2013. Iya, sekarang sudah tahun 2013. Lalu ada apa?
Tentu saja, banyak jawaban yang dapat dilontarkan untuk menanggapi
pertanyaan tersebut. Sudah tahun 2013, perubahan apakah yang dialami oleh
bangsa kita? Tentu saja, banyak. Namun, perubahan ke arah lebih baik atau ke
arah lebih burukkah? Itu yang semestinya direfleksikan dalam benak setiap
individu yang mengaku tergolong ke dalam generasi muda bangsa.
Sekiranya tidak perlu dahulu jauh-jauh menatap ke hal politik ataupun
korupsi yang merajalela, tapi coba curahkan lebih dulu sedikit perhatian pada
lingkungan di sekitar. Pada alam Indonesia dan segala makhluk penghuninya. Pada
kekayaan Indonesia yang apakah masih benar kaya? Pada kehijauan nusantara yang
apakah masih benar hijau?
Bertahun-tahun lalu, ketika muda-mudi sekarang masih duduk manis di
bangku Sekolah Dasar ataupun Sekolah Menengah Pertama, mungkin mereka menaruh
kekaguman begitu besar pada tanah air ini. Pada sumber daya alam yang oleh para
guru dan buku geografi dikatakan berlimpah ruah. Pada kesejukkan yang (katanya)
ditawarkan oleh rimbunnya pepohonan di daratan Indonesia. Pada ratusan ribu
fauna yang meramaikan kehidupan manusia di Indonesia. Ketika saat ini,
muda-mudi cilik itu telah menjejakkan kaki pada apa yang dinamakan kedewasaan,
apakah mereka masih mengagumi hal yang sama? Kekaguman pada sumber daya alam
yang ternyata tidak lagi berlimpah ruah. Pada rimbunnya pohon yang semakin hari
semakin berkurang. Pada ratusan ribu fauna yang perlahan-lahan habis masa
hidupnya. Kekaguman itu apakah masih ada? Nampaknya berlebihan, tapi itulah
kenyataan.
Sumber daya alam di Indonesia bukanlah hal yang tidak istimewa. Kita
punya banyak. Sangat banyak. Tapi sekarang perlahan-lahan, sumber daya alam
kita terkuras karena tak dapat dengan baik dikelola. Semua dihabiskan sambil
berebut kepentingan. Keuntungan yang dimiliki Indonesia pada akhirnya hanya menjadi
kebuntungan yang mencengangkan.
Bicara mengenai rasa syukur, rasanya tidak mungkin jika penduduk bangsa
yang benar-benar cinta akan Indonesia tidak pernah bersyukur. Bagaimana tidak,
dari segi astronomi, Indonesia terletak pada daerah tropis yang memiliki curah
hujan yang tinggi sehingga banyak tumbuhan dapat hidup dan tumbuh dengan cepat.
Dari segi geologi, Indonesia terletak pada titik pergerakan lempeng tektonik,
sehingga banyak terdapat pegunungan yang mengandung banyak mineral. Terlebih
lagi, Indonesia memiliki daerah perairan yang luas serta kaya akan sumber
makanan bagi berbagai jenis tanaman dan hewan laut. Boleh dikatakan, Indonesia
adalah negara yang serba berkecukupan. Keindahan yang ada sangat memanjakan.
Tapi, harus diakui bahwa sorot-sorot mata yang memandangnya kagum, sekarang
telah berganti menjadi sorot-sorot mata yang rakus. Semua kekayaan Indonesia diambil,
dirampas, hanya karena sebuah kepentingan. Pohon-pohon ditebang untuk kemudian
dikonversi menjadi uang. Pengelolaan hanya berdasarkan kepentingan dan melulu
kepentingan. Lantas masih adakah orang yang memikirkan nasib generasi di masa
depan?
Berkurangnya luas hutan tentu mengambil peran penting dalam fenomena menurunnya
populasi satwa Indonesia,
karena hutan menjadi habitat utama bagi mereka,
terutama satwa liar.
Percaya atau tidak, 84% dari daratan Indonesia (sekitar 162 juta ha) pada tahun
1950-an masih berupa hutan, namun kini pemerintah menyebutkan bahwa luasan
hutan Indonesia sekitar 138 juta hektar. Berbagai pihak menyebutkan data yang
berbeda bahwa luasan hutan Indonesia kini tidak lebih dari 120 juta hektar. Selama kurang lebih 50 tahun, pembalakan liar, pembukaan lahan untuk
industri sawit, kertas dan bubur kertas bukanlah hal yang langka di telinga dan
tangan manusia. Betapa banyak lahan yang dikorbankan. Betapa banyak akibat yang
ditimbulkan.
Dari sekedar lahan yang berkurang, sepetak demi sepetak, hilanglah juga
populasi hewan sejenis demi sejenis. Habitat mereka dirampas oleh (lagi-lagi)
manusia. Ketiadaan tempat berlindung tentu saja menjadi sesuatu yang mengancam
kelangsungan hidup mereka. Dan ujung-ujungnya, mereka harus berebut tempat
hidup dengan manusia. Ketika manusia merasa dipaksa untuk berbagi hidup dengan
satwa yang tidak lagi memiliki tempat berlindung, merekapun menolaknya dengan
cara memusnahkan satwa tersebut. Hal ini nyata terjadi. Pemusnahan massal pada
orangutan yang justru merupakan mamalia paling mirip dengan manusia pada
beberapa waktu lalu. Dalam kurun waktu bulan april 2008 hingga september 2009,
dilansir ada 750 orangutan yang telah tewas akibat dibunuh. Banyak alasan yang
melatarbelakangi kejadian tersebut. Orangutan dianggap sebagai salah satu hama
tanaman sawah, padahal mereka hanyalah makhluk yang ingin mempertahankan
kehidupan selayaknya manusia, tapi (lagi-lagi) manusia yang membuat mereka
sulit menjalani kehidupan.
