Tepat 13 hari setelah saya
menyaksikan pementasan ‘SUBVERSIF!’, akhirnya tulisan ini rilis juga. Tulisan
mengenai apa yang saya saksikan, serta apa yang saya rasakan dan pahami. Saya juga tak ketinggalan menerka-nerka kiranya apa yang ingin Institut Ungu selaku pencipta karya sampaikan kepada
penyimaknya.
Teuku
Rifnu Wikana sebagai Dokter Torangga
Ayez
Kassar sebagai Walikota Jokarna
Sita
Nursanti sebagai Karina, istri Dokter Torangga
Dinda
Kanyadewi sebagai Sarita, anak Dokter Torangga
Kartika
Jahja sebagai Billy
Andi
Bersama sebagai Martin Subrata
Madin
Tyasawan sebagai Hary Tamboga
Hendra
Yan sebagai Hoemario
Wawan Sofwan sebagai Danuro
merupakan karya pertunjukan
teater produksi Institut Ungu yang ke-9, diproduseri dan ditulis naskahnya oleh
Faiza Mardzoeki, serta disutradarai oleh Wawan Sofwan. Dikutip dari bagian kata
pengantar pada buku acara, di situ dijelaskan bahwa ‘Subversif!’ merupakan
naskah terjemahan dan adaptasi dari drama klasik berjudul ‘Enemy Of The People’ karya Henrik Ibsen, dramawan asal Norwegia
pada abad 19. Henrik Ibsen merupakan dramawan yang dikenal sebagai the father of realism dan salah satu
peletak dasar teater modern di dunia. Karya-karyanya dikenal sangat universal
dan melampaui jamannya. Enemy Of The
People merupakan salah satu masterpiece
Henrik Ibsen yang sudah banyak dipentaskan dan terus dipentaskan hingga
sekarang. Oleh Faiza, naskah tersebut diterjemahkan dan diadaptasi bebas ke
dalam konteks Indonesia kontemporer dengan judul yang telah disebutkan
sebelumnya, ‘SUBVERSIF!’.
SINOPSIS
‘SUBVERSIF!’
Pertunjukan teater ini bercerita
tentang kota bernama kota Kencana yang menjadi 'hidup' berkat adanya kehadiran
sebuah pabrik milik perusahaan tambang bernama PT Tambang Harapan Gemilang.
Seluruh lapisan warga masyarakat di Kota Kencana, mulai dari rakyat kecil
hingga pejabat tertinggi sepangkat walikota, semuanya menggantungkan nasib pada
PT Tambang Harapan Gemilang. Perusahaan ini seakan tidak tersentuh oleh gangguan
apapun sebab semua warga kota Kencana telah meletakkan harapan dan kepercayaan penuh pada kemunculan
pabrik tambang itu sampai suatu ketika, sosok Dokter Torangga muncul menghadirkan suatu masalah.
Masalah yang dibuat-buat? Tentu
bukan. Melalui penelitian yang dilakukan secara diam-diam terhadap penyakit
dengan gejala serupa yang menimpa beberapa pekerja pabrik, serta penelitian terhadap sample air yang hampir digunakan oleh seluruh
penduduk kota, Dokter Torangga menemukan kenyataan bahwa kota Kencana sedang
terancam bahaya serius. Bahaya itu terdapat pada aliran air kota Kencana dan
semua itu diduga muncul karena pencemaran limbah dari PT Harapan Tambang
Gemilang. Singkat kata, Dokter Torangga menyimpulkan bahwa seluruh warga kota
Kencana berpotensi terkena gangguan kesehatan akibat air yang tercemar itu.
Alih-alih mendukung Dokter
Torangga untuk menuntut perbaikan sistem pengairan dan pembuangan limbah, sang Walikota bernama Jokarna —yang juga merupakan kakak dari Dokter
Torangga—, pihak media (Hary Tamboga, Hoemario, dan Billy) —yang awalnya berhubungan dekat, serta menyuarakan
dukungan terhadap Dokter Torangga—, sampai rakyat sekalipun, pada akhirnya
berbalik menyerang Dokter Torangga hingga menjadikannya musuh rakyat.
