Friday, March 27, 2015

SUBVERSIF! dari Institut Ungu: Mayoritas Selalu Benar = Tirani Kebenaran!

Tepat 13 hari setelah saya menyaksikan pementasan ‘SUBVERSIF!’, akhirnya tulisan ini rilis juga. Tulisan mengenai apa yang saya saksikan, serta apa yang saya rasakan dan pahami. Saya juga tak ketinggalan menerka-nerka kiranya apa yang ingin Institut Ungu selaku pencipta karya sampaikan kepada penyimaknya.

Sekilas Mengenai ‘SUBVERSIF!’


SUBVERSIF!
Teater yang dimainkan oleh beberapa pemain berikut ini:

Teuku Rifnu Wikana sebagai Dokter Torangga
Ayez Kassar sebagai Walikota Jokarna
Sita Nursanti sebagai Karina, istri Dokter Torangga
Dinda Kanyadewi sebagai Sarita, anak Dokter Torangga
Kartika Jahja sebagai Billy
Andi Bersama sebagai Martin Subrata
Madin Tyasawan sebagai Hary Tamboga
Hendra Yan sebagai Hoemario
Wawan Sofwan sebagai Danuro

merupakan karya pertunjukan teater produksi Institut Ungu yang ke-9, diproduseri dan ditulis naskahnya oleh Faiza Mardzoeki, serta disutradarai oleh Wawan Sofwan. Dikutip dari bagian kata pengantar pada buku acara, di situ dijelaskan bahwa ‘Subversif!’ merupakan naskah terjemahan dan adaptasi dari drama klasik berjudul ‘Enemy Of The People’ karya Henrik Ibsen, dramawan asal Norwegia pada abad 19. Henrik Ibsen merupakan dramawan yang dikenal sebagai the father of realism dan salah satu peletak dasar teater modern di dunia. Karya-karyanya dikenal sangat universal dan melampaui jamannya. Enemy Of The People merupakan salah satu masterpiece Henrik Ibsen yang sudah banyak dipentaskan dan terus dipentaskan hingga sekarang. Oleh Faiza, naskah tersebut diterjemahkan dan diadaptasi bebas ke dalam konteks Indonesia kontemporer dengan judul yang telah disebutkan sebelumnya, ‘SUBVERSIF!’.

SINOPSIS ‘SUBVERSIF!’

Pertunjukan teater ini bercerita tentang kota bernama kota Kencana yang menjadi 'hidup' berkat adanya kehadiran sebuah pabrik milik perusahaan tambang bernama PT Tambang Harapan Gemilang. Seluruh lapisan warga masyarakat di Kota Kencana, mulai dari rakyat kecil hingga pejabat tertinggi sepangkat walikota, semuanya menggantungkan nasib pada PT Tambang Harapan Gemilang. Perusahaan ini seakan tidak tersentuh oleh gangguan apapun sebab semua warga kota Kencana telah meletakkan harapan dan kepercayaan penuh pada kemunculan pabrik tambang itu sampai suatu ketika, sosok Dokter Torangga muncul menghadirkan suatu masalah.

Masalah yang dibuat-buat? Tentu bukan. Melalui penelitian yang dilakukan secara diam-diam terhadap penyakit dengan gejala serupa yang menimpa beberapa pekerja pabrik, serta penelitian terhadap sample air yang hampir digunakan oleh seluruh penduduk kota, Dokter Torangga menemukan kenyataan bahwa kota Kencana sedang terancam bahaya serius. Bahaya itu terdapat pada aliran air kota Kencana dan semua itu diduga muncul karena pencemaran limbah dari PT Harapan Tambang Gemilang. Singkat kata, Dokter Torangga menyimpulkan bahwa seluruh warga kota Kencana berpotensi terkena gangguan kesehatan akibat air yang tercemar itu.

Alih-alih mendukung Dokter Torangga untuk menuntut perbaikan sistem pengairan dan pembuangan limbah, sang Walikota bernama Jokarna —yang juga merupakan kakak dari Dokter Torangga—, pihak media (Hary Tamboga, Hoemario, dan Billy) —yang awalnya berhubungan dekat, serta menyuarakan dukungan terhadap Dokter Torangga—, sampai rakyat sekalipun, pada akhirnya berbalik menyerang Dokter Torangga hingga menjadikannya musuh rakyat.
Dokter Torangga di ruang kerja Billy dan Hoemario
Dokter Torangga 'masih' mendapatkan dukungan
Ketika Dokter Torangga hampir kehilangan dukungan
Beruntung, anak dan istri dari Dokter Torangga tetap mendukung perjuangan Dokter Torangga untuk menghadapi politik kekuasaan yang berhasil memanipulasi kesadaran masyarakat luas. Dokter Torangga yakin bahwa pada akhirnya kebenaran suci lah yang akan menang.

