Membongkar lagi kumpulan buku yang belum saya
baca bahkan belum saya sentuh sama sekali sejak membeli, saya menemukan sebuah
karya dari Clara Ng di barisan koleksi buku yang saya miliki. Tea For Two,
begitu judul yang tertera di halaman depan. Jujur, desain bukunya kurang
menarik selera saya untuk membaca karena hanya menampilkan foto wanita berambut
pendek mengikuti seorang lelaki di depannya. Warna oranye —sangat bukan
warna kesukaan saya— muram mendominasi keseluruhan tampilan buku. Namun, bukan
hal itu sebenarnya yang mempengaruhi saya dulu ketika memutuskan untuk
membelinya atau tidak. Adalah ceritanya seputar pernikahan dan KDRT yang
menggugah saya. KDRT, pernikahan, dan wanita, tepatnya.
SINOPSIS
Seorang perintis perusahaan mak comblang Tea For
Two bernama Sassy memutuskan untuk menikah setelah ia menjalani hubungan
percintaan yang manis nan romantis bersama seorang pria bernama Alan. Sebelum
menikah, Sassy menilai pernikahan adalah sebuah penawaran menggiurkan untuk memasukki tahap
kehidupan baru, tahap yang penuh hal manis, penuh sisi baik. Penawaran yang
menjadi dasar roda usahanya berputar.
Malang tak dapat dihadang, kehidupan pernikahan Sassy nyatanya amat berbeda dengan apa yang selama ini dibayangkan dalam benaknya. Kehidupan pernikahannya miris. Manis apalagi romantis tak lagi ada, melainkan pukulan, tinju, tamparan, dan kekerasan lain yang didera seorang Sassy. Tak hanya kekerasan fisik saja, batin Sassy pun perlahan turut menderita. Sahabat-sahabat Sassy dilarang mendekat oleh suami yang dulu mengobral kata cinta. Sassy hanya mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Mencoba bertahan dengan pilihan yang sudah ditetapkannya, sebelum akhirnya cahaya kebahagiaan perlahan menggeser pilihan Sassy.
Malang tak dapat dihadang, kehidupan pernikahan Sassy nyatanya amat berbeda dengan apa yang selama ini dibayangkan dalam benaknya. Kehidupan pernikahannya miris. Manis apalagi romantis tak lagi ada, melainkan pukulan, tinju, tamparan, dan kekerasan lain yang didera seorang Sassy. Tak hanya kekerasan fisik saja, batin Sassy pun perlahan turut menderita. Sahabat-sahabat Sassy dilarang mendekat oleh suami yang dulu mengobral kata cinta. Sassy hanya mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Mencoba bertahan dengan pilihan yang sudah ditetapkannya, sebelum akhirnya cahaya kebahagiaan perlahan menggeser pilihan Sassy.
***
Bukan Clara Ng namanya, jika bukunya tidak
menawarkan kisah yang berbeda dari kisah roman kebanyakan. Tea For Two adalah
buku ketiga Clara Ng yang saya baca. Sebelumnya, The (Un)reality Show dan
DimSum Terakhir juga menawarkan rangkaian cerita yang sama sekali unik,
berbeda, dan tak diduga.
Terlepas dari ide cerita Clara Ng yang tak bisa
tak dibilang menarik itu, saya hanya merasa sedikit terganggu dengan gaya
penulisan Clara Ng dalam Tea For Two. Narasi yang diceritakan dari sudut
pandang orang ketiga serba tahu tidak disampaikan dengan tata bahasa yang
indah. Pilihan kata yang digunakan tidak terlalu bervariasi, melainkan bisa
dibilang sangat biasa. Saya seperti membaca roman remaja dengan kata-kata yang
sama sekali tidak sulit dicerna. Kemudian, isi dialog dan percakapan antar
tokoh terlihat cukup janggal jika dibandingkan dengan percakapan orang-orang
Indonesia kebanyakan. Rasanya sangat aneh dan mengingat ini bukan novel
terjemahan, saya agak sedikit terganggu dengan cara dialog-dialog itu
disampaikan. Misalnya, dialog-dialog yang dilakukan antara tokoh Sassy
dengan sahabatnya Naya. Jika saya membayangkan dialognya diucapkan secara
nyata, maka akan menjadi sangat “tidak biasa”. Meskipun demikian, dengan mengabaikan
pendapat saya yang (memang) subjektif tentang gaya dan cara Clara Ng merajut kisah
Tea For Two ini, saya menemukan banyak hal menarik lainnya yang tetap mampu
menggoda saya untuk membaca hingga halaman terakhir.
