Kopi! Ah, saya suka mendengar kata itu. Saya juga
suka menyesapnya beberapa kali dengan hikmat secara nikmat. Tapi sayang, perut
saya seringkali bergejolak menolak ketika saya sudah mulai meminumnya terlalu
banyak. Ah, namun bukan itu yang ingin saya bahas di tulisan ini. Lebih dari
secangkir kopi atau sebungkus besar biji kopi, saya ingin membahas tentang
karya sastra hasil imajinasi cerdas Dewi Lestari yang diadaptasi ke layar lebar
berjudul Filosofi Kopi.
Bagi kalian yang sudah menyaksikan filmnya di
bioskop, saya bisa jamin akan sangat sedikit dari kalian yang tidak memujinya
bagus (meskipun saya masih yakin semuanya akan sepakat mengatakan jika filmnya
sangat bagus).
Bagi kalian yang belum menyaksikan filmnya di
bioskop, saya dengan senang hati memaksa kalian secara halus untuk segera
menuju bioskop terdekat dan terhemat untuk bisa menyaksikan film ini (kalau
film sudah tidak ada di peredaran, kalian bisa tunggu DVDnya rilis! —atau
download, hehe…—). Kalaupun kalian tidak berminat setelah membaca sinopsisnya,
kalian pasti akan tetap terhibur dengan wajah tampan Rio Dewanto feat Chicco Jerikho ATAU wajah cantik
khas Prancis Julie Estelle. Hmm.
Bagi kalian yang sudah membaca cerita Filosofi Kopi
di kumpulan cerpen berjudul sama, tetapi belum menyaksikan filmnya di bioskop,
saya dengan rendah hati mengingatkan kalian bahwa jalan cerita Ben dan Jody
akan cukup berbeda antara buku dan film. Percayalah.
Akan banyak penyesuaian-penyesuaian dan penambahan peran baru yang berbeda
dengan yang sempat kita temukan di dalam halaman-halaman pertama buku Dee
berjudul Filosofi Kopi. Namun, penyesuaian-penyesuaian itu sejatinya mampu
menjadi bumbu improvisasi yang menyenangkan sehingga tetap saja, kalian harus
menonton Filosofi Kopi The Movie!
http://www.filosofikopimovie.com/ |
SINOPSIS
Ben dan Jody, sepasang sahabat yang tumbuh besar
bersama sedari kecil memutuskan untuk berduet membuka usaha kedai kopi bernama
kedai Filosofi Kopi. Ben sebagai peracik kopi handal dan Jody sebagai
penghitung keuangan merangkap penyedia kapital. Persahabatan mereka tak lantas
membuahkan kekompakan. Perdebatan demi perdebatan datang setiap harinya,
berkutat di persoalan obsesi meracik kopi sempurna, ada atau tidaknya layanan
WiFi, serta persoalan keuangan yang semakin kritis menipis.
Di saat-saat genting, datang sebuah tawaran —lebih
tepatnya tantangan— dari seorang pengusaha kaya untuk seorang Ben. Barista ini
diminta untuk meracik kopi terenak senusantara bahkan sedunia yang akan
disajikan pada investor incaran sang pengusaha kaya. Nominal taruhannya tentu
tidak sedikit. Dalam waktu yang relatif singkat dan sangat terbatas, Ben terus
giat melakukan sejumlah penelitian dan eksperimen secara berkepanjangan.
Akhirnya, Ben berhasil menciptakan Ben’s Perfecto, sebuah racikan kopi yang
diduga “sempurna”.
Di masa keemasan Ben’s Perfecto —saat itu Ben’s
Perfecto belum diujikan pada pengusaha kaya plus investor terkait—, datang
seorang wanita penikmat kopi bernama Elle yang tanpa sengaja membawa kabar
keberadaan kopi Tiwus pada Ben dan Jody. Konon menurut kesaksian Elle, seorang
Q-Grader yang bersertifikasi internasional, Ben’s
Perfecto masih belum mampu mengalahkan kenikmatan kopi Tiwus yang ditemukan di
sebuah sudut Pulau Jawa. Ben’s Perfecto belum mampu membuktikan dirinya sebagai
yang paling ‘sempurna’.