‘SUBVERSIF!’ Dari Kacamata Saya

SUBVERSIF! Apa itu ‘subversif’? Sungguh, saya tidak pernah mendengar kata itu sebelumnya apalagi mengerti dan memahami artinya. Setelah kemudian saya mencari maknanya di dalam kamus bahasa Indonesia, baru saya bisa memberi kata itu sebuah definisi. Definisi dari ‘subversif’ kemudian saya pahami sebagai sebuah upaya pemberontakan yang dilakukan untuk merobohkan suatu struktur kekuasaan. Memang, kesan yang saya tangkap lebih condong ke arah negatif. Dan kesan negatif dari kata ‘subversif’ ini dalam ‘SUBVERSIF!’ dilekatkan pada diri Dokter Torangga semenjak ia mengajukan pemberontakan dan menuntut perombakan sistem pengairan dan sistem pembuangan limbah di kota kelahirannya, kota Kencana. Namun apakah benar, Dokter Torangga melakukan tindakan ‘subversif’?

Pertunjukan berdurasi sekitar 120 menit ini rupanya membawa saya melihat sebuah ‘realita’ yang bahkan sudah diramalkan oleh penulis naskah aslinya, Henrik Ibsen, sejak satu abad silam. Realita yang kerap ditemui meskipun sudah satu abad berlalu sejak karya ini dicipta. Realita yang secara sadar atau tidak, juga terjadi di negara kita, Indonesia. Setidaknya, begitu yang saya kira.

SUBVERSIF! mempertontokan sebuah peperangan antara yang benar dan yang berpura-pura benar. Pihak yang pura-pura benar ini seakan tidak memiliki ketakutan apapun atas kepura-puraan yang ia lakoni. Mengapa? Jelas, karena ia sudah mengantongi hak milik sebuah senjata yang sangat ampuh dan ‘mematikan’ bernama KEKUASAAN. Malangnya, pihak yang justru benar-benar BENAR tidak memiliki senjata berharga itu. Sehingga mau tidak mau serta suka tidak suka, pihak yang benar ini harus bersedia untuk terus bergerak maju, menerima kenyataan agar tetap berpijak di atas kedua kakinya sendiri sambil berteriak lantang membela kebenaran dan terus berusaha mengungkap fakta yang ada, dengan kepala mendongak ke atas tanpa takut goyah. Senjata mereka adalah keyakinan akan kebenaran. Lantas, siapakah mereka yang ada di pihak ini? Mereka, segelintir orang yang sering dijuluki sang idealis.

Sosok idealis dalam SUBVERSIF! hanya diwakili oleh seorang Dokter Torangga. Ah ya, dan sesosok wanita muda bernama Sarita patut juga dijuluki idealis sebab ia dengan keras dan tegas mempertahankan dukungannya terhadap Dokter Torangga yang tak lain adalah ayahnya. Sarita yakin, bahwa ayahnya tidak bersalah, bahwa ayahnya amat cinta pada kota Kencana, dan bahwa ayahnya hanya ingin menyuarakan kebenaran. Lain halnya dengan Karina istri Dokter Torangga, wanita ini (tadinya) lebih memilih aman dan justru berpikiran mengajak Dokter Torangga untuk mengikuti perkataan walikota Jokarna (untuk tidak mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya kepada masyarakat soal sistem pengairan dan limbah yang bermasalah).

Alasan Karina sesungguhnya sangat wajar, ia hanya tak ingin keluarganya terkena imbas buruk. Walikota Jokarna telah mengeluarkan ancaman bahwa Dokter Torangga akan kehilangan pekerjaan apabila memutuskan tetap melawan. Di sini, pribadi Karina tampil sebagai ibu sekaligus istri yang ingin mengabdi pada kewajibannya menjaga keluarga dari jerat permasalahan cukup serius. Tapi, kadang kala yang luput dari perhatian adalah, apakah tidak akan bahaya juga jika mereka hidup aman namun dalam keadaan terancam? Ya, terancam oleh situasi dan kondisi air yang sangat tidak bersahabat dengan kesehatan, nyatanya? Tidakkah hampir sama bahayanya hidup dalam ancaman kesehatan dan ancaman kekuasaan?

