Wednesday, March 11, 2015

"Kota ya, bang!"

Saya turun dari mobil ketika hujan mulai merintik. Setelah melambaikan tangan tanda perpisahan pada teman yang memberikan tumpangan, saya kemudian berjalan ke halte terdekat untuk menunggu angkutan umum yang lewat. Dari jalan Utan Jati di bilangan Jakarta Barat —tempat saya menunggu kala itu—, saya hendak bertolak ke kawasan Kota Tua. Menurut internet, saya bisa menumpang mikrolet nomor M13 yang memiliki rute Kalideres – Kapuk – Kota, dan melewati Utan Jati.

Setidaknya, ada lima menit saya menunggu sebelum akhirnya angkutan yang saya nanti-nanti itu lewat di depan mata dan berhenti menunggu saya naik.

“Bang, ini ke stasiun Kota?”
“Bukan. Sudah nggak sampai sana lagi. Tapi naik aja dulu, nanti nyambung sekali lagi.”

Merasa tak ada pilihan, saya memutuskan bertahan. Bertahan untuk tetap naik ke dalam angkutan umum berwarna biru muda itu, pasrah sekaligus cemas karena tidak tahu akan ke mana saya dibawanya. Saya duduk dalam diam, membaca buku yang saya bawa dari rumah, sekaligus berkala mengamati jalan-jalan yang dilalui si angkutan.

Sejenak ketika mata saya sudah mulai lelah membaca buku, situasi jalanan yang bergelombang juga rasanya tak akan berdampak baik bagi mata saya kalau terus memaksa membaca —gerak angkutan menjadi tidak stabil, maksudnya—, akhirnya saya memutuskan untuk konsisten mengamati sekitar saja.

Waktu itu masih pagi sekitar pukul sembilan setengah sepuluh. Saya melihat cukup banyak kendaraan roda dua maupun roda empat berdesak-desakkan di jalanan. Mungkin mereka sedang tergesa menuju tempat kerja. Begitu yang saya kira. Jalanan berlubang, berbatu, juga berbecek sepertinya sangat mendominasi. Truk-truk juga tak kalah saing menghiasi jalanan pagi hari. Saya heran, truk besar ini mengapa diperbolehkan melalui jalanan kecil begini, pagi-pagi lagi.

Jakarta semakin macet saja, pikir saya.

Semakin lama saya memperhatikan jalanan, semakin gerah saya merasa. Saya lagi-lagi terjebak di kemacetan ibu kota. Nasib, nasib. Saya putuskan mengecek telepon genggam saja, mana tahu ada pesan singkat atau kalau tidak, saya bisa membaca-baca portal berita online. Lagi-lagi, saya justru merasa pusing, pelipis mata saya seolah berdenyut lelah dan pada akhirnya saya mengembalikan lagi telepon genggam saya pada salah satu celah di dalam tas.

Di tengah padatnya kendaraan, angkutan saya yang berjalan pelan-pelan ini sekali waktu berhenti total karena ada seorang ibu-ibu yang menyetop. Perawakannya sedikit gemuk, dengan jilbab biru serta kostum pakaian formal warna senada, lengkap. Rok dinasnya terangkat sampai ke lutut, mungkin karena ia baru saja turun dari motor, namun karena ia menggunakan celana hitam di balik rok yang terangkat, auratnya tetap tertutup rapat.

Dengan agak susah, beliau naik ke dalam angkutan dan duduk di sebelah saya. Angkutan biru muda yang saya tumpangi untungnya tidak terlalu penuh, sehingga ketambahan satu orang juga tidak terlalu signifikan. Kebiasaan saya untuk memperhatikan orang kadang kala suka keterusan. Sejak ibu ini naik hingga sekarang duduk di samping saya, saya tanpa sadar terus mengamati gerak-geriknya. Wajahnya masih terlihat segar, bisa saja karena masih pagi. Tangannya sibuk menurunkan kembali roknya yang terangkat dan setelah semuanya kembali rapi, ibu ini duduk dalam diam. Mungkin bingung dengan kemacetan Jakarta, atau malah sudah terlampau terbiasa.

Angkutan biru muda ini tak lama lagi sepertinya akan keluar dari kemacetan. Melihat gerak-gerik supir yang siap-siap mengambil pilihan untuk belok ke kanan, saya pun sumringah karena akan keluar dari padatnya kendaraan. Namun ketika angkutan ini akan berbelok, saya sedikit heran karena angkutan ini mengambil jalur yang tidak semestinya. Supir angkutan ini berbelok ke kanan dengan melewati jalan putaran yang seharusnya digunakan oleh kendaraan dari arah berlawanan. Dengan agak tancap gas dan menyiapkan recehan untuk membayar dua orang ‘pak Ogah’ yang berjaga —satu yang mengijinkan supir ini lewat di jalan yang tidak semestinya, satu lagi yang menjaga kendaraan agar tidak memotong ketika angkutan ini sedang bergerak—, supir angkutan ini berhasil menuntun kendaraannya hingga sampai pada jalan yang lain yang terbebas dari kepungan kendaraan.