Beruntung, anak dan istri dari
Dokter Torangga tetap mendukung perjuangan Dokter Torangga untuk menghadapi
politik kekuasaan yang berhasil memanipulasi kesadaran masyarakat luas. Dokter
Torangga yakin bahwa pada akhirnya kebenaran suci lah yang akan menang.
Dokter Torangga di ruang kerja Billy dan Hoemario |
Dokter Torangga 'masih' mendapatkan dukungan |
Ketika Dokter Torangga hampir kehilangan dukungan |
‘SUBVERSIF!’
Dari Kacamata Saya
SUBVERSIF! Apa itu ‘subversif’?
Sungguh, saya tidak pernah mendengar kata itu sebelumnya apalagi mengerti dan
memahami artinya. Setelah kemudian saya mencari maknanya di dalam kamus bahasa
Indonesia, baru saya bisa memberi kata itu sebuah definisi. Definisi dari ‘subversif’
kemudian saya pahami sebagai sebuah upaya pemberontakan yang dilakukan untuk
merobohkan suatu struktur kekuasaan. Memang, kesan yang saya tangkap lebih condong
ke arah negatif. Dan kesan negatif dari kata ‘subversif’ ini dalam ‘SUBVERSIF!’
dilekatkan pada diri Dokter Torangga semenjak ia mengajukan pemberontakan dan
menuntut perombakan sistem pengairan dan sistem pembuangan limbah di kota
kelahirannya, kota Kencana. Namun apakah benar, Dokter Torangga melakukan
tindakan ‘subversif’?
Pertunjukan berdurasi sekitar 120 menit ini rupanya membawa saya melihat sebuah ‘realita’ yang bahkan sudah
diramalkan oleh penulis naskah aslinya, Henrik Ibsen, sejak satu abad silam.
Realita yang kerap ditemui meskipun sudah satu abad berlalu sejak karya ini
dicipta. Realita yang secara sadar atau tidak, juga terjadi di negara kita,
Indonesia. Setidaknya, begitu yang saya kira.
SUBVERSIF! mempertontokan sebuah
peperangan antara yang benar dan yang berpura-pura benar. Pihak yang pura-pura
benar ini seakan tidak memiliki ketakutan apapun atas kepura-puraan yang ia
lakoni. Mengapa? Jelas, karena ia sudah mengantongi hak milik sebuah senjata
yang sangat ampuh dan ‘mematikan’ bernama KEKUASAAN. Malangnya, pihak yang
justru benar-benar BENAR tidak memiliki senjata berharga itu. Sehingga mau
tidak mau serta suka tidak suka, pihak yang benar ini harus bersedia untuk terus bergerak maju, menerima
kenyataan agar tetap berpijak di atas kedua kakinya sendiri sambil berteriak
lantang membela kebenaran dan terus berusaha mengungkap fakta yang ada, dengan kepala
mendongak ke atas tanpa takut goyah. Senjata mereka adalah keyakinan akan kebenaran. Lantas, siapakah mereka yang ada di pihak ini?
Mereka, segelintir orang yang sering dijuluki sang idealis.
Sosok idealis dalam SUBVERSIF!
hanya diwakili oleh seorang Dokter Torangga. Ah ya, dan sesosok wanita muda
bernama Sarita patut juga dijuluki idealis sebab ia dengan keras dan tegas mempertahankan
dukungannya terhadap Dokter Torangga yang tak lain adalah ayahnya. Sarita
yakin, bahwa ayahnya tidak bersalah, bahwa ayahnya amat cinta pada kota
Kencana, dan bahwa ayahnya hanya ingin menyuarakan kebenaran. Lain halnya dengan
Karina istri Dokter Torangga, wanita ini (tadinya) lebih memilih aman
dan justru berpikiran mengajak Dokter Torangga untuk mengikuti perkataan walikota Jokarna (untuk
tidak mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya kepada masyarakat soal sistem
pengairan dan limbah yang bermasalah).