Sampai di sini, ada tiga hal yang ingin saya coba bahas. Pertama, persoalan mengenai sosok idealis; kedua, persoalan mengenai kecenderungan manusia mencari rasa aman yang lebih kelihatan; dan ketiga, persoalan kekuasaan.

Idealis. Jujur, saya dulu sering tertawa sinis menanggapi orang-orang idealis. Betapa mereka dengan yakinnya, pedenya, beraninya, serta dengan segala ketidaktakutannya, mampu untuk menyatakan pendapat, ide, dan hal-hal yang mereka yakini benar. Seorang idealis di mata saya adalah seorang yang tak mampu digoyah apapun. Keras kepala? Mungkin. Mudahnya, seorang idealis seringkali tidak kompromis. Mereka sudah merasa cukup bermodalkan keyakinan bahwa apa yang diyakininya benar. Saya menduga, seorang idealis tidak akan pernah takut berjalan sendirian. Jadi, kalau seseorang masih takut berjalan sendirian di jalur pikirannya sendiri yang dia yakini benar, saya rasa itu bukan sikap seorang idealis.

Menyaksikan SUBVERSIF! membuat saya sedikit berefleksi tentang sikap saya selama ini terhadap sosok idealis. Tanpa ragu sedikitpun, saya menyatakan bahwa saya bukan sosok idealis. Ah, bahkan seringkali kompromis. Namun begitu, Dokter Torangga seakan ‘menyentil’ saya bahwa sosok idealis tidak selamanya membuat sinis. Sikap idealis toh nyatanya dibutuhkan untuk perubahan. Terlebih jika memang ‘sesuatu’ yang diyakini itu berlandaskan pada kebenaran dan fakta. Untuk apa sih takut jika memang benar? Untuk apa sih takut berjalan sendirian dan ditinggalkan jika yang diperjuangkan adalah kebenaran? Eits, di sini saya kira letak masalahnya. Manusia tidak dapat hidup sendirian, begitu katanya. Sehingga, terkadang sikap idealis seseorang goyah karena ketakutan-ketakutan akan ancaman-ancaman yang muncul sebagai dampak sebuah pernyataan sikap. Di situlah seorang manusia yang mengaku idealis diuji oleh keadaan. Sanggupkah ia bertahan pada ‘sesuatu’ yang ia yakini benar meskipun pada akhirnya ia harus sendirian? Atau justru ia terseret ke dalam bentuk-bentuk kompromi yang menghadirkan rasa aman?

Dokter Torangga memilih opsi yang pertama. Ia tetap bertahan pada apa yang ia yakini benar, meskipun seluruh warga kota Kencana, mulai dari lapisan ‘rakyat’ hingga pemimpin yang juga kakaknya sendiri, memusuhinya. Dokter Torangga dengan gagah menerima gelar ‘Musuh Rakyat’ yang disematkan padanya. Karena ia tahu, dan ia yakin, sesuatu yang ia pegang teguh itu adalah kebenaran. Dan kebenaran akan selalu menang. Begitu ‘ide’nya. Di sini, sebuah sisi manis ikut muncul. Sarita —yang memang juga tidak takut akan hal apapun, bahkan tidak mengenal kata kompromi— dan Karina, sebagai dua orang yang berelasi keluarga dengan Dokter Torangga, tetap menyuarakan lantang dukungannya. Meskipun kondisi kehidupan mereka sudah sangat memprihatinkan —kaca rumah ditimpuki batu, pun mereka diusir, Dokter Torangga sudah dipecat—, mereka tetap bersama-sama dan tak terpisah sedikit pun sebagai satu kesatuan utuh bernama ‘keluarga’. That’s what your family is for, right?


Rumah mereka, hancur
Saya kira, keberadaan sosok idealis masih cukup jarang pada masa sekarang. Sebagian besar orang lebih cenderung mencari rasa aman dan berlindung di bawah ketiak yang berkuasa. Adapun mereka yang berjuang hingga titik darah penghabisan, kalah oleh mereka yang duduk di tahta kekuasaan. Apa benar begini? Atau mungkin hanya dugaan saya semata saja? Sebagai bukti, Indonesia masih membutuhkan dan menggadang-gadangkan revolusi mental. Tandanya, mental masing-masing individu sudah memasuki tahap kritis dan harus segera diperbaiki. Mungkin termasuk mental saya juga di dalamnya.

