Saya makin yakin dengan bisik-bisik yang menghembus kabar bahwa teater, sejatinya
adalah sebuah sarana yang efektif untuk menyampaikan isu-isu sosial (dan
politik) yang sedang berkembang di masyarakat. Saya juga yakin, teater, dengan
caranya sendiri memiliki tujuan mencerdaskan masyarakat terkait isu-isu
tersebut. Ah ya, dan juga membuat penontonnya serta penikmatnya, berefleksi
karenanya.
Keyakinan saya ini kembali muncul tatkala saya usai menyaksikan
pementasan Teater Koma yang kesekian kalinya (mungkin, kali keempat). Setelah
sebelumnya saya menyaksikan Republik Cangik yang juga sarat sindiran, maka
Opera Ular Putih hasil olahan tangan N.Riantiarno melalui Teater Koma ini juga
mampu memaksa saya menghidupkan kepekaan. Banyak hal yang menggelitik ketika
mata tertuju pada mereka yang beraksi di panggung. Otak memutar mencoba
mengerti jalan cerita plus maksud dibaliknya. Sampai semua duga-duga terekam,
jaripun menuangkannya dalam bentuk tulisan.
PARA PEMAIN |
SINOPSIS
Dua siluman ular kakak-beradik, ular putih dan ular hijau telah
menunaikan pertapaan selama ribuan tahun dan memperoleh kemampuan untuk
menjelma menjadi manusia. Sayangnya, hanya ular putih yang bertekad kuat untuk
mengubah diri menjadi manusia, sementara si adik menentang. Meskipun demikian,
atas nama kesetiaan adik pada kakak, ular hijau setuju juga dengan ide
memanusiakan diri. Mereka pun memiliki nama masing-masing setelah hidup sebagai
manusia. Putih menjadi Pehtinio dan Hijau menjadi Siocing. Selanjutnya, mereka berdua
berkelana dan bertemu seorang lelaki sederhana bernama Kohanbun di tepi danau.
Kepada Siocing, Tinio mengungkap bahwa Kohanbun sesungguhnya adalah reinkarnasi
dari seorang pemuda yang dulu pernah menyelamatkan Tinio ketika masih berwujud
ular dan hendak dijual. Tinio menyampaikan niatnya pada Siocing untuk
mempersuami Kohanbun. Meskipun diliputi keheranan yang teramat, Siocing
akhirnya merestui pernikahan Tinio dengan Kohanbun. Pernikahan mereka pun
dilaksanakan dan mereka pindah ke kota lain untuk memulai usaha toko obat.
Malangnya, pembasmi siluman yang diberi mandat oleh langit, dengan giat berusaha untuk mengungkap identitas Tinio pada Kohanbun. Meskipun Tinio
tidak pernah berbuat jahat dan justru selalu berusaha melakukan kebaikan, Tinio
seakan tidak pernah diakui sebagai bagian dari bangsa manusia. Sampai akhirnya,
setelah melahirkan buah cintanya dengan Kohanbun, Tinio tetap harus menerima
hukuman.
MENANGKAP-NANGKAP
MAKNA
Jika ditelisik secara sederhana, maka saya yakin semua penonton akan
menangkap sebuah pesan yang teramat gamblang, yakni tentang bagaimana
seharusnya seorang manusia bersikap dan berperilaku. Bagaimana bisa seorang
siluman bahkan lebih ‘manusia’ dari manusia itu sendiri?
Baiklah, sebelum membahas pesan yang saya kira menjadi tajuk utama ini,
ada baiknya saya sedikit mengupas beberapa bagian menarik nan bermakna yang
saya tangkap selama perjalanan cerita berdurasi hampir 4 jam ini.
Pada beberapa adegan Opera Ular Putih, saya menemukan adanya isu ‘perempuan’ yang coba diangkat.