Kehadiran kopi Tiwus ternyata tak sekadar
berpengaruh pada mood Ben yang hampir
menghilangkan obsesinya pada kopi, akan tetapi kopi Tiwus juga membawa
perubahan dalam perjalanan hidup Ben, Jody, dan Elle.
KESANKU
PADAMU, FILOSOFI KOPI THE MOVIE
Ada banyak hal yang disajikan dalam film Filosofi
Kopi. Berbeda dengan cerita pendeknya yang secara singkat membawa makna “hidup
tak ada yang sempurna”, Filosofi Kopi The Movie selain bercerita tentang kopi juga
mampu menyeruakkan aroma kecintaan pada alam, kerenggangan hubungan ayah-anak, dan
yang paling kental, persahabatan. Film ini sanggup membangunkan sisi
kemanusiaan yang mungkin lama tertidur, sadar atau tidak sadar, dalam setiap
individu. Film ini mampu “menghidupkan” apa yang terkesan kaku di dalam cerita
pendek dalam buku. Entah tangan sutradara atau penulis skenario yang harus
diacungi jempol, saya masih merasa terkagum-kagum akan cara pengemasan film ini
yang betul-betul (lebih dari) menarik.
Kopi sebagai bagian dari alam, tentu
dihasilkan dari tanaman yang ditakdirkan membuahkan biji kopi. Begitupun halnya
dengan kopi Tiwus yang juga dilahirkan dari tanaman kopi di perkebunan kopi
milik Pak Seno (Slamet Rahardjo). Ya, Pak Seno adalah orang yang dengan sangat
tekun dan penuh kasih sayang, terus merawat tanaman kopinya hingga membuahkan
biji-biji kopi yang penuh citarasa. Meskipun hanya disajikan dengan cangkir
seadanya, serta hanya mampu dinikmati di dalam sebuah kedai kopi berdinding
anyaman bambu, nyatanya kopi Tiwus mampu membuat Ben merasa kalah dalam
tantangan yang diberikan sang pengusaha. Alih-alih meminta Pak Seno menjelaskan
proses pembuatan kopi Tiwus dari masih biji hingga menjadi secangkir kopi enak
secara ilmiah dan teoritis, Ben hanya berhasil mendapatkan wejangan kampung
sederhana dari sang penanam kopi Tiwus. Kurang lebih wejangannya begini, ‘Merawat tanaman itu susah-susah gampang.
Sama halnya dengan mengurus anak sendiri. Harus dirawat dengan penuh kasih
sayang hingga menjadi baik tumbuhnya.’ Memang benar begitu seharusnya,
bukan? Tanaman atau tumbuhan itu juga kan,
makhluk hidup.
Perjalanan mencari kopi Tiwus membuat Jody dan Elle
pada akhirnya menjumpai momen di mana mereka saling bertukar cerita tentang
ayah yang sudah tiada namun meninggalkan sisa luka. Setelah pertemuannya dengan
kopi Tiwus juga, Ben mampu berdamai dengan ayahnya setelah belasan tahun
berlalu. Hubungan yang renggang antara ayah dan anak memang secara sempurna
menyelimuti kehidupan tiga tokoh utama dalam film ini. Kehidupan Ben, Jody, dan
juga Elle. Namun, cerita ayah-anak inilah yang membawa mereka terus berupaya
berdamai dengan masa lalu dan salah satu caranya adalah dengan menjelajah
bersama kopi.
Beralih dari hubungan ayah-anak, hubungan persahabatan
Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto) dalam FIlosofi Kopi The Movie
memang benar-benar bisa dijadikan teladan bagi mereka yang mengaku bersahabat.
