Saturday, January 24, 2015

Butuh Cerdas Untuk Mengikuti Drama KPK-Polri Bulan Januari.

Semenjak Komjen Budi Gunawan diusulkan sebagai cakapolri oleh Presiden Jokowi dan diikuti penetapannya sebagai tersangka oleh KPK, media mulai terus diramaikan dengan berita-berita terbaru tentang beliau. Perdebatan juga muncul tak hanya di kalangan tokoh publik dan tokoh ternama, melainkan juga melalui berbagai media sosial yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Begitulah dampak kebebasan berpendapat di jaman serba terbuka sekarang ini. Apa saja bisa disampaikan dan disuarakan dengan bebas menggunakan media yang bertebaran.

Saya rasa semuanya sudah tahu bahwa Komjen BG ditetapkan sebagai tersangka SATU hari sebelum Fit & Proper Test dilakukan oleh DPR. Dari situ, kemudian munculah dugaan bahwa penetapan tersangka Komjen BG oleh KPK sebagai salah satu langkah yang berbau-bau politik. Sulit memang untuk mengabaikan dugaan itu, mengingat penetapan Komjen BG sebagai tersangka dugaan rekening gendut terkesan sangat mendadak. Padahal, kasus itu merupakan kasus dari bertahun-tahun lalu, mungkin bahkan dari waktu saya masih cuek dengan berita-berita terkait negara.

Hal yang menarik adalah, peliknya kasus Komjen BG baik sebagai tersangka maupun sebagai cakapolri yang dipertanyakan kelayakannya ini seakan menjadi gerbong paling depan, yang diikuti gerbong-gerbong kasus lainnya. Sebut saja pengungkapan salah satu politisi PDI-P terkait dugaan pelanggaran etik pimpinan KPK, Abraham Samad, yang membuka isu tentang enam kali pertemuan beliau dengan PDI-P saat bursa cawapres Jokowi 2014 lalu. Gerbong yang menyusul di belakangnya ialah ketika wakil pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, ditangkap oleh tim Bareskrim Polri pada hari Jumat, 23 Januari 2015 kemarin karena dugaan kasus pengarahan kesaksian palsu pada Pilkada Bupati Kotawaringin Barat. Nah, mengutip kata-kata Butet Kertaradjasa yang diungkapkan kepada media, "...segoblok-gobloknya orang Indonesia, meskipun Polri mengatakan itu bukan bagian dari skenario, tapi kita kan bukan orang goblok..." (Sumber - diakses pada 24 Januari 2015, 17:16).

Memang benar, di tengah kepemimpinan Presiden Jokowi sekarang, banyak orang-orang yang sudah mulai melek akan kondisi dan situasi politik juga situasi pemerintahan bangsa ini. Bahkan, kaum awam yang jarang baca berita seperti saya pun akan melihat kasus saling menersangkakan ini sebagai upaya politisasi - kriminalisasi yang disebabkan adanya kepentingan pihak-pihak tertentu. Lantas, bagaimanakah sikap kita seharusnya?

Jika kalian ingin mengetahui opini seorang awam yang sok tahu seperti saya, silahkan baca tulisan ini sampai selesai. Namun, jika kalian merasa yakin akan sikap yang sudah kalian ambil, silahkan tinggalkan tulisan ini. Saya sih nggak masalah. Ini tulisan iseng kok :)

Saya tidak menampik pandangan bahwa masyarakat saat ini sudah mulai kritis, sudah mulai berani menyuarakan pendapat, mulai terang-terangan menyampaikan dukungan maupun penentangan akan suatu hal maupun kejadian. Tapi hati-hati, apakah sikap kritis yang kita tampilkan itu benar-benar dilakukan karena peduli, atau justru hanya ikut-ikutan tren 'kritis' masa kini? Saya pribadi berusaha menjadi yang pertama dan menjauhi alasan kedua. Namun, demi sikap kritis yang benar-benar ditimbulkan karena peduli, jangan biarkan pandangan kita diusik oleh provokasi yang banyak dimanfaatkan oleh kalangan tertentu. Hati-hati.

