Sunday, May 26, 2013

GENERASI MUDA BANGSA: GENERASI KUNCI PELESTARI ALAM.



2013. Iya, sekarang sudah tahun 2013. Lalu ada apa? 

Tentu saja, banyak jawaban yang dapat dilontarkan untuk menanggapi pertanyaan tersebut. Sudah tahun 2013, perubahan apakah yang dialami oleh bangsa kita? Tentu saja, banyak. Namun, perubahan ke arah lebih baik atau ke arah lebih burukkah? Itu yang semestinya direfleksikan dalam benak setiap individu yang mengaku tergolong ke dalam generasi muda bangsa.

Sekiranya tidak perlu dahulu jauh-jauh menatap ke hal politik ataupun korupsi yang merajalela, tapi coba curahkan lebih dulu sedikit perhatian pada lingkungan di sekitar. Pada alam Indonesia dan segala makhluk penghuninya. Pada kekayaan Indonesia yang apakah masih benar kaya? Pada kehijauan nusantara yang apakah masih benar hijau?

Bertahun-tahun lalu, ketika muda-mudi sekarang masih duduk manis di bangku Sekolah Dasar ataupun Sekolah Menengah Pertama, mungkin mereka menaruh kekaguman begitu besar pada tanah air ini. Pada sumber daya alam yang oleh para guru dan buku geografi dikatakan berlimpah ruah. Pada kesejukkan yang (katanya) ditawarkan oleh rimbunnya pepohonan di daratan Indonesia. Pada ratusan ribu fauna yang meramaikan kehidupan manusia di Indonesia. Ketika saat ini, muda-mudi cilik itu telah menjejakkan kaki pada apa yang dinamakan kedewasaan, apakah mereka masih mengagumi hal yang sama? Kekaguman pada sumber daya alam yang ternyata tidak lagi berlimpah ruah. Pada rimbunnya pohon yang semakin hari semakin berkurang. Pada ratusan ribu fauna yang perlahan-lahan habis masa hidupnya. Kekaguman itu apakah masih ada? Nampaknya berlebihan, tapi itulah kenyataan.

Sumber daya alam di Indonesia bukanlah hal yang tidak istimewa. Kita punya banyak. Sangat banyak. Tapi sekarang perlahan-lahan, sumber daya alam kita terkuras karena tak dapat dengan baik dikelola. Semua dihabiskan sambil berebut kepentingan. Keuntungan yang dimiliki Indonesia pada akhirnya hanya menjadi kebuntungan yang mencengangkan.

Bicara mengenai rasa syukur, rasanya tidak mungkin jika penduduk bangsa yang benar-benar cinta akan Indonesia tidak pernah bersyukur. Bagaimana tidak, dari segi astronomi, Indonesia terletak pada daerah tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi sehingga banyak tumbuhan dapat hidup dan tumbuh dengan cepat. Dari segi geologi, Indonesia terletak pada titik pergerakan lempeng tektonik, sehingga banyak terdapat pegunungan yang mengandung banyak mineral. Terlebih lagi, Indonesia memiliki daerah perairan yang luas serta kaya akan sumber makanan bagi berbagai jenis tanaman dan hewan laut. Boleh dikatakan, Indonesia adalah negara yang serba berkecukupan. Keindahan yang ada sangat memanjakan. Tapi, harus diakui bahwa sorot-sorot mata yang memandangnya kagum, sekarang telah berganti menjadi sorot-sorot mata yang rakus. Semua kekayaan Indonesia diambil, dirampas, hanya karena sebuah kepentingan. Pohon-pohon ditebang untuk kemudian dikonversi menjadi uang. Pengelolaan hanya berdasarkan kepentingan dan melulu kepentingan. Lantas masih adakah orang yang memikirkan nasib generasi di masa depan?

Berkurangnya luas hutan tentu mengambil peran penting dalam fenomena menurunnya populasi satwa Indonesia, karena hutan menjadi habitat utama bagi mereka, terutama satwa liar. Percaya atau tidak, 84% dari daratan Indonesia (sekitar 162 juta ha) pada tahun 1950-an masih berupa hutan, namun kini pemerintah menyebutkan bahwa luasan hutan Indonesia sekitar 138 juta hektar. Berbagai pihak menyebutkan data yang berbeda bahwa luasan hutan Indonesia kini tidak lebih dari 120 juta hektar. Selama kurang lebih 50 tahun, pembalakan liar, pembukaan lahan untuk industri sawit, kertas dan bubur kertas bukanlah hal yang langka di telinga dan tangan manusia. Betapa banyak lahan yang dikorbankan. Betapa banyak akibat yang ditimbulkan.