Dari kualitas hutan Indonesia yang terus-menerus menurun, tak ada lagi
resapan air hujan yang memadai. Iya, setelahnya Indonesia dilanda pula oleh
krisis air bersih. Dari hutan Indonesia yang terus-menerus disulap menjadi
tulang punggung industri, tak ada lagi pepohonan hijau yang menghisap gas-gas
karbon dioksida, sehingga munculah apa itu pemanasan global. Lahan hijau telah
berubah wujud menjadi gedung-gedung pencakar langit yang megah. Herannya, manusia
justru mengeluh tentang suhu udara yang terus-terusan memanas. Lantas, apakah
manusia mencari tahu juga salah siapakah semua ini?
Hal yang juga tak kalah miris, ketika terciptalah juga apa yang
dinamakan polusi, serta pencemaran yang membuat ngeri. Tingkat polusi dan
pencemaran udara yang diukur dari partikel dalam udara, bisa kita sebut dengan
PM10. Batas maksimal PM10 yang disarankan WHO adalah kurang dari 20
mikrogram/m3. Data WHO kemudian menunjukkan bahwa kota-kota besar di Indonesia,
seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan telah terjangkit penyakit polusi
yang parah. Kadar PM10 Medan adalah yang terbesar yakni 111 mikrogram/m3,
Surabaya sebesar 69 mikrogram/m3, Bandung dan Jakarta sebesar 43 mikrogram/m3.
Belum lagi, tak dapat dipungkiri pula adanya kejahilan-kejahilan tangan
manusia yang tak jarang menjadikan setiap sudut Indonesia sebagai tempat
pembuangan. Menurut data dari Bank Dunia, Indonesia mampu memproduksi sampah
padat secara nasional sebanyak 151.921 ton per hari. Dari data tersebut pula,
dikatakan bahwa hanya 80% sampah yang berhasil dikumpulkan. Sisanya? Berserak
mencemari lingkungan.
Satu mata rantai rusak, maka jangan harap rantai keseluruhan akan
berjalan baik-baik saja. Jika hutan dirusak, pepohonan dan hewan-hewan
dimusnahkan, maka siapa yang dirugikan? Tidak mungkin bukan manusia. Namun,
jika ditanya kembali siapa yang merugikan? Apakah ada yang berani menjawab
bukan manusia?
Tulisan ini tidak dibuat untuk mendakwa ataupun menghakimi, melainkan
ingin menyadarkan semua mata, hati, dan telinga yang dirasa mampu merasakan.
Lingkungan hidup bukanlah isu yang mampu dianggap remeh, melainkan isu pokok
kelangsungan hidup semua makhluk hidup yang tinggal dan hidup berdampingan,
termasuk makhluk yang dinamakan manusia.
Indonesia masih kaya jika semangat kebangsaan semua individunya masih
berjaya. Indonesia masih punya kesempatan. Sebagai generasi muda bangsa,
mungkin kita semua masih mampu untuk lebih peka akan hal-hal memilukan yang
terjadi pada lingkungan hidup di sekitar. Pengelolaan alam tanpa peduli nasib
Indonesia di masa depan hendaknya tak usah dilanjutkan. Yang kita butuhkan
hanyalah kesadaran sebagai manusia. Sebagai makhluk yang diberi keistimewaan
menjaga alam. Kesempatan mengubah kondisi ada di genggaman kesepuluh jari kita.
Tak perlu kita tampilkan melalui perkataan melainkan kita lakukan dengan
perbuatan. Dari hal sederhana yang nantinya akan menjadi bermakna. Mulai dari
kepedulian, gerakan, serta tindakan, mari kita benahi lingkungan. Dengan
semangat kebangsaan, rasanya tak sulit kita ciptakan Indonesia yang nantinya
indah jika diwariskan bagi generasi masa depan. Seperti apa yang dilantunkan
Naif, Dia... Adalah pusaka sejuta umat manusia
yang ada di seluruh dunia, untuk itu, mari kita jaga pusaka kita bersama.
REFERENSI
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_alam#Sumber_daya_alam_di_Indonesia (diakses pada tanggal 16 Mei 2013)
http://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.UZemtkpLd24
(diakses pada tanggal 17 Mei 2013)
http://travel.okezone.com/read/2011/11/14/407/529191/redirect (diakses pada tanggal 18 Mei 2013)
http://matoa.org/polusi-di-indonesia-dan-efeknya/ (diakses pada tanggal 19 Mei 2013)
http://www.hijauku.com/2012/06/07/sampah-padat-di-kota-kota-dunia-naik-70/ (diakses pada tanggal 19 Mei 2013)
Tulisan ini dilombakan dalam acara BANGSAL PMKAJ US tanggal 24 Mei 2013 lalu.
No comments:
Post a Comment
Thanks for leaving a comment :)