Sebagai seorang manusia, saya kira sangatlah wajar jika masing-masing individu mencari perasaan aman. Bahkan, dengan cara apapun, termasuk di dalamnya dengan berkompromi. Namun saya rasa tidak semua kompromi itu baik adanya. Salah-salah berkompromi, bisa-bisa seseorang dapat terjebak di dalam keputusan yang ia ambil sendiri. Jika Karina bersikukuh memaksa Dokter Torangga untuk menyerah, mungkin mereka akan hidup dalam rasa aman. Aman karena Dokter Torangga tak akan dipecat dan tak akan kehilangan pekerjaan. Hasil kompromi, kan? Tapi jikalau demikian, mereka akan menjadi buta atau pura-pura buta terhadap keadaan air yang tercemar dan sewaktu-waktu dapat menimbulkan dampak yang luas bagi seluruh penghuni kota Kencana. See?

Coba, saya tunjukan satu contoh lagi di dalam SUBVERSIF!.

Di akhir cerita, saat Dokter Torangga sudah berada dalam kondisi amat terpuruk, datanglah seorang tua bernama Martin Subrata yang juga merupakan ayah dari Karina, istri Dokter Torangga. Dengan menggunakan harta warisan yang tadinya akan diserahkan kepada anaknya, Karina dan cucunya, Sarita, Martin Subrata memilih untuk memborong seluruh saham PT Tambang Harapan Gemilang. Tujuannya, ia ingin meminta Dokter Torangga memanfaatkan borongan saham tersebut sebagai modal untuk memulai hidup yang baru.

Di sini Dokter Torangga ditawarkan kembali ‘rasa aman’ itu. Apakah Dokter Torangga menerimanya? Sekalipun telah diancam oleh Martin bahwa jika saham itu ditolak, Karina dan Sarita tidak akan mendapatkan harta warisan, Dokter Torangga tetap tak bergeming. Surat saham PT Tambang Harapan Gemilang itu berakhir dalam bentuk robekan-robekan kecil.

Karina dan juga Martin Subrata dalam kedua contoh tadi hanya mencoba menawarkan ‘rasa aman’ yang menurut hemat saya, memang dibutuhkan oleh manusia. Namun kadang kala, rasa aman yang ‘kelihatan’ itu bisa saja berpotensi menjebak. Pada bagian ini, saya mendapatkan satu hal. Sebuah langkah kompromistis tidak selamanya memberikan rasa aman yang nyata. Terkadang, dampaknya hanya bersifat semu dan lebih dari pada itu, ada hal lain yang bisa saja jauh lebih mengancam. Adalah tugas seorang individu untuk dapat melihat dan mencari dengan sangat cermat dan jeli, celah untuk menemukan rasa aman menggunakan seminim mungkin pendekatan kompromistis. Berjuang untuk menggemakan yang dirasa diri benar, mungkin?

Hal yang terakhir dan sekaligus menjadi inti berbagai permasalahan yang ada, adalah KEKUASAAN. SUBVERSIF! dengan sangat jelas menunjukkan bahwa mereka yang berkuasa akan dengan sangat mudah mengontrol keadaan. Pihak-pihak yang berkuasa di sini, yakni walikota Jokarna, pemilik media Hary Tamboga, dan jajaran direksi PT Tambang Harapan Gemilang —yang tak pernah dimunculkan— seakan berkongkalikong untuk membentuk opini publik yang menyatakan bahwa kesalahan seutuhnya terletak pada diri Dokter Torangga, bahwa apa yang diteliti Dokter Torangga itu tidak benar, dan bahwa Dokter Torangga sedang berusaha menghancurkan kota Kencana. Saat-saat inilah yang dikatakan sebagai manipulasi kesadaran publik oleh mereka yang berkuasa. 

Ada satu adegan yang lucu terkait dengan kekuasaan. Dalam satu rapat umum terbuka yang diadakan oleh Dokter Torangga untuk mengungkapkan kebenaran terkait kondisi air di kota Kencana, yang memimpin rapat sama sekali bukan dari pihak Dokter Torangga, melainkan dari pihak yang beroposisi, yakni Hary Tamboga. Hal ini dapat terjadi karena dengan kekuasaan dan pangkatnya sebagai ‘WALIKOTA’, Jokarna berhasil mempengaruhi massa yang hadir untuk bersepakat memilih pemimpin rapat dan itu adalah Hary Tamboga.