Mengenai persoalan KPK-POLRI di bulan Januari ini, saya memiliki beberapa pandangan tersendiri yang akhirnya menggiring saya untuk mengambil satu sikap sebagai anggota masyarakat Indonesia. Saya memilih untuk menghasilkan tulisan ini. Saya memilih untuk berusaha mengajak kalian berpikir jernih. Mudah-mudahan usaha saya berhasil.

Keisengan saya ini muncul karena keresahan saya saat membaca begitu banyak status Facebook maupun Twitter dari netizen yang terkesan terburu-buru menyalahkan salah satu pihak. Baik menyalahkan pihak bapak Presiden, menyalahkan pihak KPK, maupun menyalahkan pihak Polri. Pertanyaan saya satu, sudahkah kesimpulan mereka itu dihasilkan dari kumpulan informasi dan data yang lengkap? Sudahkah sikap menyalahkan atau mendukung salah satu pihak didasarkan pada fakta yang memiliki bukti yang kuat? Ataukah sikap itu muncul hanya karena mereka (mungkin juga kalian) ingin ikut-ikutan dibilang sebagai rakyat yang kritis dan sedang mengawal jalannya pemerintahan?

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) BUKAN milik AS atau BW

Hadirnya KPK sebagai satu-satunya lembaga yang bertugas menumpas para koruptor membuat KPK memiliki senjata yang amat solid dan kuat, yap, harapan dan kepercayaan rakyat yang jelas-jelas antikorupsi. Harapan dan kepercayaan rakyat yang berbuah dukungan kuat pada KPK itu seolah membuat KPK dipandang sebagai malaikat negara dan lembaga negara yang 'super'. KPK selalu benar, begitu prinsipnya.

Harus diakui, pengungkapan berbagai kasus korupsi yang berhasil dilakukan oleh KPK seakan mampu memperkuat julukan 'malaikat' itu dari hari ke hari. Lantas pertanyaannya, apakah di dunia ini ada, sesuatu yang benar-benar berwujud 'malaikat'? Mungkin, KPK sebagai lembaga bisa kita juluki malaikat. Akan tetapi, bukan tidak mungkin kan ada pihak-pihak yang menjadikan KPK sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu? Pihak-pihak ini yang tidak cocok dijuluki malaikat.

Saya bukannya mendukung tindakan korupsi. Jelas, saya menentang. Akan tetapi, apakah tagar #SaveKPK yang disuarakan itu harus berarti kita #SaveSamad dan #SaveBW pula? Menurut saya, tidak.

Saya berani bilang, bukan berarti orang-orang yang menyerang Samad dan menyerang BW (atau mungkin menyerang komisioner KPK lain) mendukung yang namanya korupsi. Belum tentu, kawan. Kita boleh saja me'malaikat'kan KPK, tapi saya rasa, kurang tepat jika kita juga me'malaikat'kan para pimpinannya. Pimpinan KPK adalah manusia yang juga mungkin melakukan kesalahan. Dan untuk mengambil kesimpulan terkait pimpinan KPK, terkait mereka salah atau tidak, akan lebih baik jika kita berbicara berdasarkan bukti dan fakta. Mata kita pertama-tama harus terbuka. Akan tidak elok jika kesimpulan pikiran kita hanya berdasarkan pendapat media, maupun pendapat-pendapat pihak tertentu yang punya kekuatan mempengaruhi opini publik. Lagi-lagi hati-hati.

Sekarang, satu persatu kasus pimpinan KPK mulai dikuak ke permukaan. BW sudah dijadikan tersangka. AS sudah ditimpa isu tidak sedap terkait pelanggaran etik pimpinan KPK. Bisa-bisa, menyusul pula di belakangnya, kasus yang menimpa Adnan Pandu Praja pun diungkap. KPK terancam lumpuh karena boleh dibilang semua pimpinannya terancam 'diserang'. Saya setuju, kita harus dukung #SaveKPK. Tapi, saya menolak jika saya harus dukung #SaveSamad atau #SaveBW. Dan saya menyayangkan orang-orang yang mendukung #SaveSamad atau #SaveBW hanya karena orang-orang itu mendukung KPK.

