Tuesday, April 21, 2015

Filosofi Kopi The Movie: 'Menikmati' Rio Dewanto dan Chicco Jerikho.

Kopi! Ah, saya suka mendengar kata itu. Saya juga suka menyesapnya beberapa kali dengan hikmat secara nikmat. Tapi sayang, perut saya seringkali bergejolak menolak ketika saya sudah mulai meminumnya terlalu banyak. Ah, namun bukan itu yang ingin saya bahas di tulisan ini. Lebih dari secangkir kopi atau sebungkus besar biji kopi, saya ingin membahas tentang karya sastra hasil imajinasi cerdas Dewi Lestari yang diadaptasi ke layar lebar berjudul Filosofi Kopi.

Bagi kalian yang sudah menyaksikan filmnya di bioskop, saya bisa jamin akan sangat sedikit dari kalian yang tidak memujinya bagus (meskipun saya masih yakin semuanya akan sepakat mengatakan jika filmnya sangat bagus).

Bagi kalian yang belum menyaksikan filmnya di bioskop, saya dengan senang hati memaksa kalian secara halus untuk segera menuju bioskop terdekat dan terhemat untuk bisa menyaksikan film ini (kalau film sudah tidak ada di peredaran, kalian bisa tunggu DVDnya rilis! —atau download, hehe…—). Kalaupun kalian tidak berminat setelah membaca sinopsisnya, kalian pasti akan tetap terhibur dengan wajah tampan Rio Dewanto feat Chicco Jerikho ATAU wajah cantik khas Prancis Julie Estelle. Hmm.

Bagi kalian yang sudah membaca cerita Filosofi Kopi di kumpulan cerpen berjudul sama, tetapi belum menyaksikan filmnya di bioskop, saya dengan rendah hati mengingatkan kalian bahwa jalan cerita Ben dan Jody akan cukup berbeda antara buku dan film. Percayalah. Akan banyak penyesuaian-penyesuaian dan penambahan peran baru yang berbeda dengan yang sempat kita temukan di dalam halaman-halaman pertama buku Dee berjudul Filosofi Kopi. Namun, penyesuaian-penyesuaian itu sejatinya mampu menjadi bumbu improvisasi yang menyenangkan sehingga tetap saja, kalian harus menonton Filosofi Kopi The Movie!

http://www.filosofikopimovie.com/
SINOPSIS

Ben dan Jody, sepasang sahabat yang tumbuh besar bersama sedari kecil memutuskan untuk berduet membuka usaha kedai kopi bernama kedai Filosofi Kopi. Ben sebagai peracik kopi handal dan Jody sebagai penghitung keuangan merangkap penyedia kapital. Persahabatan mereka tak lantas membuahkan kekompakan. Perdebatan demi perdebatan datang setiap harinya, berkutat di persoalan obsesi meracik kopi sempurna, ada atau tidaknya layanan WiFi, serta persoalan keuangan yang semakin kritis menipis.

Di saat-saat genting, datang sebuah tawaran —lebih tepatnya tantangan— dari seorang pengusaha kaya untuk seorang Ben. Barista ini diminta untuk meracik kopi terenak senusantara bahkan sedunia yang akan disajikan pada investor incaran sang pengusaha kaya. Nominal taruhannya tentu tidak sedikit. Dalam waktu yang relatif singkat dan sangat terbatas, Ben terus giat melakukan sejumlah penelitian dan eksperimen secara berkepanjangan. Akhirnya, Ben berhasil menciptakan Ben’s Perfecto, sebuah racikan kopi yang diduga “sempurna”.

Di masa keemasan Ben’s Perfecto —saat itu Ben’s Perfecto belum diujikan pada pengusaha kaya plus investor terkait—, datang seorang wanita penikmat kopi bernama Elle yang tanpa sengaja membawa kabar keberadaan kopi Tiwus pada Ben dan Jody. Konon menurut kesaksian Elle, seorang Q-Grader yang bersertifikasi internasional, Ben’s Perfecto masih belum mampu mengalahkan kenikmatan kopi Tiwus yang ditemukan di sebuah sudut Pulau Jawa. Ben’s Perfecto belum mampu membuktikan dirinya sebagai yang paling ‘sempurna’.