Dari sekedar lahan yang berkurang, sepetak demi sepetak, hilanglah juga populasi hewan sejenis demi sejenis. Habitat mereka dirampas oleh (lagi-lagi) manusia. Ketiadaan tempat berlindung tentu saja menjadi sesuatu yang mengancam kelangsungan hidup mereka. Dan ujung-ujungnya, mereka harus berebut tempat hidup dengan manusia. Ketika manusia merasa dipaksa untuk berbagi hidup dengan satwa yang tidak lagi memiliki tempat berlindung, merekapun menolaknya dengan cara memusnahkan satwa tersebut. Hal ini nyata terjadi. Pemusnahan massal pada orangutan yang justru merupakan mamalia paling mirip dengan manusia pada beberapa waktu lalu. Dalam kurun waktu bulan april 2008 hingga september 2009, dilansir ada 750 orangutan yang telah tewas akibat dibunuh. Banyak alasan yang melatarbelakangi kejadian tersebut. Orangutan dianggap sebagai salah satu hama tanaman sawah, padahal mereka hanyalah makhluk yang ingin mempertahankan kehidupan selayaknya manusia, tapi (lagi-lagi) manusia yang membuat mereka sulit menjalani kehidupan.

Dari kualitas hutan Indonesia yang terus-menerus menurun, tak ada lagi resapan air hujan yang memadai. Iya, setelahnya Indonesia dilanda pula oleh krisis air bersih. Dari hutan Indonesia yang terus-menerus disulap menjadi tulang punggung industri, tak ada lagi pepohonan hijau yang menghisap gas-gas karbon dioksida, sehingga munculah apa itu pemanasan global. Lahan hijau telah berubah wujud menjadi gedung-gedung pencakar langit yang megah. Herannya, manusia justru mengeluh tentang suhu udara yang terus-terusan memanas. Lantas, apakah manusia mencari tahu juga salah siapakah semua ini?

Hal yang juga tak kalah miris, ketika terciptalah juga apa yang dinamakan polusi, serta pencemaran yang membuat ngeri. Tingkat polusi dan pencemaran udara yang diukur dari partikel dalam udara, bisa kita sebut dengan PM10. Batas maksimal PM10 yang disarankan WHO adalah kurang dari 20 mikrogram/m3. Data WHO kemudian menunjukkan bahwa kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan telah terjangkit penyakit polusi yang parah. Kadar PM10 Medan adalah yang terbesar yakni 111 mikrogram/m3, Surabaya sebesar 69 mikrogram/m3, Bandung dan Jakarta sebesar 43 mikrogram/m3.

Belum lagi, tak dapat dipungkiri pula adanya kejahilan-kejahilan tangan manusia yang tak jarang menjadikan setiap sudut Indonesia sebagai tempat pembuangan. Menurut data dari Bank Dunia, Indonesia mampu memproduksi sampah padat secara nasional sebanyak 151.921 ton per hari. Dari data tersebut pula, dikatakan bahwa hanya 80% sampah yang berhasil dikumpulkan. Sisanya? Berserak mencemari lingkungan.

Satu mata rantai rusak, maka jangan harap rantai keseluruhan akan berjalan baik-baik saja. Jika hutan dirusak, pepohonan dan hewan-hewan dimusnahkan, maka siapa yang dirugikan? Tidak mungkin bukan manusia. Namun, jika ditanya kembali siapa yang merugikan? Apakah ada yang berani menjawab bukan manusia?

Tulisan ini tidak dibuat untuk mendakwa ataupun menghakimi, melainkan ingin menyadarkan semua mata, hati, dan telinga yang dirasa mampu merasakan. Lingkungan hidup bukanlah isu yang mampu dianggap remeh, melainkan isu pokok kelangsungan hidup semua makhluk hidup yang tinggal dan hidup berdampingan, termasuk makhluk yang dinamakan manusia.

Indonesia masih kaya jika semangat kebangsaan semua individunya masih berjaya. Indonesia masih punya kesempatan. Sebagai generasi muda bangsa, mungkin kita semua masih mampu untuk lebih peka akan hal-hal memilukan yang terjadi pada lingkungan hidup di sekitar. Pengelolaan alam tanpa peduli nasib Indonesia di masa depan hendaknya tak usah dilanjutkan. Yang kita butuhkan hanyalah kesadaran sebagai manusia. Sebagai makhluk yang diberi keistimewaan menjaga alam. Kesempatan mengubah kondisi ada di genggaman kesepuluh jari kita. Tak perlu kita tampilkan melalui perkataan melainkan kita lakukan dengan perbuatan. Dari hal sederhana yang nantinya akan menjadi bermakna. Mulai dari kepedulian, gerakan, serta tindakan, mari kita benahi lingkungan. Dengan semangat kebangsaan, rasanya tak sulit kita ciptakan Indonesia yang nantinya indah jika diwariskan bagi generasi masa depan. Seperti apa yang dilantunkan Naif, Dia... Adalah pusaka sejuta umat manusia yang ada di seluruh dunia, untuk itu, mari kita jaga pusaka kita bersama.



REFERENSI
http://matoa.org/polusi-di-indonesia-dan-efeknya/ (diakses pada tanggal 19 Mei 2013)


Tulisan ini dilombakan dalam acara BANGSAL PMKAJ US tanggal 24 Mei 2013 lalu.

No comments:

Post a Comment

Thanks for leaving a comment :)