KPK memang harus diselamatkan. KPK harus ada untuk terus memberantas korupsi. Tapi di sisi lain, kasus yang menimpa Abraham Samad dan Bambang Widjojanto harus tetap diungkap kebenarannya. Sulit untuk diabaikan karena sudah terlanjur diungkapkan.

Lagi-lagi, akan sangat terburu-buru jika kalian sudah menentukan sikap mendukung Samad atau BW tanpa tahu mereka itu sebenarnya benar atau salah. Saya bukan anak Samad jadi saya tidak tahu apakah ia benar atau tidak. Saya juga bukan isteri BW. Jadi saya tidak tahu BW benar atau salah. Yang pasti, asap tidak mungkin muncul kalau tidak ada api. Dan saya, memilih untuk menunggu kebenaran itu terungkap, nanti.

Satu hal sebelum saya membuka bahasan selanjutnya, kita harus SADAR pula bahwa, tuduhan yang dilayangkan pada Abraham Samad dan juga kasus yang menimpa BW adalah murni urusan personal yang menimpa per-pribadi, bukan menimpa KPK sebagai lembaga. Hanya saja, pihak-pihak yang 'tahu', sangat pintar (atau malah sebaliknya) memanfaatkan momen yang ada. Momen di mana Komjen BG sudah di-tersangka-kan terlebih dahulu. Momen di mana, kaum awam dapat menarik kesimpulan dengan cepat bahwa KPK dan POLRI sedang berbalas serangan dan adu kekuatan. Momen di mana, dengan mudahnya opini publik dapat digiring pada kesimpulan bahwa 'KPK DISERANG'. Karena ini memang masih momen di mana Samad dan BW masih menjadi komisioner KPK.

Jika memang KPK akan kehilangan para komisionernya, bisa saja KPK akan menjadi lumpuh. Tapi, menurut sok-tahu-nya saya, sepertinya kelumpuhan KPK sangat mungkin kok berlangsung hanya dalam waktu singkat. Atau mungkin tidak sampai lumpuh sudah divaksin duluan. Jadi, nantinya KPK akan tetap kembali dengan jajaran komisioner yang benar-benar baru untuk menjegal para koruptor yang berkeliaran.

Kesimpulannya, saya akan mendukung #SaveKPK dan tidak akan mendukung #SaveSamad - #SaveBW. Mudah saja untuk setuju dengan saya. Coba pikirkan, apakah kita akan ikut menyuarakan #SaveKPK jika seandainya kasus Samad dan BW diungkap setelah masa jabatan mereka berakhir nanti? Nah, semoga kelihatan ya pembedaannya.

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (POLRI)

Jujur, saya sangat menyayangkan tindakan Bareskrim POLRI yang ikut memberikan predikat tersangka kepada salah satu pimpinan KPK, yakni BW. Tindakan yang sangat terkesan sebagai pembalasan akan predikat tersangka yang disematkan terlebih dahulu kepada Komjen BG sebagai calon petinggi POLRI. Meskipun BW nantinya terbukti salah, namun mengapa harus sekarang Bareskrim menangkap beliau? 

Haha, pertanyaan yang sama rasanya dapat dilemparkan juga ke KPK. Kalaupun Komjen BG memang bersalah, mengapa KPK menersangkakan beliau SATU hari sebelum Fit & Proper Test. Mengapa KPK tidak menersangkakan beliau jauh-jauh hari sebelumnya jika memang mereka sudah punya bukti ATAU menersangkakan beliau NANTI setelah dilantik?