Kehadiran kopi Tiwus ternyata tak sekadar berpengaruh pada mood Ben yang hampir menghilangkan obsesinya pada kopi, akan tetapi kopi Tiwus juga membawa perubahan dalam perjalanan hidup Ben, Jody, dan Elle.

KESANKU PADAMU, FILOSOFI KOPI THE MOVIE

Ada banyak hal yang disajikan dalam film Filosofi Kopi. Berbeda dengan cerita pendeknya yang secara singkat membawa makna “hidup tak ada yang sempurna”, Filosofi Kopi The Movie selain bercerita tentang kopi juga mampu menyeruakkan aroma kecintaan pada alam, kerenggangan hubungan ayah-anak, dan yang paling kental, persahabatan. Film ini sanggup membangunkan sisi kemanusiaan yang mungkin lama tertidur, sadar atau tidak sadar, dalam setiap individu. Film ini mampu “menghidupkan” apa yang terkesan kaku di dalam cerita pendek dalam buku. Entah tangan sutradara atau penulis skenario yang harus diacungi jempol, saya masih merasa terkagum-kagum akan cara pengemasan film ini yang betul-betul (lebih dari) menarik.

Kopi sebagai bagian dari alam, tentu dihasilkan dari tanaman yang ditakdirkan membuahkan biji kopi. Begitupun halnya dengan kopi Tiwus yang juga dilahirkan dari tanaman kopi di perkebunan kopi milik Pak Seno (Slamet Rahardjo). Ya, Pak Seno adalah orang yang dengan sangat tekun dan penuh kasih sayang, terus merawat tanaman kopinya hingga membuahkan biji-biji kopi yang penuh citarasa. Meskipun hanya disajikan dengan cangkir seadanya, serta hanya mampu dinikmati di dalam sebuah kedai kopi berdinding anyaman bambu, nyatanya kopi Tiwus mampu membuat Ben merasa kalah dalam tantangan yang diberikan sang pengusaha. Alih-alih meminta Pak Seno menjelaskan proses pembuatan kopi Tiwus dari masih biji hingga menjadi secangkir kopi enak secara ilmiah dan teoritis, Ben hanya berhasil mendapatkan wejangan kampung sederhana dari sang penanam kopi Tiwus. Kurang lebih wejangannya begini, ‘Merawat tanaman itu susah-susah gampang. Sama halnya dengan mengurus anak sendiri. Harus dirawat dengan penuh kasih sayang hingga menjadi baik tumbuhnya.’ Memang benar begitu seharusnya, bukan? Tanaman atau tumbuhan itu juga kan, makhluk hidup.

Perjalanan mencari kopi Tiwus membuat Jody dan Elle pada akhirnya menjumpai momen di mana mereka saling bertukar cerita tentang ayah yang sudah tiada namun meninggalkan sisa luka. Setelah pertemuannya dengan kopi Tiwus juga, Ben mampu berdamai dengan ayahnya setelah belasan tahun berlalu. Hubungan yang renggang antara ayah dan anak memang secara sempurna menyelimuti kehidupan tiga tokoh utama dalam film ini. Kehidupan Ben, Jody, dan juga Elle. Namun, cerita ayah-anak inilah yang membawa mereka terus berupaya berdamai dengan masa lalu dan salah satu caranya adalah dengan menjelajah bersama kopi.