Hawa kota Jakarta masih membuat gerah dan saya, yang saat itu benar-benar sama sekali tak punya gambaran sedang berada di mana, hanya bisa berharap angkutan ini akan cepat sampai di tempat yang menyediakan angkutan langsung ke Kota. Saya masih terus acuh pada dua penumpang lain di dalam angkutan ini dan mata saya hanya terus memandang ke luar jendela.

Betapa sumpeknya Jakarta ini, ya. Macet dan panas di mana-mana, euy! Saya membatin.

Tak lama setelah berbelok-belok dan menyalip-nyalip kendaraan lain —saya tak heran jika pengendara kendaraan pribadi sampai takut pada angkutan umum—, akhirnya supir angkutan yang saya tumpangi ini menghentikan laju kendaraan dan turun memungut ongkos. Wanita muda yang tadinya duduk berhadapan dengan saya ternyata sudah turun tanpa saya sadari. Tinggallah saya dan ibu-ibu rapi berjilbab yang masih bertahan di samping saya.

“Mba, nanti di depan sambung angkot 06 aja ya.” ucap si supir penagih ongkos sebelum akhirnya bangku depan diisi oleh supir baru.
“Langsung ke Kota, pak?” tanya saya ragu. Supir itu kemudian turun sambil mengangguk dengan memegang segepok uang di tangan kirinya. Saya kemudian sedikit lega karena saya semakin dekat dengan tujuan saya.
“Mba mau ke Kota? Emangnya dari mana?” Ibu di samping saya tiba-tiba bersuara.
“Eh, iya bu. Saya tadi dari Daan Mogot.” jawab saya sambil menyimpulkan senyum tipis.
“Kenapa si mba nggak naik dari Kalideres aja, kalau nggak salah kan ada Metro Mini 84 yang langsung ke Kota.”
“Oh, iya ya Bu?” saya bertanya dengan nada dan raut muka polos.
“Iya, ngapain ini jauh banget muter-muter dulu.”
“Nggak apa-apa lah Bu, sekalian liat-liat Jakarta. Hehe.”
“Jakarta mah apa yang diliat. Begini aja terus setiap hari, macet, sumpek.”
“Hehe, iya ya Bu.”
“Yaudah, nanti jangan lupa naik angkot merah nomor 06 ya mba, kayak gitu tuh…” ucapnya sambil menunjuk ke arah angkot yang dimaksud dari arah berlawanan, “…tapi naiknya dari arah ini ya. Sekolahan ya, bang!”

Mengira bahwa ibu ini akan segera turun dan saya akan segera menjadi satu-satunya penumpang yang tersisa, saya memilih untuk turun mengikuti ibu ini. Toh, saya harus berganti angkutan lagi juga.

“Nah, itu ada angkot 06 di belakang truk itu. Nanti naik itu ya mba, turunnya di terminal Kota aja.” Ibu-ibu ini berkata lembut sambil menunjuk truk yang dimaksud. Benar saja, di belakangnya ada angkutan umum berwarna merah mengikuti, mungkin itu benar angkutan umum nomor 06. Yang mengherankan, jalanan cukup kosong, sepi kendaraan, namun ibu-ibu —yang saya duga adalah seorang guru— itu tak kunjung menyeberang menuju sekolahan.

Angkutan umum 06 itu kemudian saya berhentikan dengan sekali lambaian tangan, dan ibu-ibu di samping saya langsung berseru,

“Kota ya, bang!”, setelah itu ibu-ibu ini tersenyum pada saya dan berujar, “Hati-hati ya, Mba.”
“Terima kasih ya Bu.” saya tersenyum, terharu —mengingat saya mudah tersentuh dan terenyuh—, kemudian naik ke atas angkutan merah itu, dan menyadari bahwa saya kembali menjadi satu-satunya penumpang yang menumpang. Ibu-ibu tadi menyeberang ke sekolahan setelah angkutan saya beranjak perlahan.

Kota sumpek ini masih punya orang baik. Pikir saya sambil tak sadar mengembangkan senyum di dalam angkutan umum nomor 06 yang pelan-pelan bergerak menuju Kota.

No comments:

Post a Comment

Thanks for leaving a comment :)