Kini,
tak kulihat lagi penjual siomay khas kota kembang,
tak kulihat lagi bapak-bapak penjual mie ayam jamur,
tak kulihat lagi sepasang suami istri yang menjadi pengusaha rumah makan Cendrawasih,
tak kulihat lagi uda-uni di kios fotocopy & print murah,
tak kulihat lagi penjaja pisang coklat, juga
tak kulihat lagi kios-kios yang berjejer itu lagi.
Hari ini semua sudah kosong. Sudah rata. Hanya tinggal reruntuhan dan di atasnyalah kini aku berjalan. Beberapa hari lagi, mungkin sudah bukan peron itu lagi yang jadi ruteku menuju kampus. Semua akan berubah. Berbeda dari biasa.
Kemarinlah hari eksekusinya. Sejak pagi, pengeksekusian itu sudah ramai diperbincangkan di beragam media sosial. Aku sendiri hanya dapat menyaksikan perkembangannya lewat linimasa twitter tanpa begitu tahu duduk soalnya. Yang aku tahu hanyalah kios-kios penghias stasiun itu sedang berada dalam proses penghancuran. Aku juga tahu bahwa hal ini pasti ditentang oleh para mahasiswa. Pagi kemarin, hanya mahasiswa yang mau, yang berorasi. Mereka mahasiswa-mahasiswa yang merupakan perwakilan, dari kampus yang ternyata kebetulan dekat dengan stasiun itu. Sebenarnya, pastilah banyak juga pihak di luar sana yang menentang. Tapi, tak dipungkiri, mereka yang setuju-setuju saja pun pasti ada.
Di linimasa itu, aku lihat beberapa temanku menggerutu karena terjebak kemacetan yang begitu menyebalkan. Bagaimana bisa? Ya bisa, jelas hal itu pasti punya kaitan dengan proses pengeksekusian. Mereka yang menggerutu butuh waktu berkali-kali lipat lebih lama untuk masuk ke kampus. Alhasil, beragam UAS, giliran presentasi, jadwal kelas pun terabaikan karena mereka terlambat datang.
Lantas, di mata mereka, siapa yang dianggap biang keladi kemacetan ini? Ya, tentu tudingan jatuh pada mahasiswa-mahasiswa dari kampus mereka sendiri yang sedang berjuang menggagalkan penghancuran.
Bagi yang menggerutu, mahasiswa-mahasiswa pejuang itu seharusnya bertindak sejak kemarin dari kemarin, kemarinnya lagi, kemarin dari kemarinnya lagi, bahkan kemarin dari kemarin dari kemarinnya lagi. Bukan kemarin.
Bagi mereka yang menggerutu, sungguh, hari kemarin sangatlah menyebalkan karena telah membuat aktivitas mereka kacau balau.
Bagi yang menggerutu, orasi dan demo di stasiun itu telah merugikan pihak lain yang sebenarnya, tak jauh-jauh juga adalah "rakyat" yang butuh kenyamanan.
Haha, aku sendiri juga menggerutu. Tapi, jujur, aku tak berani menggerutu lebih jauh, karena menurutku mahasiswa-mahasiswa pejuang itu pasti punya alasan mengapa mereka begitu berjuang. Alasan itulah yang lantas ingin aku ketahui lebih dalam. Kemudian, kuputuskan untuk melemparkan kicauan demi kicauan.
Salah satu dari yang menggerutu ada yang merespon kicauanku. Ada juga yang mencoba memberitahuku perihal sengketa apa yang sesungguhnya ada dibalik pengruntuhan kios-kios itu. Ada juga yang hanya menyentilku dengan berkata "baru sekarang ya pedulinya?". Ya, berbagai macam hal muncul di kolom mention twitterku.
Tadinya kupikir, memang hak KAI-lah untuk mengambil kios-kios itu, karena ya mungkin kontraknya sudah habis atau apalah. Seharusnya juga, ada persiapan diri dari pedagang-pedagang itu sebelumnya, karena kupikir juga, mereka mendapatkan kesediaan posisi relokasi ataupun dana kompensasi. Nyatanya, berdasarkan info yang kuperoleh, hal-hal demikian tidak diberikan sama sekali. Informasi yang kuterima lantas bertambah dan membuatku iba. KAI memang berhak, tapi tidak seperti itu cara penyampaiannya. Bukan seperti itu cara yang layak.
Aku yang memang tidak rela kehilangan pedagang-pedagang itu (bagiku, mereka penyelamat!) mencoba untuk semakin bersimpati bahkan berempati. Kubaca ini dan itu untuk lebih lagi tau. Dan memang, nasib pedagang-pedagang itu benar pilu.
Masih penasaran lagi, aku mulai ajak berbincang seorang teman, lantas diskusipun mengalir ringan. Ya, membuat pikiranku semakin terbuka tentang apa yang baru terjadi di depan mata. Tak hanya stasiun dekat kampusku saja, tetapi di seluruh stasiunpun ternyata telah terjadi hal yang sama. Benar tak kusangka, ternyata dalam waktu berbulan-bulan sudah kulewatkan banyak berita.
Pagi tadi, kulewati rute biasa perjalananku ke kampus. 2 hari yang lalu masih kulihat kios-kios pemberi nafkah para pedagang itu masih berdiri dengan sempurna. Hari ini, hanya puing-puing reruntuhan yang tersisa. Entah kemana para pedagang itu berpindah. Entah bagaimana kehidupan mereka setelahnya?
Ada kulihat, salah satu warung yang biasa berjaga di peron (yang kiosnya hari ini sudah dihancurkan), tampak pindah ke kios di belakang stasiun yang tak kena penggusuran. Ia masih bernafas. Ia masih terus melanjutkan. Tapi, hanya satu ini yang kutau pindahnya kemana. Lantas yang lainnya?
Dialog dengan KAI yang diharapkan pedagang dan mahasiswa nyatanya tak pernah ada, dan kini penghancuran dilakukan sudah. Lalu, kita bisa apa? Mungkin, yang terkecilnya adalah berdoa. Doa agar mereka para pedagang masih bisa tertawa. Agar mereka menemukan lahan baru untuk usaha. Biar tak hanya warung pinggir peron itu yang mampu bertahan, melainkan semua pedagang bagaimanapun juga masih harus bisa makan. Mereka harus mampu melanjutkan perjuangan.
Iya, marilah kita doakan.
*aku tunggu alamat baru kalian. cc: siomay bandung, mi ayam jamur, Cendrawasih, fotocopy & print murah, pisang coklat, dan kios-kios mantan penghias stasiun kesayangan.*
No comments:
Post a Comment
Thanks for leaving a comment :)