang tersebut barusan mudah dibalik-balik dan ditukar-tukar.

Ada satu peristiwa yang juga bisa saya paksa kaitkan dengan isu perempuan. Yakni pengakuan Siocing yang tidak ingin menikah. Padahal, Siocing pun telah menjadi manusia seutuhnya. Lantas, mengapa ia tak ingin menikah? Saya kira Siocing sudah cukup puas dengan hidup bersama kakak dan dirinya sendiri. Siocing merasa bahwa lelaki hanya bisa berbohong saja dan lelaki dari kacamata Siocing sangatlah membawa aspek-aspek negatif. Hal ini saya rasa mampu memberikan sedikit kekuatan dan justifikasi kepada mereka (perempuan) yang memutuskan tidak ingin menikah. Harus diakui dan disadari, tidak semua perempuan yang tidak menikah memilih status lajang karena terpaksa. Banyak juga yang menganggap itu sebagai pilihan hidup yang sudah diyakini dan dimantapi. Seperti Siocing, misalnya? Kalau hidup tanpa menikah pun sudah bahagia, lantas mengapa perempuan harus dipaksa menikah?

Beralih dari isu perempuan yang tak sengaja saya tangkap, saya juga menemukan adanya usaha Teater Koma untuk tetap menyelipkan budaya Indonesia bahkan turut serta di dalamnya isu-isu yang sedang marak di tanah air. Misalnya saja di salah satu adegan, ada dalang yang muncul memainkan wayang orang. Wayang orang ini merupakan salah satu kebudayaan Indonesia, bukan? Kalian tau wayang orangnya siapa? Wayang orangnya tak lain adalah Kohanbun, Tinio, Siocing, juga kakak Kohanbun, Kokiyong. Artinya, sesungguhnya cerita tentang Ular Putih ini pun sedang diceritakan oleh seorang dalang di atas panggung. Dalang inilah yang bertugas membawa kutipan-kutipan lucu yang membuat penonton tertawa. Tugas mulianya yang lain menurut saya adalah menjadi jembatan cerita dari zaman kapan ini menjadi tetap berkorelasi dengan zaman sekarang. Dalang ini menyebut-nyebut soal SNI, kemudian menyebut-nyebut soal dalang politik (kalau mendengar langsung dialog tentang ini, dijamin akan langsung mengacu pada kondisi pemerintah!), dan menyindir-nyindir soal kondisi rakyat yang menyedihkan dan memprihatinkan (yang saya duga kuat mengacu pada rakyat Indonesia). Di sini, salut saya bertambah-tambah pada Teater Koma. Selain mengemas ulang cerita Ular Putih yang sarat latar negeri Cina, Teater Koma juga mampu membawa unsur keIndonesiaan di dalam karyanya. Usaha ini dapat dipandang sebagai upaya untuk menyadarkan masyarakat Indonesia yang ada di bangku penonton akan kondisi negara saat ini. Ah, sangat Teater Koma.

Wayang oleh Dalang

Wayang oleh Dalang (2)
Percaya atau tidak, saya juga menangkap adanya sindiran terhadap kasus eksekusi mati yang akan dilakukan pemerintah Indonesia dari salah satu dialog Tinio. Ceritanya, setelah Tinio memaafkan Gowi atas sikapnya yang tak mengenakkan (mengadu pada Kohanbun tentang siapa sosok Tinio sebenarnya), Siocing mengajukan protes. Siocing heran, mengapa Tinio tak lantas membunuh Gowi saja, mengapa sebaliknya justru dimaafkan? Jawaban Tinio sangat di luar dugaan dan secara spontan (atau terlampau jauh), saya memahaminya sebagai salah satu pesan terhadap aksi eksekusi mati. Tinio berpendapat bahwa pembunuhan tidak selamanya membuat persoalan selesai. Kematian ada di tangan dewa dan dewalah yang berhak menentukan. Dialog Tinio yang berisi pesan ini seakan ingin menyampaikan ‘makna’ lain. Bahwa pada hakikatnya memang hak hidup manusia tidak boleh dicabut oleh sesama manusia. Hanya dewa —Tuhan— yang berhak menentukan. Kalau mau dikaitkan dengan eksekusi mati di Indonesia, ah pasti akan jadi panjang sekali. Intinya, entah disengaja atau tidak, Teater Koma berusaha menyampaikan pesan ‘kehidupan’ dan ‘manusia’ dalam salah satu adegannya. Beruntungnya, saya bisa menangkap hal tersebut.