Bagaimana kedudukan seorang perempuan bahkan terkadang bisa menggantikan
kedudukan seorang lelaki. Maksudnya di sini, peran seorang lelaki dapat
digantikan oleh seorang perempuan dan begitupun sebaliknya. Ambil contoh,
ketika Tinio pergi melamar Kohanbun. Memang, mereka berdua dicomblangi Siocing,
akan tetapi siapa yang melamar dan membiayai pernikahan? Jelas, Tinio lah
orangnya. Tinio juga yang akhirnya memberi modal untuk membuka usaha. Kemudian,
contoh lain yang tampak adalah ketika Kohanbun jatuh pingsan bahkan hampir
sekarat karena menemukan wujud siluman ular di kamar tidurnya malam hari. Tinio
rela menghadang bahaya demi mendapatkan rumput sakti yang konon bisa
menyembuhkan Kohanbun. Pada bagian ini, saya tentu langsung menangkap kesan
bahwa ‘perempuan’ khususnya Tinio, jauh lebih banyak berperan dalam hubungan
mereka berdua dibandingkan Kohanbun itu sendiri.
Tinio, Siocing, dan Kohanbun yang sedang tertidur |
Pernikahan Tinio dan Kohanbun |
Saya memang sebelumnya belum pernah menyaksikan pertunjukan Ular Putih
apalagi membaca tentang kisahnya. Terlepas dari adegan ini memang asli dari
naskah terdahulu atau justru merupakan improvisasi dari N.Riantiarno, saya
menyangka bahwa adegan ini cukup mampu membawa suatu ‘perubahan’ paradigma
tentang peran perempuan. Mungkin masyarakat Indonesia telah mengenal tradisi
perempuan melamar lelaki dalam adat Minang. Akan tetapi, secara lebih luas
lagi, masyarakat Indonesia sepertinya lebih melazimkan pernikahan di mana pihak
lelaki lah yang melamar perempuan. Namun, apakah salah jika perempuan yang
‘mengajak’ menikah terlebih dahulu? Saya rasa tak ada yang salah.
Secara subjektif, saya pun melihat adanya permainan karakter perempuan
dan laki-laki di sini. Dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, saya melihat
bahwa karakter ‘mudah menangis’, ‘tidak mudah percaya’ dan ‘penakut’ seringkali
diidentikkan dengan kaum perempuan, sementara ‘bijaksana’ dan ‘penuh
perjuangan’ disematkan pada kaum lelaki. Dalam Opera Ular Putih, kedua hal ini
justru berkebalikan. Tinio ditampilkan sebagai orang yang bijaksana dan penuh
perjuangan, tanpa meninggalkan kelemahlembutannya, sementara Kohanbun
digambarkan sebagai pihak yang justru lebih lemah, karena diliputi rasa takut
dan kecemasan, serta penuh dengan kecurigaan pada sang istri, Tinio. Seingat
saya, Kohanbun juga dengan mudahnya menangis. Lantas karena itu, masihkah karakter-karakter tertentu kita percayai hanya untuk jenis
kelamin tertentu? Untuk gender tertentu? Buktinya, paradigma semacam yang
tersebut barusan mudah dibalik-balik dan ditukar-tukar.
Ada satu peristiwa yang juga bisa saya paksa kaitkan dengan isu
perempuan. Yakni pengakuan Siocing yang tidak ingin menikah. Padahal, Siocing
pun telah menjadi manusia seutuhnya. Lantas, mengapa ia tak ingin menikah? Saya
kira Siocing sudah cukup puas dengan hidup bersama kakak dan dirinya sendiri.
Siocing merasa bahwa lelaki hanya bisa berbohong saja dan lelaki dari kacamata
Siocing sangatlah membawa aspek-aspek negatif. Hal ini saya rasa mampu
memberikan sedikit kekuatan dan justifikasi kepada mereka (perempuan) yang
memutuskan tidak ingin menikah. Harus diakui dan disadari, tidak semua
perempuan yang tidak menikah memilih status lajang karena terpaksa. Banyak juga
yang menganggap itu sebagai pilihan hidup yang sudah diyakini dan dimantapi.
Seperti Siocing, misalnya? Kalau hidup tanpa menikah pun sudah bahagia, lantas
mengapa perempuan harus dipaksa menikah?
