Saya
turun dari mobil ketika hujan mulai merintik. Setelah melambaikan tangan tanda
perpisahan pada teman yang memberikan tumpangan, saya kemudian berjalan ke
halte terdekat untuk menunggu angkutan umum yang lewat. Dari jalan Utan Jati di
bilangan Jakarta Barat —tempat saya menunggu kala itu—, saya hendak bertolak ke
kawasan Kota Tua. Menurut internet, saya bisa menumpang mikrolet nomor M13 yang
memiliki rute Kalideres – Kapuk – Kota, dan melewati Utan Jati.
Setidaknya,
ada lima menit saya menunggu sebelum akhirnya angkutan yang saya nanti-nanti itu lewat
di depan mata dan berhenti menunggu saya naik.
“Bang,
ini ke stasiun Kota?”
“Bukan.
Sudah nggak sampai sana lagi. Tapi naik aja dulu, nanti nyambung sekali lagi.”
Merasa
tak ada pilihan, saya memutuskan bertahan. Bertahan untuk tetap naik ke dalam angkutan umum
berwarna biru muda itu, pasrah sekaligus cemas karena tidak tahu akan ke mana
saya dibawanya. Saya duduk dalam diam, membaca buku yang saya bawa dari rumah,
sekaligus berkala mengamati jalan-jalan yang dilalui si angkutan.
Sejenak
ketika mata saya sudah mulai lelah membaca buku, situasi jalanan yang
bergelombang juga rasanya tak akan berdampak baik bagi mata saya kalau terus memaksa
membaca —gerak angkutan menjadi tidak stabil, maksudnya—, akhirnya saya
memutuskan untuk konsisten mengamati sekitar saja.
Waktu
itu masih pagi sekitar pukul sembilan setengah sepuluh. Saya melihat cukup
banyak kendaraan roda dua maupun roda empat berdesak-desakkan di jalanan. Mungkin mereka sedang tergesa menuju tempat kerja. Begitu yang saya
kira. Jalanan berlubang, berbatu, juga berbecek sepertinya sangat mendominasi. Truk-truk
juga tak kalah saing menghiasi jalanan pagi hari. Saya heran, truk besar ini
mengapa diperbolehkan melalui jalanan kecil begini, pagi-pagi lagi.
Jakarta semakin macet saja, pikir saya.
Semakin
lama saya memperhatikan jalanan, semakin gerah saya merasa. Saya lagi-lagi
terjebak di kemacetan ibu kota. Nasib, nasib. Saya putuskan mengecek telepon
genggam saja, mana tahu ada pesan singkat atau kalau tidak, saya bisa
membaca-baca portal berita online.
Lagi-lagi, saya justru merasa pusing, pelipis mata saya seolah berdenyut lelah dan pada akhirnya saya mengembalikan lagi
telepon genggam saya pada salah satu celah di dalam tas.
Di
tengah padatnya kendaraan, angkutan saya yang berjalan pelan-pelan ini sekali
waktu berhenti total karena ada seorang ibu-ibu yang menyetop. Perawakannya
sedikit gemuk, dengan jilbab biru serta kostum pakaian formal warna senada, lengkap.
Rok dinasnya terangkat sampai ke lutut, mungkin karena ia baru saja turun dari
motor, namun karena ia menggunakan celana hitam di balik rok yang terangkat, auratnya
tetap tertutup rapat.
Dengan
agak susah, beliau naik ke dalam angkutan dan duduk di sebelah saya. Angkutan biru
muda yang saya tumpangi untungnya tidak terlalu penuh, sehingga ketambahan satu
orang juga tidak terlalu signifikan. Kebiasaan saya untuk memperhatikan orang
kadang kala suka keterusan. Sejak ibu ini naik hingga sekarang duduk di samping
saya, saya tanpa sadar terus mengamati gerak-geriknya. Wajahnya masih terlihat
segar, bisa saja karena masih pagi. Tangannya sibuk menurunkan kembali roknya
yang terangkat dan setelah semuanya kembali rapi, ibu ini duduk dalam diam.
Mungkin bingung dengan kemacetan Jakarta, atau malah sudah terlampau terbiasa.
Angkutan
biru muda ini tak lama lagi sepertinya akan keluar dari kemacetan. Melihat
gerak-gerik supir yang siap-siap mengambil pilihan untuk belok ke kanan, saya
pun sumringah karena akan keluar dari padatnya kendaraan. Namun ketika angkutan ini akan
berbelok, saya sedikit heran karena angkutan ini mengambil jalur yang tidak
semestinya. Supir angkutan ini berbelok ke kanan dengan melewati jalan putaran
yang seharusnya digunakan oleh kendaraan dari arah berlawanan. Dengan agak
tancap gas dan menyiapkan recehan untuk membayar dua orang ‘pak Ogah’ yang
berjaga —satu yang mengijinkan supir ini lewat di jalan yang tidak semestinya,
satu lagi yang menjaga kendaraan agar tidak memotong ketika angkutan ini sedang
bergerak—, supir angkutan ini berhasil menuntun kendaraannya hingga sampai pada
jalan yang lain yang terbebas dari kepungan kendaraan.