Alasan Karina sesungguhnya sangat
wajar, ia hanya tak ingin keluarganya terkena imbas buruk. Walikota Jokarna
telah mengeluarkan ancaman bahwa Dokter Torangga akan kehilangan pekerjaan apabila
memutuskan tetap melawan. Di sini, pribadi Karina tampil sebagai ibu
sekaligus istri yang ingin mengabdi pada kewajibannya menjaga keluarga dari
jerat permasalahan cukup serius. Tapi, kadang kala yang luput dari perhatian
adalah, apakah tidak akan bahaya juga jika mereka hidup aman namun dalam
keadaan terancam? Ya, terancam oleh situasi dan kondisi air yang sangat tidak
bersahabat dengan kesehatan, nyatanya? Tidakkah hampir sama bahayanya hidup
dalam ancaman kesehatan dan ancaman kekuasaan?
Sampai di sini, ada tiga hal yang
ingin saya coba bahas. Pertama, persoalan mengenai sosok idealis; kedua,
persoalan mengenai kecenderungan manusia mencari rasa aman yang lebih
kelihatan; dan ketiga, persoalan kekuasaan.
Idealis. Jujur, saya dulu sering
tertawa sinis menanggapi orang-orang idealis. Betapa mereka dengan yakinnya, pedenya, beraninya, serta dengan segala ketidaktakutannya,
mampu untuk menyatakan pendapat, ide, dan hal-hal yang mereka yakini benar.
Seorang idealis di mata saya adalah seorang yang tak mampu digoyah apapun.
Keras kepala? Mungkin. Mudahnya, seorang idealis seringkali tidak kompromis.
Mereka sudah merasa cukup bermodalkan keyakinan bahwa apa yang diyakininya
benar. Saya menduga, seorang idealis tidak akan pernah takut berjalan
sendirian. Jadi, kalau seseorang masih takut berjalan sendirian di jalur
pikirannya sendiri yang dia yakini benar, saya rasa itu bukan sikap seorang
idealis.
Menyaksikan SUBVERSIF! membuat
saya sedikit berefleksi tentang sikap saya selama ini terhadap sosok idealis. Tanpa
ragu sedikitpun, saya menyatakan bahwa saya bukan sosok idealis. Ah, bahkan
seringkali kompromis. Namun begitu, Dokter Torangga seakan ‘menyentil’ saya
bahwa sosok idealis tidak selamanya membuat sinis. Sikap idealis toh nyatanya dibutuhkan untuk perubahan.
Terlebih jika memang ‘sesuatu’ yang diyakini itu berlandaskan pada kebenaran
dan fakta. Untuk apa sih takut jika
memang benar? Untuk apa sih takut
berjalan sendirian dan ditinggalkan jika yang diperjuangkan adalah kebenaran?
Eits, di sini saya kira letak masalahnya. Manusia tidak dapat hidup sendirian, begitu katanya.
Sehingga, terkadang sikap idealis seseorang goyah karena ketakutan-ketakutan
akan ancaman-ancaman yang muncul sebagai dampak sebuah pernyataan sikap. Di
situlah seorang manusia yang mengaku idealis diuji oleh keadaan. Sanggupkah ia
bertahan pada ‘sesuatu’ yang ia yakini benar meskipun pada akhirnya ia harus
sendirian? Atau justru ia terseret ke dalam bentuk-bentuk kompromi yang
menghadirkan rasa aman?
