Wanita berparas ayu dan kelihatan jenius ini berkesempatan untuk membagikan ceritanya di sesi pertama acara Young People And Social Media bersama dengan @felixpradipta, @joshuasudihna, dan @elisaolga. Bagi saya, aura seorang Aprishi seakan terpancar keluar dan... POSITIF. Keprihatinan yang ia suarakan pun bukan perkara mudah atau sederhana. Aprishi menaruh perhatian penuhnya pada isu BULLY. Dengan segala yang telah (dan masih) ia lakukan di perjalanan hidupnya, juga dengan semua kisah yang ia bagikan di acara ini, Aprishi mampu menunjukkan bahwa anak muda, mampu berguna. Anak muda mampu menciptakan perubahan. Dan anak muda, mampu menyelamatkan anak-anak muda lainnya yang terkena kasus tak mudah: BULLY.
APRISHI (kanan) bersama dengan Moderator (Yani L) |
Aprishi atau yang biasa dipanggil Pishy merupakan lulusan jurusan Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Indonesia. Pada tahun 2009, setelah lulus dari studinya, Pishy pernah bekerja sosial di panti asuhan. Di sana, ia menemukan banyak anak-anak sekolah di bangku SMP dan SMA yang sulit disuruh pergi bersekolah. Selidik punya selidik, ternyata anak-anak itu tidak ingin bersekolah bukan karena rasa malas. Mereka merasa minder karena mereka adalah anak panti, sementara sekolah mereka adalah sekolah umum. Mereka suka dibully oleh siswa-siswa yang lain. Pembullyan inilah yang akhirnya membuat anak-anak SMP-SMA itu malas pergi ke sekolah dan malah lebih memilih bermain di panti.
Dari sana, Pishy mulai berpikir bahwa harus ada sebuah pihak yang peduli dengan anak-anak korban bully tersebut. Tak hanya peduli, tetapi juga ikut mendukung dan memberikan semangat bagi korban-korban bully supaya berani menghadapi bully. Pikiran tersebut lantas tak hanya diam di kepala Pishy, melainkan justru membuat Pishy melakukan suatu langkah dan tindakan nyata. Dari sana, muncullah gerakan ANTI-BULLYING dengan Pishy sebagai pencetusnya. Sejak 2009, Pishy mulai meletakkan perhatian lebih dalam isu ini. Ia melakukan penelitian, penyuluhan ke sekolah-sekolah, bahkan pendekatan personal dengan korban-korban bully. Beberapa kali juga Pishy pernah menjadi pembicara di berbagai acara.
Tidak berhenti di situ, Pishy juga menyuarakan perhatiannya ke dalam sebuah buku berjudul Cool In School yang diterbitkan pada tahun 2013. Pishy menulisnya dengan tutur bahasa yang lebih fun dan mudah dimengerti. Menurutnya, buku-buku yang mengangkat isu soal bully selama ini memiliki bahasa dan gaya penulisan yang kaku, sehingga sulit untuk dimengerti. Maka dari itu, Cool In School dihadirkan oleh Pishy dengan gaya yang berbeda.
Source: aprishiallita.com |
Pishy masih terus aktif mengkampanyekan gerakan anti-bullying hingga saat ini. Melalui blog yang dibuatnya sendiri, Pishy bersedia menampung cerita-cerita atau curhatan dari mereka-mereka yang terkait kasus bully. Ada dua cara yang Pishy tawarkan, pertama yakni melalui Kotak Sharing dan kedua, melalui Cerita Kamu. Kalau di Kotak Sharing, orang yang curhat akan secara terbuka menunjukkan identitas aslinya, maka di Cerita Kamu, orang-orang yang ingin curhat ke Pishy dapat mengirimkan ceritanya lewat email terlebih dahulu, baru setelah itu Pishy akan mempublikasikan cerita itu secara anonim, berikut dengan solusi yang sudah diberikan oleh Pishy. Setelah saya kunjungi laman blog Pishy, ternyata selain korban bully itu sendiri, ada juga pelaku pembullyan yang ikut curhat dan meminta saran pada Pishy. Jadi, nggak hanya korban yang curhat, pelakunya juga! Hehe.
Ketika di acara kemarin, Pishy diminta untuk memberikan contoh kasus-kasus pembullyan. Ada beberapa hal yang seperti terlihat sepele, namun ternyata bisa digolongkan ke dalam kasus bully-membully juga. Misalnya, masalah yang biasanya menimpa kaum cewek itu adalah pembullyan karena rebutan cowok. Kemudian, berbeda dengan cewek, kasus bully yang kerap ditemukan di kaum cowok adalah yang berkaitan dengan fisik serta tawuran. Contoh kasus bully lainnya yang secara umum sering terjadi adalah kasus geng-gengan dan atau senioritas.
Pertanyaan yang paling penting di sini adalah, KENAPA PISHY MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL? Ia pun menjawabnya sederhana. Dulu, selama satu tahun ia 'bergerak', ruangnya sangat terbatas. Ia harus melakukan penyuluhan, penelitian, dan pendekatan ke korban serta orangtua korban secara bersamaan. Korban yang bisa ia tangani secara intensif akhirnya ikut-ikutan terbatas, hanya tiga korban dalam satu tahun. Untuk itu, Pishy berpendapat bahwa tidak mungkin ia mengujungi satu per satu korbannya secara terus menerus. It takes time. Akhirnya, media sosial-lah jawabannya. Dengan aktif di Twitter dan Instagram, Pishy bisa menyuarakan perhatian dan kampanye yang sedang ia lakukan. Pishy bisa menghimpun dukungan yang banyak. Dan dengan BLOG andalannya, Pishy bisa membantu semua orang, dari mana pun.
Ada suka, ada duka. Gerakan yang merupakan inisiatif Pishy ini pun pernah memiliki cerita kurang mengenakkan. Pishy pernah ditelfon oleh anak yang sudah terlanjur depresi dan mengaku ingin bunuh diri. Terus-menerus ingin bunuh diri. Kalau sudah begini dan tidak bisa ditangani oleh Pishy lagi, maka korban bully dengan kasus semacam ini akan dialihkan ke psikolog.
PISHY sudah selangkah menuju perubahan dengan gerakan SAY NO TO BULLYING-nya. Bagaimana dengan kamu (dan saya)?
PISHY SAID...
Kalau memang mau 'bergerak' atau menciptakan sebuah gerakan, pikirkan niat bikin gerakan itu apa? Tujuannya harus jelas dan jangan patah semangat!
Also, make your brand INTERESTING. Dan sesuaikan dengan anak-anak muda.
__________________________
Twitter: twitter.com/aprishiallita
Instagram: instagram.com/aprishiallita
Web: aprishiallita.com
No comments:
Post a Comment
Thanks for leaving a comment :)