Setelah bersusah payah merebut kesempatan bicara
Dengan disetujuinya seorang Hary Tamboga menjadi pemimpin rapat, maka peluang bicara Dokter Torangga di acara yang dia helat sendiri pun makin minim. Lucu sekali bukan? Tidak memiliki kebebasan di acara yang diadakan oleh diri sendiri? Begitulah hebatnya ‘KEKUASAAN’. Mampu ‘mempermainkan’ mereka yang tidak banyak tahu, tidak banyak memegang peranan, dan tidak banyak berkuasa.

KEKUASAAN tidak selamanya negatif, memang. Jika KEKUASAAN digunakan sebagai alat yang semestinya, sepatutnya, dan seharusnya, maka ia akan menjadi senjata yang mensejahterakan. Namun jika disalahgunakan? Maka sudah pasti yang bergulat di sana adalah orang-orang opportunis yang menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk mencapai kepentingan pribadi. Contoh lagi?

Masih ingat contoh saya di atas mengenai Martin Subrata yang ‘menghadiahi’ Dokter Torangga setumpuk surat saham? Ketika mengetahui hal ini, Hary Tamboga dan dua kroninya, Billy dan Hoemario dengan serta merta langsung mendatangi rumah Dokter Torangga seakan tidak punya malu, dan mereka langsung mencari muka, menjilat, dan mengambil hati. Saya seketika merasa geli dan jijik sendiri melihat adegan ini saat itu. Ada ya, orang yang tidak punya rasa malu begitu?

SINGKAT KATA

SUBVERSIF! memang bukan pertunjukan teater musikal yang dipenuhi musik dan lagu-lagu menarik sepanjang pertunjukan. Bukan pula pertunjukan yang menawarkan kemegahan, kemeriahan, atau dekorasi-dekorasi yang rumit.

Hanya ada tiga hal yang membuat saya ‘mengingat’ pertunjukan ini yakni pertama, tata panggungnya dibuat sedemikian unik dengan eksperimen penggunaan dinding-dinding yang berputar pada suatu poros yang sama untuk menciptakan ruang-ruang panggung. Belakangan diketahui bahwa bentuk panggung ini adalah upaya untuk memvisualisasikan sistem ekspolorasi tambang yang ‘berputar pada satu poros’ ketika melakukan pengeboran. Di SUBVERSIF!, ruang yang dibutuhkan setiap adegan akan tercipta jika dinding set panggung SUBVERSIF! digerakkan memutar. Kemudian yang kedua, saya terkesima dengan akting para pemerannya, terutama dan sangat utama, jelas kepada Teuku Rifnu Wikana selaku Dokter Torangga. Ketiga dan yang paling mengesankan, SUBVERSIF! membuat saya mampu berefleksi, terutama berpikir dalam persoalan individu dengan pergulatannya bersama idealisme, rasa aman, dan kekuasaan, serta berefleksi juga tentang keadaan negara yang senyata-nyatanya di bumi Indonesia.

(Benar-benar) singkat kata, SUBVERSIF! seakan menampilkan betapa opini publik dan pemberitaan sosial dapat dimonopoli oleh para pemengang kuasa. Dan ini mungkin saja benar terjadi pula di Indonesia, di mana banyak media secara terang-terangan memihak pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan. Kelihatannya, mereka masih cukup netral atau malah berusaha netral, namun siapa yang pernah tahu? Untuk itu, massa bermahkotakan nama ‘RAKYAT’ harus benar-benar mau menjadi cerdas sebelum menilai suatu hal. Salah-salah menilai, mereka di atas sana bisa-bisa mentertawakan kebodohan kita rakyat-rakyat kecil tak punya pangkat ini, karena telah terjebak ke dalam permainan mereka menciptakan pembodohan massal. So, let's be smart!


SELAMAT!
“Mayoritas selalu benar adalah tirani kebenaran! Mayoritas selalu benar adalah kebohongan sosial! Setiap manusia merdeka dan berakal sehat harus memberontak terhadapnya”
“Aku manusia merdeka dan terhormat. Sekalipun bumi runtuh, aku tak akan tunduk.” - Dokter Torangga
“Untuk mendapatkan kemenangan dan kebebasan, selalu dibutuhkan pengorbanan.” – Dokter Torangga

No comments:

Post a Comment

Thanks for leaving a comment :)