Dokter Torangga memilih opsi yang
pertama. Ia tetap bertahan pada apa yang ia yakini benar, meskipun seluruh
warga kota Kencana, mulai dari lapisan ‘rakyat’ hingga pemimpin yang juga
kakaknya sendiri, memusuhinya. Dokter Torangga dengan gagah menerima gelar ‘Musuh
Rakyat’ yang disematkan padanya. Karena ia tahu, dan ia yakin, sesuatu yang ia
pegang teguh itu adalah kebenaran. Dan kebenaran akan selalu menang. Begitu ‘ide’nya. Di sini, sebuah sisi manis ikut
muncul. Sarita —yang memang juga tidak takut akan hal apapun, bahkan tidak mengenal
kata kompromi— dan Karina, sebagai dua orang yang berelasi keluarga dengan
Dokter Torangga, tetap menyuarakan lantang dukungannya. Meskipun kondisi
kehidupan mereka sudah sangat memprihatinkan —kaca rumah ditimpuki batu, pun
mereka diusir, Dokter Torangga sudah dipecat—, mereka tetap bersama-sama dan
tak terpisah sedikit pun sebagai satu kesatuan utuh bernama ‘keluarga’. That’s what your family is for, right?
Saya kira, keberadaan sosok
idealis masih cukup jarang pada masa sekarang. Sebagian besar orang lebih
cenderung mencari rasa aman dan berlindung di bawah ketiak yang berkuasa. Adapun
mereka yang berjuang hingga titik darah penghabisan, kalah oleh mereka yang
duduk di tahta kekuasaan. Apa benar begini? Atau mungkin hanya dugaan saya
semata saja? Sebagai bukti, Indonesia masih membutuhkan dan
menggadang-gadangkan revolusi mental. Tandanya, mental masing-masing individu
sudah memasuki tahap kritis dan harus segera diperbaiki. Mungkin termasuk
mental saya juga di dalamnya.
Rumah mereka, hancur |
Sebagai seorang manusia, saya
kira sangatlah wajar jika masing-masing individu mencari perasaan aman. Bahkan,
dengan cara apapun, termasuk di dalamnya dengan berkompromi. Namun saya rasa
tidak semua kompromi itu baik adanya. Salah-salah berkompromi, bisa-bisa
seseorang dapat terjebak di dalam keputusan yang ia ambil sendiri. Jika Karina
bersikukuh memaksa Dokter Torangga untuk menyerah, mungkin mereka akan hidup
dalam rasa aman. Aman karena Dokter Torangga tak akan dipecat dan tak akan
kehilangan pekerjaan. Hasil kompromi, kan?
Tapi jikalau demikian, mereka akan menjadi buta atau pura-pura buta terhadap
keadaan air yang tercemar dan sewaktu-waktu dapat menimbulkan dampak yang luas
bagi seluruh penghuni kota Kencana. See?
Coba, saya tunjukan satu contoh
lagi di dalam SUBVERSIF!.
Di akhir cerita, saat Dokter
Torangga sudah berada dalam kondisi amat terpuruk, datanglah seorang tua
bernama Martin Subrata yang juga merupakan ayah dari Karina, istri Dokter
Torangga. Dengan menggunakan harta warisan yang tadinya akan diserahkan kepada
anaknya, Karina dan cucunya, Sarita, Martin Subrata memilih untuk memborong
seluruh saham PT Tambang Harapan Gemilang. Tujuannya, ia ingin meminta Dokter
Torangga memanfaatkan borongan saham tersebut sebagai modal untuk memulai hidup
yang baru.
Di sini Dokter Torangga ditawarkan
kembali ‘rasa aman’ itu. Apakah Dokter Torangga menerimanya? Sekalipun telah diancam
oleh Martin bahwa jika saham itu ditolak, Karina dan Sarita tidak akan
mendapatkan harta warisan, Dokter Torangga tetap tak bergeming. Surat saham PT
Tambang Harapan Gemilang itu berakhir dalam bentuk robekan-robekan kecil.