Beralih
dari isu perempuan yang tak sengaja saya tangkap, saya juga menemukan adanya usaha
Teater Koma untuk tetap menyelipkan budaya
Indonesia bahkan turut serta di dalamnya isu-isu yang sedang marak di tanah
air. Misalnya saja di salah satu adegan, ada dalang yang muncul memainkan
wayang orang. Wayang orang ini merupakan salah satu kebudayaan Indonesia,
bukan? Kalian tau wayang orangnya siapa? Wayang orangnya tak lain adalah
Kohanbun, Tinio, Siocing, juga kakak Kohanbun, Kokiyong. Artinya, sesungguhnya
cerita tentang Ular Putih ini pun sedang diceritakan oleh seorang dalang di
atas panggung. Dalang inilah yang bertugas membawa kutipan-kutipan lucu yang
membuat penonton tertawa. Tugas mulianya yang lain menurut saya adalah menjadi
jembatan cerita dari zaman kapan ini menjadi tetap berkorelasi dengan zaman
sekarang. Dalang ini menyebut-nyebut soal SNI, kemudian menyebut-nyebut soal dalang
politik (kalau mendengar langsung dialog tentang ini, dijamin akan langsung
mengacu pada kondisi pemerintah!), dan menyindir-nyindir soal kondisi rakyat
yang menyedihkan dan memprihatinkan (yang saya duga kuat mengacu pada rakyat
Indonesia). Di sini, salut saya bertambah-tambah pada Teater Koma. Selain
mengemas ulang cerita Ular Putih yang sarat latar negeri Cina, Teater Koma juga
mampu membawa unsur keIndonesiaan di dalam karyanya. Usaha ini dapat dipandang
sebagai upaya untuk menyadarkan masyarakat Indonesia yang ada di bangku
penonton akan kondisi negara saat ini. Ah, sangat Teater Koma.
Wayang oleh Dalang |
Wayang oleh Dalang (2) |
Percaya
atau tidak, saya juga menangkap adanya sindiran terhadap kasus eksekusi mati yang akan dilakukan
pemerintah Indonesia dari salah satu dialog Tinio. Ceritanya, setelah Tinio
memaafkan Gowi atas sikapnya yang tak mengenakkan (mengadu pada Kohanbun
tentang siapa sosok Tinio sebenarnya), Siocing mengajukan protes. Siocing
heran, mengapa Tinio tak lantas membunuh Gowi saja, mengapa sebaliknya justru
dimaafkan? Jawaban Tinio sangat di luar dugaan dan secara spontan (atau
terlampau jauh), saya memahaminya sebagai salah satu pesan terhadap aksi
eksekusi mati. Tinio berpendapat bahwa pembunuhan tidak selamanya membuat
persoalan selesai. Kematian ada di tangan dewa dan dewalah yang berhak
menentukan. Dialog Tinio yang berisi pesan ini seakan ingin menyampaikan
‘makna’ lain. Bahwa pada hakikatnya memang hak hidup manusia tidak boleh dicabut
oleh sesama manusia. Hanya dewa —Tuhan— yang berhak menentukan. Kalau mau
dikaitkan dengan eksekusi mati di Indonesia, ah pasti akan jadi panjang sekali.
Intinya, entah disengaja atau tidak, Teater Koma berusaha menyampaikan pesan
‘kehidupan’ dan ‘manusia’ dalam salah satu adegannya. Beruntungnya, saya bisa
menangkap hal tersebut.
Gowi yang menghasut Kohanbun |
Sebelum
membahas makna utama yang saya tangkap, masih ada satu adegan menarik yang bisa
saya kaitkan dengan kasus yang belakangan marak terjadi di negeri sendiri.
Ketika adegan Tinio mencuri rumput sakti untuk menolong suaminya, Kohanbun yang
pingsan hampir mati karena terkejut. Demi menolong makhluk yang tergolong
‘manusia’ pun, Tinio hampir dihukum. Lucunya, saya jadi teringat kasus-kasus
orang-orang gaek yang diperkarakan karena mencuri kayu jati, sebonggol pisang,
bahkan beberapa buah cokelat. Sesederhana itu untuk menolong orang, masih
dihukum (hampir) berat pula. Ya ya, memang pada dasarnya mencuri itu adalah
perbuatan tidak terpuji atau tercela. Namun jika dilakukan untuk kebaikan, ah
bahkan jika pelakunya tak berdaya? Dilematis memang. Hanya saja, saya jadi ragu
sendiri apakah benar hal ini yang hendak ‘diangkat’ Teater Koma? Atau hanya
interpretasi saya terhadap adegan curi-mencuri rumput sakti itu yang terlalu
jauh? Hmm, setiap orang bebas dalam memaknai, kan?