Asumsi saya, tindakan tersangka-menersangkakan ini memiliki maksud terselubung. Ada maksud-maksud yang baru bisa diDUGA-DUGA oleh berbagai pihak tapi belum bisa mereka BUKTIKAN. Ada maksud-maksud yang (masih) hanya disimpan oleh mereka yang sedang 'bermain' di sana. Mungkin motif 'dendam'? Atau mungkin hanya pembalasan? Bisa juga adu kekuatan? Atau barangkali, ajang mencari perhatian? 

Hasilnya, tagar #SavePOLRI pun ikut muncul mendampingi #SaveKPK. Jelas, saya juga mendukung #SavePOLRI. Tapi, saya tidak mendukung jika ada yang nantinya ikut membuat #SaveBG. Komjen BG juga harus berjuang membuktikan jika dirinya merasa tidak bersalah. Kalau nantinya pun ia terbukti bersalah, maka dengan sendirinya jabatan KAPOLRI harus direlakan menjadi milik orang lain. Idealnya begitu, bukan?

Menurut saya, dengan kasus Komjen BG, bukan berarti institusi POLRI secara keseluruhan harus dicap buruk. Suka tidak suka, mau tidak mau, POLRI tetap dibutuhkan oleh masyarakat. Tak hanya #SaveKPK yang harus digembar-gemborkan, #SavePOLRI juga dong.

Meskipun banyak hal miring tentang kinerja polisi, tapi apakah kalian pernah membayangkan apa jadinya negara tanpa polisi, tanpa POLRI? Ada pencurian, kalian mau lapor ke siapa? Ada perampokan, kalian mau mengadu ke siapa? Ada pelecehan, perkosaan, penganiayaan, pembunuhan, kalian mau minta bantuan sama siapa?

Itulah mengapa kita tetap membutuhkan institusi POLRI. Lalu mengapa seolah-olah dukungan hanya diberikan kepada KPK semata dan POLRI menjadi pihak yang ditinggalkan? Jika orang-orang beranggapan mendukung BW sama saja mendukung KPK dan menyerang BW sama saja menyerang KPK serta mendukung korupsi, apakah jika orang-orang menentang Komjen BG, orang-orang mau dianggap membenci POLRI dan mendukung kejahatan?

Saya berpendapat, POLRI tetap dibutuhkan dan harus diselamatkan. Kecuali jika memang ada, pihak-pihak yang siap untuk memberlakukan hukum rimba di negara ini. 

JOKOWI

Pada akhirnya, banyak pihak, banyak kalangan dan lapisan masyarakat yang (tadinya) mendukung Jokowi menyatakan penyesalan terhadap pilihannya itu. Kalau boleh saya ngunek, "Woy! Mang gampang jadi presiden? Jangankan mimpin negara, mimpin diri sendiri aja belom tentu gue becus! Masih sukur Jokowi mau ngeribet-ribetin diri maju jadi Presiden. Kalopun doi jelek, setidaknya di kalangan capres kemaren, Jokowi meeen yang paling baek di antara yang laen. Dikata mimpin negara gampang kali."

Kalaupun ada yang gembar-gembor penyesalan, kekecewaan, kemarahan, penyayangan terhadap bapak asal Solo yang sedang memimpin negara itu, nah lalu siapa yang menurut mereka layak menjadi Presiden? Atau, solusi apa yang mereka bisa tawarkan seandainya mereka yang ada di posisi Presiden? Sudah ditekan partai pendukung, ditekan pendukung, ditekan ini ditekan itu, syukur-syukur tidak ditekan juga sama isteri sendiri. 

Saya pendukung Jokowi. Dan bukan berarti saya menutup mata terhadap celetukan-celetukan yang mengkritisi kinerja Jokowi. Tapi, PR baru bagi saya sebagai pihak yang harus bertanggung jawab karena telah memberikan suara pada Jokowi di pemilu kemarin adalah, bagaimana saya memilah-milih pandangan orang lain yang mengkritik. Kritik mana yang benar-benar kritik berdasarkan fakta, kritik mana yang hanya muncul karena ikut-ikutan saja tanpa fakta, dan kritik mana yang memang bertujuan menyadarkan Jokowi untuk menjaga negara Indonesia.