Karina dan juga Martin Subrata
dalam kedua contoh tadi hanya mencoba menawarkan ‘rasa aman’ yang menurut hemat
saya, memang dibutuhkan oleh manusia. Namun kadang kala, rasa aman yang ‘kelihatan’
itu bisa saja berpotensi menjebak. Pada bagian ini, saya mendapatkan satu hal.
Sebuah langkah kompromistis tidak selamanya memberikan rasa aman yang nyata.
Terkadang, dampaknya hanya bersifat semu dan lebih dari pada itu, ada hal lain
yang bisa saja jauh lebih mengancam. Adalah tugas seorang individu untuk dapat
melihat dan mencari dengan sangat cermat dan jeli, celah untuk menemukan rasa
aman menggunakan seminim mungkin pendekatan kompromistis. Berjuang untuk menggemakan yang dirasa diri benar, mungkin?
Hal yang terakhir dan sekaligus
menjadi inti berbagai permasalahan yang ada, adalah KEKUASAAN. SUBVERSIF!
dengan sangat jelas menunjukkan bahwa mereka yang berkuasa akan dengan sangat
mudah mengontrol keadaan. Pihak-pihak yang berkuasa di sini, yakni walikota
Jokarna, pemilik media Hary Tamboga, dan jajaran direksi PT Tambang Harapan
Gemilang —yang tak pernah dimunculkan— seakan berkongkalikong untuk membentuk
opini publik yang menyatakan bahwa kesalahan seutuhnya terletak pada diri
Dokter Torangga, bahwa apa yang diteliti Dokter Torangga itu tidak benar, dan bahwa Dokter Torangga sedang berusaha menghancurkan kota Kencana. Saat-saat inilah yang dikatakan sebagai manipulasi kesadaran publik oleh mereka yang berkuasa.
Ada satu adegan yang lucu terkait
dengan kekuasaan. Dalam satu rapat umum terbuka yang diadakan oleh Dokter
Torangga untuk mengungkapkan kebenaran terkait kondisi air di kota Kencana,
yang memimpin rapat sama sekali bukan dari pihak Dokter Torangga, melainkan
dari pihak yang beroposisi, yakni Hary Tamboga. Hal ini dapat terjadi karena
dengan kekuasaan dan pangkatnya sebagai ‘WALIKOTA’, Jokarna berhasil
mempengaruhi massa yang hadir untuk bersepakat memilih pemimpin rapat dan itu
adalah Hary Tamboga.
Dengan disetujuinya seorang Hary
Tamboga menjadi pemimpin rapat, maka peluang bicara Dokter Torangga di acara
yang dia helat sendiri pun makin minim. Lucu sekali bukan? Tidak memiliki
kebebasan di acara yang diadakan oleh diri sendiri? Begitulah hebatnya ‘KEKUASAAN’.
Mampu ‘mempermainkan’ mereka yang tidak banyak tahu, tidak banyak memegang
peranan, dan tidak banyak berkuasa.
Setelah bersusah payah merebut kesempatan bicara |
KEKUASAAN tidak selamanya negatif,
memang. Jika KEKUASAAN digunakan sebagai alat yang semestinya, sepatutnya, dan
seharusnya, maka ia akan menjadi senjata yang mensejahterakan. Namun jika
disalahgunakan? Maka sudah pasti yang bergulat di sana adalah orang-orang
opportunis yang menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk mencapai kepentingan
pribadi. Contoh lagi?
Masih ingat contoh saya di atas
mengenai Martin Subrata yang ‘menghadiahi’ Dokter Torangga setumpuk surat
saham? Ketika mengetahui hal ini, Hary Tamboga dan dua kroninya, Billy dan
Hoemario dengan serta merta langsung mendatangi rumah Dokter Torangga seakan
tidak punya malu, dan mereka langsung mencari muka, menjilat, dan mengambil
hati. Saya seketika merasa geli dan jijik sendiri melihat adegan ini saat itu.
Ada ya, orang yang tidak punya rasa malu begitu?
