Bagi kita yang mengenyam pendidikan Sekolah Dasar di Indonesia pada tahun 1990-an, pasti pernah belajar yang namanya peribahasa di kelas Bahasa Indonesia. Saya tidak begitu yakin kalau di tahun 2000-an sekarang pelajaran tersebut masih diajarkan.
Saya ingat, dulu saya pernah membeli buku berisikan 1700 peribahasa Indonesia demi keperluan pembelajaran saya ketika SD. Dan satu dari sekian banyak peribahasa yang saya ingat adalah sama seperti yang dikutip dalam judul tulisan ini, "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian". Artinya, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Sepenggal kalimat tersebut kemudian mengusik pikiran saya manakala saya menyaksikan Bapak Menteri Perhubungan di Kabinet Kerja, Ignasius Jonan, menegur Direktur Air Asia Indonesia atas prosedur yang keliru diterapkan. Bukan, bukan teguran tersebut yang mengusik saya. Saya justru terusik dengan ingatan saya bahwa saya pernah sangat antipati dengan sosok beliau. Beberapa tahun lalu.
Begini hubungannya. Dulu, ketika saya sedang menempuh masa-masa akhir pendidikan semester 6, saya mendapat kabar bahwa stasiun UI akan digusur. Saya sontak terkejut dan kecewa dengan PT KAI yang kala itu dipimpin oleh Bapak Jonan. Dalam waktu dekat, saya akan kehilangan berbagai pedagang. Bagaimana tidak, stasiun UI memang dikenal memiliki banyak kios di sekitar peron yang menawarkan berbagai macam jasa dan barang dagangan. Mulai dari tempat print dan fotocopy, tempat makan, warung, tempat cetak souvenir, dan masih banyak lagi. Sulit untuk tidak merasa sedih saat membayangkan semua itu akan dihancurkan dalam waktu singkat. Jujur, kemudahan menemukan apa yang saya cari di peron itu menjadi salah satu faktor yang membuat saya kehilangan. Ditambah lagi, informasi yang saya dapat menerangkan bahwa para pedagang itu sudah lama menggantungkan rejekinya pada peron stasiun UI itu. Kemana mereka akan pindah setelah itu? Darimana sumber penghasilan mereka setelah mereka angkat kaki dari peron stasiun?
Kabar penggusuran itupun ramai diperbincangkan di media sosial twitter dan menimbulkan berbagai reaksi. Reaksi yang mendominasi tentu saja yang menolak penggusuran. Termasuk saya di dalamnya. Meskipun sepertinya hanya sedikit kelompok yang mendukung, toh akhirnya bangunan pedagang yang di peron dihabiskan semua. Pintu kecil yang biasa menjadi jalan pintas menuju Jalan Margonda juga ikut ditutup dan akhirnya membuat jarak tempuh saya ke kosan semakin jauh. Hal itu juga akhirnya berpengaruh pada lemahnya usaha yang mengambil lokasi di gang Pepaya (sebuah gang yang menghubungkan peron stasiun UI dengan Jalan Margonda). Saya berkesimpulan, suara mayoritas yang digadang-gadang tak berhasil pula didengarkan. Dan saya mulai antipati pada Bapak Jonan.
Tidak berselang begitu lama dari penggusuran stasiun UI, saya juga mendengar bahwa pedagang di stasiun-stasiun lain Jabodetabek juga digusur. Penolakan ada, namun tak terlalu terdengar. Area-area di stasiun-stasiun yang ada, berikut peronnya menjadi steril. Hanya minimarket yang kemudian bisa dibuat ada. Saya makin antipati.
Tak disangka-sangka, hanya dalam waktu beberapa minggu, lanjut ke beberapa bulan, saya melihat dan merasa adanya perubahan. Positif. Stasiun-stasiun menjadi bersih dan rapi. Termasuk stasiun UI. Area bekas berdirinya kios di peron stasiun UI dirapikan dan ditata. Stasiun Pasar Minggu yang berjeda beberapa stasiun saja dari UI pun tampak lebih baik. Lebih elegan dan lebih mewah. Stasiun Sudirman apalagi. Ampun-ampun bagus dan tertatanya. Stasiun Poris yang letaknya di dekat rumah saya dan bukan menjadi stasiun di jalur utama saja, disulap menjadi lebih apik dan bagus.