Memilah kritik dan opini yang memenuhi media-media Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah. Salah-salah baca, bisa-bisa saya terlalu cepat mengambil kesimpulan. Salah-salah data, bisa-bisa saya malah mengkerdilkan pemikiran dan pandangan saya sendiri terhadap Jokowi. Dan saya rasa, itulah yang banyak terjadi pada sebagian pendukung Jokowi. 

Baru lebih sedikit dari tiga bulan Jokowi memimpin, dan sudah banyak kekecewaan yang datang dari sana sini terhadap sikap Jokowi. Mirisnya, kekecewaan ini seakan muncul hanya karena sikap Jokowi yang memilih diam dan 'aman' dalam dinamika KPK vs POLRI. Padahal, banyak juga loh hal-hal dan perubahan positif yang sudah dilakukan selama kepemimpinan Jokowi. Nah, semua itu tidak ikut dinilai juga?

Sebagai pendukung Jokowi, bukan berarti saya tidak mau mengkritik Jokowi. Hanya saja, karena saya tidak mau asal kritik, saya lebih memilih mengamati. Saya belum merasa memiliki fakta yang cukup untuk koar-koar mengkritik. Saya belum merasa 100% mengamati serta mengawasi kinerja Jokowi dan jajarannya selama tiga bulan ini. Sehingga, terlalu 'ikut-ikutan' dan terlalu cepat rasanya, jika saya melempar kritik begitu saja terhadap Jokowi.

Masih sebagai pendukung Jokowi, saya mendukung adanya kritik dan peringatan yang kiranya mau diberikan terhadap beliau. Tapi lagi-lagi, harus berlandaskan fakta dan data. Bukan asal kritik. Saya juga tidak setuju jika suatu pemerintahan berjalan aman-aman saja tanpa kritik, nanti justru bisa semena-mena dong. Kritik boleh diberikan. Sikap kritis boleh diterapkan. Asalkan, secara CERDAS dan beralasan.

Kita harus realistis. Kita harus secara sadar mengakui beberapa hal yang terjadi. Sadar bahwa kepentingan seringkali bermain. Sadar bahwa tipis kemungkinannya, jika seseorang yang dihantarkan ke jabatan tertinggi harus 'dipaksa' dan 'ditekan' untuk meninggalkan mereka yang mengantar. Baik meninggalkan pengantar dari kalangan atas maupun pengantar dari kalangan bawah. Sadar bahwa sulit menyatukan keinginan pendukung dari kalangan atas dengan keinginan pendukung dari kalangan bawah. Sadar bahwa tidak mudah menjadi seorang presiden seperti Jokowi.

Saya yakin (tahu karena sok tahu) Jokowi sedang berada di posisi yang sulit. Beliau sedang berusaha mencari titik temu paling memungkinkan. Titik temu yang paling aman dan paling tidak riskan untuk meredakan ketegangan berbagai pihak. Titik temu yang mampu memuaskan pendukung yang 'atas' maupun pendukung dari 'bawah'. Titik temu yang membuat jabatan 'presiden'-nya tidak diragukan. Dan kita harus kembali sadar bahwa itu semua tidak mudah. 

Saya sempat berdiskusi dengan seorang teman beberapa hari yang lalu. Ia mengatakan pada saya, bahwa ia sangat jarang menemukan orang yang bisa berada di posisi penuh tekanan, penuh hasutan kepentingan, dan menjadi cerdik dalam waktu bersamaan. Di situlah tantangan yang harus dihadapi oleh Jokowi.

Bisakah Jokowi menyenangkan semua pihak? Rasanya sulit. Jokowi bukan DEWA. Untuk itu, dia harus cerdik. Harus 'licik' dan pandai memainkan perannya secara cantik dan ciamik. Dengan -mau tidak mau- rela mengorbankan beberapa hal -mungkin menerima sindiran, mungkin kritikan, mungkin hinaan, ejekan, ledekan, dan lainnya-. Tapi saya yakin hingga hari ini, Jokowi tidak mungkin memilih mengorbankan kepentingan rakyat.