Kepiawaian kedua aktor memainkan peran dan berdialog lugas tanpa terkesan
menghafal, berhasil membawa pesan persahabatan itu sendiri. Kesan spontan dan
natural membuat saya makin-makin mengagumi seluruh rangkaian cerita yang
melibatkan mereka berdua. Adegan demi adegan bertajuk persahabatan Ben dan Jody
sanggup membuat saya merasakan betapa hubungan persahabatan yang erat tanpa
kemunafikan, tanpa niat jahat dan niat menjatuhkan, nyatanya mampu membuat
persahabatan itu sendiri awet selama belasan tahun (dan mungkin
selama-lamanya). Mereka menyajikan hubungan persahabatan yang hampir tanpa filter saat berkomunikasi, yang hampir
secara terang-terangan mengungkapkan apa yang dirasa —marah ya marah, kesal ya
kesal, berontak ya berontak— tanpa berusaha menutup-nutupi dan memanipulasi
rasa. Satu kata untuk persahabatan Ben dan Jody (yang dimainkan oleh dua aktor tampan nan memanjakan mata): SUPER!
Terakhir, sepintas dalam Filosofi Kopi The Movie
saya juga dapat menangkap pesan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita bersama,
menyelesaikan berbagai masalah bersama-sama, serta perjuangan untuk mengalahkan
ego demi menyelamatkan nasib kedai yang dibangun bersama. Terkadang, hidup
memang butuh perjuangan, bukan begitu?
YEAY!
MARI MENYAKSIKAN FILOSOFI KOPI THE MOVIE!
Selain makna-makna sederhana yang saya (dan kalian
akan) temukan dalam berbagai kepingan adegan, saya juga sangat ingin mengakui
bahwa film ini betul-betul menyajikan sesuatu yang tak hanya memanjakan mata,
tapi juga mengaduk rasa. Saya dibawanya ke dalam rasa haru, rasa lucu nan
menggelitik, serta rasa yang ah bahkan saya pun tak tahu cara mengungkapkannya.
Tak lupa, saya turut mengapresiasi kerja keras
seluruh tim di balik layar, terutama sutradara yang (dipastikan) bertangan
dingin. Teknik pengambilan gambar yang ciamik —yang tak terlalu saya pahami
namun saya kenal sedikit-sedikit—, suara-suara TAK GADUH alias lagu-lagu
pengiring —yang sejauh telinga mendengar semuanya enak—, serta lanskap yang
acap kali ditampilkan, semuanya keren!
TAPI, sekeren-kerennya sebuah film dibuat, pasti
masih ada kekurangannya. Di film ini untungnya saya hanya menemukan satu hal
yang cukup mengganggu (nggak tahu kalau penonton lain, ya). Satu hal di mana
Joko Anwar, sang sutradara film Indonesia yang terkenal itu, muncul dalam salah
satu adegan dan berperan sebagai penagih utang. Betul-betul tidak begitu pas
aktingnya. Dialognya secara gamblang berkesan dihafal dan sedang berusaha diingat-ingat.
Logatnya setengah Batak setengah Jakarta. Untungnya, Joko Anwar hanya muncul di
satu adegan saja dan selanjutnya adegan-adegan di Filosofi Kopi kebanyakan
didominasi oleh dialog Ben & Jody yang kerap kali mengundang tawa. Seru,
lah!
Filosofi Kopi The Movie bagi saya telah mengajak
semua penontonnya untuk:
menikmati Indonesia lewat kopi, menikmati hidup
tanpa melulu menuntut sempurna, berdamai dengan masa lalu, dan yang terpenting,
mengajarkan arti persahabatan sejati.
Selamat, ibu suri Dewi ‘Dee’ Lestari.
Selamat, Angga Dwimas Sasongko atas hasil karyanya
di layar lebar.
*prok prok prok*
sepakat kak ! :) saya jg sdh nonton dan kereeeennn *acung seluruh jempol*
ReplyDeleteHahaha *toss* jempolnya ada 4, berarti semua diacungi ya? :)
Delete