Tea For Two pada beberapa bagiannya mampu
membuat saya tertawa sebab Clara Ng mampu menyusupkan aneka unsur komedi ke
dalam kisah ini. Setidaknya, Tea For Two berhasil menjadi novel yang tidak
membosankan dari segi cerita. Tentu, bukan dari unsur lucunya saja novel ini
menjadi menarik, melainkan polemik yang terjadi dalam kehidupan Sassy —ketika lajang maupun sudah menikah— turut menggoda untuk diselami lebih dan lebih dalam
lagi. Intinya, problematika kehidupan Sassy sejatinya melahirkan sebuah ide
baru dalam kehidupan wanita pada masa-masa yang sedang bergulir sekarang.
Semua pembaca Tea For Two saya yakin sepakat
bahwa tokoh Sassy telah membuka mata para wanita tentang rentannya seorang
wanita mengalami perubahan jati diri setelah menikah (apakah lelaki juga sama?). Sassy yang telah menjelma
menjadi seorang istri perlahan mulai meninggalkan Sassy yang lajang jauh di
belakang. Bukan, bukan sesederhana itu perkataan yang saya maksud. Sassy seakan
tidak mengenali dirinya sendiri. Sassy dipaksa, dituntut, bahkan ditekan secara
fisik berikut mental untuk menuruti keinginan orang lain di luar dirinya. Ya,
keinginan suaminya. Sassy didesak keadaan untuk memahami isi otak Alan, lelakinya.
Sassy dijerumuskan ke dalam kehidupan pernikahan yang secara total mengubah
seluruh hidupnya.
Tea For Two berusaha membuka sisi lain
pernikahan yang masih minim terkuak. Pernikahan, sebenarnya seperti dua sisi uang
koin. Dan tidak seorangpun bisa menyangka sisi mana yang akan muncul ketika koin
tersebut dilemparkan ke udara. Tidak seorangpun menduga sisi mana yang akan menjadi
warna pernikahannya. Sisi atas atau sisi bawah? Sisi depan atau sisi belakang? Sisi
baik atau sisi buruk?
Seringkali, manusia mengira pernikahan akan
selalu memunculkan sisi manis nan romantis. Padahal, ada satu sisi gelap yang
jarang menang ketika dilemparkan ke udara. Sisi kelam yang sama sekali tidak
manis apalagi romantis. Sisi inilah yang kemudian diangkat ke permukaan oleh
Clara Ng dalam Tea For Two. Tea For Two mengenalkan, serta membuktikan pada
kita betapa kejamnya sebuah sisi tanpa cahaya dalam sebuah pernikahan melalui isu
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tak tanggung-tanggung, kekerasan fisik sekaligus
kekerasan mental-psikologis ditimpakan pada Sassy, seorang wanita pendamba kehidupan
pernikahan manis nan romantis.
Tea For Two bagi saya berhasil menjadi sarana
komunikasi yang baik terhadap para lajang —terutama wanita— untuk menyampaikan
gagasan bahwa menikah tidak selamanya indah. Menikah itu pilihan, begitupun
dengan tidak menikah. Pilihan apapun yang diambil pada akhirnya akan sama-sama
memunculkan hanya satu sisi mata uang ketika dilemparkan. Ambil pilihan
menikah, seseorang harus tau bahwa di hadapannya belum pasti terbentang kehidupan
pernikahan yang ideal seperti apa yang diharap imajinasi di kepala. Seseorang
harus siap dengan apapun yang akan terjadi di ujung sana, sepahit atau semanis
apapun kelanjutan pilihannya ke depan.
Akhir kata, Tea For Two adalah bacaan menarik
(lagi-lagi saya tekankan, dari segi ceritanya), terlebih bagi mereka yang
(akan) berencana menikah. Berminat?
No comments:
Post a Comment
Thanks for leaving a comment :)