Bukan hanya penampilan, kemajuan lain juga ternyata terdapat pada aspek pembelian tiket dan pembayaran kereta. KAI menerapkan sistem pembayaran dengan kartu, dan harga menjadi lebih murah karena aturan tarif berubah. Barangsiapa yang tidak memiliki kartu, tidak akan bisa memiliki akses untuk ke peron. Tidak ada lagi penumpang-penumpang gelap yang naik tanpa bayar. Unit KRL Ekonomi dan Ekspress ditiadakan, KRL Commuter Line ber-AC ditambahkan. Gerbong juga diperpanjang. Rute juga dibuat lebih mudah. Semua ternyata menjadi jauh lebih enak dan nyaman.
See? Kejadian ini membuat saya berbalik 180° memuji Pak Jonan. Keberaniannya mengambil sebuah tindakan dan keputusan membuat semua yang menolak akhirnya menjadi penikmat. Juga saya. Kalian yang seringkali atau bahkan rutin menumpang KRL pun pasti merasakan kemajuannya, bukan? Mungkin memang tak luar biasa sempurna, tapi jauh lebih baik dari sebelumnya. Jujur, saya jauh lebih bersyukur dengan keadaan KRL yang ada sekarang. Tak ada lagi tarif mahal, tak ada lagi perbedaan kelas kereta, semua kalangan bisa naik kereta dengan tarif yang terjangkau. Bayangkan, kendaraan lain apa yang bebas macet dan tarifnya tak lebih dari 6.000 rupiah? Atau bahkan paling mahal 7.000 rupiah?
Itu baru salah satu kebijakan yang menurut saya menyusahkan di awal, menikmatkan di akhir. Lebih dari itu, memasuki pemerintahan baru 2014-2019, saya mengamati bahwa ada beberapa peraturan yang saya kira juga berdampak pada timbulnya kesulitan (di awal).
Sebut saja kenaikan harga BBM pada bulan Desember lalu. Kenaikan harga sebesar 2.000 rupiah per liter itu (meskipun sekarang sudah turun lagi) langsung menuai dampak yang terasa oleh rakyat bahkan bos-bos empunya usaha. Kendaraan umum langsung mahal ongkosnya. Harga bahan pokok naik. Ini itu juga ikut-ikutan menguras kantong. Entah memang terdesak untuk menaikkan harga atau hanya sekadar mengambil kesempatan, saya juga tidak tahu pasti. Efeknya langsung terasa. Tak hanya rakyat biasa, bos-bos juga kelimpungan karena dituntut menaikkan gaji karyawan. Semua terkena imbas karena harga BBM yang ditambah. Kritik banyak dilontarkan di saat pujian juga diserukan. Yang memang sudah antipati menjadi tambah benci, sebaliknya yang simpati ikut memberikan opini.
Saya sendiri masuk ke dalam kelompok simpati. Berusaha mengerti meskipun saya sendiri jadi rugi. Transportasi yang biasanya 8.000 harus saya amini ketika berubah jadi 10.000. Begitupun dengan harga kebutuhan lain yang membuat anggaran harus digonta-ganti lagi. Namun, lebih daripada itu, saya punya apa yang dinamakan keyakinan. Keyakinan bahwa nantinya semua akan membaik. Ya, mungkin tak akan secepat naik jet ke Pulau Seribu, tapi perlahan-lahan, keadaan seperti ini pasti membaik karena ditujukan untuk tujuan baik. Pikiran positif saja dulu, subsidi BBM yang dialihkan, pasti akan digunakan untuk kepentingan yang lebih darurat. (Baca: Solusi BBM naik). Tapi tapi, kalau sampai menjelang akhir pemerintahan tak membaik, baru kita protes. Sekarang, mari ditunggu saja, toh belum genap setahun juga, loh mereka bekerja.