Gowi yang menghasut Kohanbun
Sebelum membahas makna utama yang saya tangkap, masih ada satu adegan menarik yang bisa saya kaitkan dengan kasus yang belakangan marak terjadi di negeri sendiri. Ketika adegan Tinio mencuri rumput sakti untuk menolong suaminya, Kohanbun yang pingsan hampir mati karena terkejut. Demi menolong makhluk yang tergolong ‘manusia’ pun, Tinio hampir dihukum. Lucunya, saya jadi teringat kasus-kasus orang-orang gaek yang diperkarakan karena mencuri kayu jati, sebonggol pisang, bahkan beberapa buah cokelat. Sesederhana itu untuk menolong orang, masih dihukum (hampir) berat pula. Ya ya, memang pada dasarnya mencuri itu adalah perbuatan tidak terpuji atau tercela. Namun jika dilakukan untuk kebaikan, ah bahkan jika pelakunya tak berdaya? Dilematis memang. Hanya saja, saya jadi ragu sendiri apakah benar hal ini yang hendak ‘diangkat’ Teater Koma? Atau hanya interpretasi saya terhadap adegan curi-mencuri rumput sakti itu yang terlalu jauh? Hmm, setiap orang bebas dalam memaknai, kan?

Pencuri rumput sakti (Tinio) yang sedang memohon ampun dan...diampuni...
Baiklah, sesuai janji saya, cuap-cuap saya di awal bagian ini yang ingin membahas tentang siluman yang lebih manusia, saya akan memulainya dari keinginan Tinio yang teramat besar untuk menjadi manusia. Ini menandakan bahwa memang manusia adalah sosok paling mulia di antara makhluk hidup lainnya. Jadi siluman mungkin bebas berkelana, tetapi menjadi manusia, Tinio dapat merasa. Tinio dapat mencinta, dapat merasa bahagia. Tinio dapat merasakan kesedihan, kesakitan.

Banyak sekali rasa dari pada seorang manusia, ya? Seharusnya, manusia-manusia seperti kita bangga menjadi manusia.

Ketika akhirnya berhasil menjadi manusia, Tinio benar-benar berusaha untuk bersikap penuh lemah lembut, senantiasa berbuat baik, menderma dengan mengobati orang-orang berpenyakit, serta tak lupa memberikan maaf bagi mereka yang menebar aura permusuhan. Tak mudah, Tinio pun berusaha untuk sabar. Hal ini direpresentasikan oleh tutur bicara Tinio yang pelan-pelan dan perlahan seolah menyiratkan keanggunan dan kesabaran secara bersamaan. Di lakon ini, siluman ular putih Tinio benar-benar menunjukkan keinginan yang besar untuk menjadi ‘manusia’. Sosok yang dikenal baik, berakal budi, berhati mulia, dan tidak menebar aura kebencian. Malangnya, Tinio yang bahkan telah terlihat sempurna sebagai manusia, justru masih dikejar-kejar sebagai siluman. Yang mengejar? Tentu manusia-manusia yang katanya pendeta dan murid pendeta. Predikatnya memang mulia, tapi sikapnya? Tak ada yang menjamin. Hidup Tinio toh tetap harus berakhir dengan dikurung dalam pagoda.

Tinio telah dipagodakan oleh Pendeta Bahai dan Kohanbun datang menjenguk...
Hal ini jelas memprihatinkan. Bagaimana bisa seseorang yang memiliki masa lalu yang teramat kelam (sebagai siluman) namun telah berusaha menjadi baik dan bermartabat, dapat dihabisi oleh mereka yang justru mengaku dianugerahi sikap baik dan bermartabat? Saya rasa tidak perlu panjang lebar lagi menganalisis tentang persoalan siluman baik dihabisi manusia (jahat) ini. Kita hanya ingin disadarkan oleh lakon Opera Ular Putih tentang akal sehat dan kecerdasan yang sepatutnya kita miliki, harusnya mampu membawa kita pada penilaian yang sungguh objektif tentang siapa sebenarnya manusia dan yang mana yang harusnya kita golongkan siluman? Saya pribadi menjadi berefleksi pada kondisi sekitar, atau lebih luas, pada kondisi Indonesia.

MANUSIA ATAU SILUMAN?

Singkat saja, mereka yang sudah bersusah-payah memproduksi lakon Opera Ular Putih ini saya duga hanya ingin memancing urat pikir kita untuk merenungkan sikap dan perilaku diri sendiri sebagai individu. Sudah pantaskah kita disebut manusia? Atau sesungguhnya, kita hanyalah siluman berwujud manusia?

Akhir kata, saya ucapkan SELAMAT bagi pementas dan pencipta. Terus berkarya, teater Koma. Ditunggu produksi selanjutnya.


PS: Kalau bisa, setelah pertunjukan, Budi Ros jangan cepat-cepat turun panggung karena saya ingin foto bersamanya! Ah ya, akting Andhini Puteri sebagai ular hijau sangat luar biasa. SELAMAT!

2 comments:

Thanks for leaving a comment :)