SINGKAT
KATA
SUBVERSIF! memang bukan pertunjukan
teater musikal yang dipenuhi musik dan lagu-lagu menarik sepanjang pertunjukan.
Bukan pula pertunjukan yang menawarkan kemegahan, kemeriahan, atau
dekorasi-dekorasi yang rumit.
Hanya ada tiga hal yang membuat saya ‘mengingat’ pertunjukan ini yakni pertama, tata panggungnya dibuat sedemikian unik dengan eksperimen penggunaan dinding-dinding yang berputar pada suatu poros yang sama untuk menciptakan ruang-ruang panggung. Belakangan diketahui bahwa bentuk panggung ini adalah upaya untuk memvisualisasikan sistem ekspolorasi tambang yang ‘berputar pada satu poros’ ketika melakukan pengeboran. Di SUBVERSIF!, ruang yang dibutuhkan setiap adegan akan tercipta jika dinding set panggung SUBVERSIF! digerakkan memutar. Kemudian yang kedua, saya terkesima dengan akting para pemerannya, terutama dan sangat utama, jelas kepada Teuku Rifnu Wikana selaku Dokter Torangga. Ketiga dan yang paling mengesankan, SUBVERSIF! membuat saya mampu berefleksi, terutama berpikir dalam persoalan individu dengan pergulatannya bersama idealisme, rasa aman, dan kekuasaan, serta berefleksi juga tentang keadaan negara yang senyata-nyatanya di bumi Indonesia.
Hanya ada tiga hal yang membuat saya ‘mengingat’ pertunjukan ini yakni pertama, tata panggungnya dibuat sedemikian unik dengan eksperimen penggunaan dinding-dinding yang berputar pada suatu poros yang sama untuk menciptakan ruang-ruang panggung. Belakangan diketahui bahwa bentuk panggung ini adalah upaya untuk memvisualisasikan sistem ekspolorasi tambang yang ‘berputar pada satu poros’ ketika melakukan pengeboran. Di SUBVERSIF!, ruang yang dibutuhkan setiap adegan akan tercipta jika dinding set panggung SUBVERSIF! digerakkan memutar. Kemudian yang kedua, saya terkesima dengan akting para pemerannya, terutama dan sangat utama, jelas kepada Teuku Rifnu Wikana selaku Dokter Torangga. Ketiga dan yang paling mengesankan, SUBVERSIF! membuat saya mampu berefleksi, terutama berpikir dalam persoalan individu dengan pergulatannya bersama idealisme, rasa aman, dan kekuasaan, serta berefleksi juga tentang keadaan negara yang senyata-nyatanya di bumi Indonesia.
(Benar-benar) singkat kata,
SUBVERSIF! seakan menampilkan betapa opini publik dan pemberitaan sosial dapat
dimonopoli oleh para pemengang kuasa. Dan ini mungkin saja benar terjadi pula
di Indonesia, di mana banyak media secara terang-terangan memihak pihak-pihak
tertentu yang punya kepentingan. Kelihatannya, mereka masih cukup netral atau
malah berusaha netral, namun siapa yang pernah tahu? Untuk itu, massa
bermahkotakan nama ‘RAKYAT’ harus benar-benar mau menjadi cerdas sebelum
menilai suatu hal. Salah-salah menilai, mereka di atas sana bisa-bisa
mentertawakan kebodohan kita rakyat-rakyat kecil tak punya pangkat ini, karena telah terjebak ke dalam permainan mereka menciptakan pembodohan massal. So, let's be smart!
SELAMAT! |
“Mayoritas
selalu benar adalah tirani kebenaran! Mayoritas selalu benar adalah kebohongan
sosial! Setiap manusia merdeka dan berakal sehat harus memberontak terhadapnya”
“Aku
manusia merdeka dan terhormat. Sekalipun bumi runtuh, aku tak akan tunduk.” -
Dokter Torangga
“Untuk
mendapatkan kemenangan dan kebebasan, selalu dibutuhkan pengorbanan.” – Dokter Torangga