Terakhir, satu lagi contoh kebijakan tak populis yang bisa saya berikan sorotan. Pelarangan penggunaan motor di jalan protokol Ibu kota. Tentunya dan pastinya, hal ini akan dihujat sebagian besar para pengguna motor yang terbiasa nyaman pakai motor. Terbukti, sedikit opini pro dan banyak opini kontra memenuhi forum bahkan sosial media di tengah masyarakat. Ada yang berpikir bahwa mengapa harus motor yang disingkirkan dan bukannya mobil, karena mobil justru memakan ruas jalan lebih banyak? Ada yang merasa bahwa mengapa rakyat kecil harus dibiarkan menderita karena tidak boleh lagi menggunakan motor? Padahal, tidak semua rakyat kecil memiliki motor. Sepengetahuan saya, rakyat kecil itu justru bergantung pada angkutan umum, bahkan terkadang pada kakinya sendiri. Lagi-lagi saya yakin, kebijakan ini bukanlah kebijakan yang akan terus-terusan menyengsarakan. Hanya bersusah-susah di awal beradaptasi dengan kendaraan selain motor apakah begitu sulit dan membuat sengsara? Saya amat yakin, selama ini yang membuat macet justru adalah keberadaan motor. Mobil yang hanya berisi satu dua orang saja pasti juga mengambil andil, tapi tidak se-semrawut motor. Melihat motor pada hari kerja saja, sama seperti melihat gerombolan semut yang tak ada habisnya. Dan lagi-lagi menurut saya, apabila masyarakat pengguna motor bisa sedikit legowo dengan kebijakan ini, dan sedikit mau susah-susahan naik kendaraan umum, niscaya keteraturan akan bisa kita raih dalam waktu yang tidak lama-lama lagi. Semua butuh proses, memang. Tapi, apa salahnya kita mendukung dan kembali ke penggalan tulisan saya di atas, kalau sampai menjelang akhir pemerintahan, kebijakan ini tak menimbulkan dampak baik, baru kita ajukan protes.
Harapan saya hanya satu, bahwa pada akhirnya kita semua sama-sama mau untuk berakit-rakit dulu ke hulu. Baik masyarakatnya maupun berbagai elemen yang bekerja di pemerintahan. Toh, akan lebih enak berenang-renang ke tepian bersama-sama kan?
nice :)
ReplyDeleteAkhirnya nggak cuma klik link doang ya nic tapi dicomment juga :''' terharu
Deletekalo kasus penggusuran peron, tidak.
ReplyDeletemenurut gw, yang mayoritas bukanlah mahasiswa atau pedagang yang berteriak- teriak menolak.
yang mayoritas adalah yang diam, dalam hal ini lapisan masyarakat penumpang KRL- KRL tersebut yang sama sekali tidak memprotes penggusuran tersebut.
Jadi, mayoritas mendukung penggusuran tersebut karena keadaan stasiun kelewat ga bener dan bener- bener kumuh.
cuma, karena mereka ga menyuarakan apa- apa, maka dianggapnya ga ada dan bukan mayoritas.
toh sekarang pedagang- pedagang itu ga bisa protes, karena peron penuh terus.
begitu sih menurut gw.
overall, ini artikel bagus. mengingatkan orang bahwa semua butuh proses.
Well, kita nggak pernah tau sebenernya mereka mendukung atau menolak. Cuma karena persepsi gue di sini tentang mayoritas/minoritas adalah dari mereka yang memberikan suara atau opini. Jadinya suara yang ramai waktu itu dan tertangkap oleh gue adalah yang kebanyakan menolak (menurut kacamata gue, bisa juga keliru, sih, hehe)...
DeleteTerlepas dari itu, tujuan utama nulis ini memang ingin menyadarkan orang bahwa memang tak selalu kebijakan yang keluar itu dapat menyenangkan semua pihak. Akan tetapi kita harus sadar, tujuan apa yang sekiranya dinanti di depan dalam suatu kebijakan.
Thank you for reading and giving your comment, Vin :)