Pencuri rumput sakti (Tinio) yang sedang memohon ampun dan...diampuni... |
Baiklah,
sesuai janji saya, cuap-cuap saya di awal bagian ini yang ingin membahas
tentang siluman yang lebih manusia, saya
akan memulainya dari keinginan Tinio yang teramat besar untuk menjadi manusia.
Ini menandakan bahwa memang manusia adalah sosok paling mulia di antara makhluk
hidup lainnya. Jadi siluman mungkin bebas berkelana, tetapi menjadi manusia,
Tinio dapat merasa. Tinio dapat mencinta, dapat merasa bahagia. Tinio dapat
merasakan kesedihan, kesakitan.
Banyak sekali rasa dari pada seorang manusia, ya? Seharusnya,
manusia-manusia seperti kita bangga menjadi manusia.
Ketika akhirnya berhasil menjadi manusia, Tinio benar-benar berusaha
untuk bersikap penuh lemah lembut, senantiasa berbuat baik, menderma dengan
mengobati orang-orang berpenyakit, serta tak lupa memberikan maaf bagi mereka
yang menebar aura permusuhan. Tak mudah, Tinio pun berusaha untuk sabar. Hal
ini direpresentasikan oleh tutur bicara Tinio yang pelan-pelan dan perlahan
seolah menyiratkan keanggunan dan kesabaran secara bersamaan. Di lakon ini,
siluman ular putih Tinio benar-benar menunjukkan keinginan yang besar untuk
menjadi ‘manusia’. Sosok yang dikenal baik, berakal budi, berhati mulia, dan
tidak menebar aura kebencian. Malangnya, Tinio yang bahkan telah terlihat
sempurna sebagai manusia, justru masih dikejar-kejar sebagai siluman. Yang
mengejar? Tentu manusia-manusia yang katanya pendeta dan murid pendeta. Predikatnya
memang mulia, tapi sikapnya? Tak ada yang menjamin. Hidup Tinio toh tetap harus
berakhir dengan dikurung dalam pagoda.
Tinio telah dipagodakan oleh Pendeta Bahai dan Kohanbun datang menjenguk... |
Hal ini jelas memprihatinkan. Bagaimana bisa seseorang yang memiliki
masa lalu yang teramat kelam (sebagai siluman) namun telah berusaha menjadi
baik dan bermartabat, dapat dihabisi oleh mereka yang justru mengaku dianugerahi
sikap baik dan bermartabat? Saya rasa tidak perlu panjang lebar lagi
menganalisis tentang persoalan siluman baik dihabisi manusia (jahat) ini. Kita
hanya ingin disadarkan oleh lakon Opera Ular Putih tentang akal sehat dan
kecerdasan yang sepatutnya kita miliki, harusnya mampu membawa kita pada
penilaian yang sungguh objektif tentang siapa sebenarnya manusia dan yang mana
yang harusnya kita golongkan siluman? Saya pribadi menjadi berefleksi pada
kondisi sekitar, atau lebih luas, pada kondisi Indonesia.
MANUSIA ATAU SILUMAN?
Singkat saja, mereka yang sudah bersusah-payah memproduksi lakon Opera
Ular Putih ini saya duga hanya ingin memancing urat pikir kita untuk
merenungkan sikap dan perilaku diri sendiri sebagai individu. Sudah pantaskah
kita disebut manusia? Atau sesungguhnya, kita hanyalah siluman berwujud
manusia?
Akhir kata, saya ucapkan SELAMAT bagi pementas dan pencipta. Terus
berkarya, teater Koma. Ditunggu produksi selanjutnya.
Fotonya keren-keren...
ReplyDeleteThank you :)
Delete