Dengan track record yang dicapai Jokowi hingga sekarang, saya punya keyakinan (dan semoga saya tidak kecewa nantinya) bahwa jabatan presiden yang dimiliki Jokowi akan beliau gunakan untuk mencapai kesejahteraan di Indonesia. Dan saya masih punya kesabaran untuk menunggu. Masih ada empat tahun lagi untuk menunggu dan sembilan bulan buat kritik kalau memang doi kerjanya lama-lama jadi nggak benar.

Saya yakin sampai hari ini, jabatan presiden yang dimiliki Jokowi akan digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan baik. Hanya saja, 'baik' untuk negara ini tidak mungkin dicapai dalam waktu singkat. Memimpin negara, apalagi Indonesia, tidak seinstan memasak Indomie. Banyak pihak-pihak yang tidak bisa tidak harus diubah 'mental'nya. Dan lagi, mengubah mental seseorang, tidak bisa semudah mengajarkan anak kecil belajar membaca.

Ingat, memimpin negara tidak semudah memimpin diri sendiri. Memimpin diri sendiri saja sudah sulit, bukan? Untuk itu, jadilah CERDAS dalam melayangkan kritik dan memberikan pandangan.

AKHIR KATA

Dengan tulisan iseng ini, saya hanya ingin mengajak kalian untuk menjadi bijak. Saya sendiri juga belum tentu bijak, tapi setidaknya kita harus mampu untuk 'membelalak'. Membuka mata lebar-lebar dan berusaha menemukan yang BENAR. Juga mampu untuk SADAR. Sadar dan mengakui bahwa kita semua butuh KPK dan butuh POLRI, juga butuh seorang Presiden. Sadar bahwa kritik dan sikap kritis bukanlah sebuah 'tren' melainkan bentuk tanggung jawab atas status kita sebagai bagian dari negara Indonesia. Sadar bahwa kita harus mengkritik dan mengawasi dengan cerdas, bukan dengan asal. Dan terakhir, sadar bahwa kita sama-sama punya harta yang namanya Indonesia. Sebuah negara yang harus kita jaga kesatuan persatuannya dan harus kita harumkan namanya.

Jangan sampai kritik dan opini yang tak cerdas memenuhi linimasa dan menjadi sorotan dunia. Sudah cukuplah presiden sebelumnya dibikin malu sama rakyatnya sendiri di media sosial, jangan sampai presiden yang ini juga. Malu sama negara lain, malu. 

Akhir kata, jangan terburu-buru berkesimpulan dan mendiskreditkan pihak-pihak tertentu, jika masih ada banyak hal yang belum jelas dan belum pasti.

Dukung, awasi, dan kritisi dengan CERDAS, bukan dengan BERINGAS.


Tulisan iseng yang diselesaikan pada 24 Januari 2015, 21:33
Ditulis oleh seorang yang suka sok tahu, bukan anak FH, bukan juga jebolan FISIP, sama sekali belum pantas dibilang cerdas, baru enam bulan belakangan suka baca berita (itupun jarang-jarang), dan sosok yang sedang berusaha meninggalkan kebiasaan plin-plan.

REFERENSI

Merupakan beberapa link yang saya usulkan untuk dibaca dan sudah saya baca sebelum menghasilkan tulisan di atas


Sebelum benar-benar berakhir,

Saya suka mengikuti linimasa @kurawa di twitter. Analisisnya CERDAS dan masuk akal. Akunnya tidak anonim. Dan beberapa hasil analisisnya terbukti benar. Memang, terlalu berpihak pada Jokowi. Hanya saja, saya yakin, @kurawa bisa realistis. 

No comments:

Post a Comment

Thanks for leaving a comment :)