Beralih dari hubungan ayah-anak, hubungan persahabatan Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto) dalam FIlosofi Kopi The Movie memang benar-benar bisa dijadikan teladan bagi mereka yang mengaku bersahabat. Kepiawaian kedua aktor memainkan peran dan berdialog lugas tanpa terkesan menghafal, berhasil membawa pesan persahabatan itu sendiri. Kesan spontan dan natural membuat saya makin-makin mengagumi seluruh rangkaian cerita yang melibatkan mereka berdua. Adegan demi adegan bertajuk persahabatan Ben dan Jody sanggup membuat saya merasakan betapa hubungan persahabatan yang erat tanpa kemunafikan, tanpa niat jahat dan niat menjatuhkan, nyatanya mampu membuat persahabatan itu sendiri awet selama belasan tahun (dan mungkin selama-lamanya). Mereka menyajikan hubungan persahabatan yang hampir tanpa filter saat berkomunikasi, yang hampir secara terang-terangan mengungkapkan apa yang dirasa —marah ya marah, kesal ya kesal, berontak ya berontak— tanpa berusaha menutup-nutupi dan memanipulasi rasa. Satu kata untuk persahabatan Ben dan Jody (yang dimainkan oleh dua aktor tampan nan memanjakan mata): SUPER!

Terakhir, sepintas dalam Filosofi Kopi The Movie saya juga dapat menangkap pesan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita bersama, menyelesaikan berbagai masalah bersama-sama, serta perjuangan untuk mengalahkan ego demi menyelamatkan nasib kedai yang dibangun bersama. Terkadang, hidup memang butuh perjuangan, bukan begitu?

YEAY! MARI MENYAKSIKAN FILOSOFI KOPI THE MOVIE!

Selain makna-makna sederhana yang saya (dan kalian akan) temukan dalam berbagai kepingan adegan, saya juga sangat ingin mengakui bahwa film ini betul-betul menyajikan sesuatu yang tak hanya memanjakan mata, tapi juga mengaduk rasa. Saya dibawanya ke dalam rasa haru, rasa lucu nan menggelitik, serta rasa yang ah bahkan saya pun tak tahu cara mengungkapkannya.

Tak lupa, saya turut mengapresiasi kerja keras seluruh tim di balik layar, terutama sutradara yang (dipastikan) bertangan dingin. Teknik pengambilan gambar yang ciamik —yang tak terlalu saya pahami namun saya kenal sedikit-sedikit—, suara-suara TAK GADUH alias lagu-lagu pengiring —yang sejauh telinga mendengar semuanya enak—, serta lanskap yang acap kali ditampilkan, semuanya keren!

TAPI, sekeren-kerennya sebuah film dibuat, pasti masih ada kekurangannya. Di film ini untungnya saya hanya menemukan satu hal yang cukup mengganggu (nggak tahu kalau penonton lain, ya). Satu hal di mana Joko Anwar, sang sutradara film Indonesia yang terkenal itu, muncul dalam salah satu adegan dan berperan sebagai penagih utang. Betul-betul tidak begitu pas aktingnya. Dialognya secara gamblang berkesan dihafal dan sedang berusaha diingat-ingat. Logatnya setengah Batak setengah Jakarta. Untungnya, Joko Anwar hanya muncul di satu adegan saja dan selanjutnya adegan-adegan di Filosofi Kopi kebanyakan didominasi oleh dialog Ben & Jody yang kerap kali mengundang tawa. Seru, lah!

Filosofi Kopi The Movie bagi saya telah mengajak semua penontonnya untuk:
menikmati Indonesia lewat kopi, menikmati hidup tanpa melulu menuntut sempurna, berdamai dengan masa lalu, dan yang terpenting, mengajarkan arti persahabatan sejati.

Selamat, ibu suri Dewi ‘Dee’ Lestari.

Selamat, Angga Dwimas Sasongko atas hasil karyanya di layar lebar.

*prok prok prok*

2 comments:

  1. sepakat kak ! :) saya jg sdh nonton dan kereeeennn *acung seluruh jempol*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha *toss* jempolnya ada 4, berarti semua diacungi ya? :)

      Delete

Thanks for leaving a comment :)