Hawa
kota Jakarta masih membuat gerah dan saya, yang saat itu benar-benar sama
sekali tak punya gambaran sedang berada di mana, hanya bisa berharap angkutan
ini akan cepat sampai di tempat yang menyediakan angkutan langsung ke Kota. Saya masih terus acuh pada dua
penumpang lain di dalam angkutan ini dan mata saya hanya terus memandang ke
luar jendela.
Betapa sumpeknya Jakarta
ini, ya. Macet dan panas di mana-mana, euy! Saya membatin.
Tak lama setelah berbelok-belok dan menyalip-nyalip
kendaraan lain —saya tak heran jika pengendara kendaraan pribadi sampai takut
pada angkutan umum—, akhirnya supir angkutan yang saya tumpangi ini menghentikan laju kendaraan dan turun
memungut ongkos. Wanita muda yang tadinya duduk berhadapan dengan saya ternyata sudah
turun tanpa saya sadari. Tinggallah saya dan ibu-ibu rapi berjilbab yang masih
bertahan di samping saya.
“Mba, nanti di depan sambung angkot 06 aja ya.” ucap si
supir penagih ongkos sebelum akhirnya bangku depan diisi oleh supir baru.
“Langsung ke Kota, pak?” tanya saya ragu. Supir itu
kemudian turun sambil mengangguk dengan memegang segepok uang di tangan
kirinya. Saya kemudian sedikit lega karena saya semakin dekat dengan tujuan
saya.
“Mba mau ke Kota? Emangnya dari mana?” Ibu di samping
saya tiba-tiba bersuara.
“Eh, iya bu. Saya tadi dari Daan Mogot.” jawab saya
sambil menyimpulkan senyum tipis.
“Kenapa si mba nggak naik dari Kalideres aja, kalau
nggak salah kan ada Metro Mini 84 yang langsung ke Kota.”
“Oh, iya ya Bu?” saya bertanya dengan nada dan raut muka polos.
“Iya, ngapain ini jauh banget muter-muter dulu.”
“Nggak apa-apa lah Bu, sekalian liat-liat Jakarta. Hehe.”
“Jakarta mah apa yang diliat. Begini aja terus setiap
hari, macet, sumpek.”
“Hehe, iya ya Bu.”
“Yaudah, nanti jangan lupa naik angkot merah nomor 06
ya mba, kayak gitu tuh…” ucapnya sambil menunjuk ke arah angkot yang dimaksud
dari arah berlawanan, “…tapi naiknya dari arah ini ya. Sekolahan ya, bang!”
Mengira bahwa ibu ini akan segera turun dan saya
akan segera menjadi satu-satunya penumpang yang tersisa, saya memilih untuk
turun mengikuti ibu ini. Toh, saya
harus berganti angkutan lagi juga.
“Nah, itu ada angkot 06 di belakang truk itu. Nanti
naik itu ya mba, turunnya di terminal Kota aja.” Ibu-ibu ini berkata lembut
sambil menunjuk truk yang dimaksud. Benar saja, di belakangnya ada angkutan umum berwarna merah
mengikuti, mungkin itu benar angkutan umum nomor 06. Yang mengherankan, jalanan
cukup kosong, sepi kendaraan, namun ibu-ibu —yang saya duga adalah seorang guru—
itu tak kunjung menyeberang menuju sekolahan.
Angkutan umum 06 itu kemudian saya berhentikan dengan
sekali lambaian tangan, dan ibu-ibu di samping saya langsung berseru,
“Kota ya, bang!”, setelah itu ibu-ibu ini tersenyum
pada saya dan berujar, “Hati-hati ya, Mba.”
“Terima kasih ya Bu.” saya tersenyum, terharu —mengingat
saya mudah tersentuh dan terenyuh—, kemudian naik ke atas angkutan merah itu,
dan menyadari bahwa saya kembali menjadi satu-satunya penumpang yang menumpang.
Ibu-ibu tadi menyeberang ke sekolahan setelah angkutan saya beranjak perlahan.
Kota sumpek ini masih punya
orang baik. Pikir saya sambil tak sadar mengembangkan senyum di dalam angkutan umum
nomor 06 yang pelan-pelan bergerak menuju Kota.
No comments:
Post a Comment
Thanks for leaving a comment :)