Monday, June 23, 2014

Awal Mula. Air Laut. Pantai. Ombak.

Awal mula. Dua kata yang biasa bersama. Tapi ternyata katanya berbeda.
Tak soal bagi saya mana yang paling utama. Awal atau mula? Atau bahkan sepasang awal dan mula? Apa malah jangan-jangan mula dahulu baru awal, sehingga menjadi mula awal?

Cerita ini berkaitan dengan awal dan mula dalam hidup saya. Saya suka pantai. Tapi itu bukan awal maupun mula. Saya suka laut dan air laut. Tapi itu bukan awal maupun mula. Saya suka ombak. Tapi, lagi-lagi itu bukan awal maupun mula. Itu semua hanya akibat dari apa yang saya alami sebagai sebab. Sebab yang mungkin bisa jadi awal atau mula.

Bagaimana awal mula saya mencintai pantai, air laut, dan ombaknya?

Saya tidak dilahirkan di pesisir pantai. Saya tidak pula dibesarkan di atas kapal nelayan. Saya hanya tumbuh di keluarga yang sempat menjejalkan saya pemandangan pantai sejak saya duduk di kelas 6 SD. Awalnya, saya diajak ikut ke pantai Ancol. Tak lama, kami berganti hobi menjadi pengunjung setia Anyer dan Carita. Hampir satu dua kali dalam satu sampai dua bulan, saya diajak orang tua saya ke pantai. Pantai Ancol berlanjut ke Pantai Anyer dan tetangganya, Carita menjadi kunjungan favorit kami. Pernah juga ke Pantai Parang Tritis ketika saya berada di level yang sama. Kelas 6 SD. Semua dijalankan bersama keluarga. Senang rasanya.

Beranjak kuliah, sudah bisa bebas kemana-mana. Saya mulai pergi bersama teman-teman sebaya. Rencana yang tak begitu matang tapi untungnya terlaksana. Saya lihat pantai lagi. Saya lihat laut lagi. Saya dengar ombak lagi. Saya pergi ke pulau Tidung. Pulau yang paling terkenal dan dikagumi semua orang kala itu. Banyak orang berbondong-bondong dan berlomba-lomba main ke Pulau Tidung. Tak heran, airnya memang masih bersih. Bisa bebas snorkeling sampai tangan keriput.


Tidung!
Dalam perjalanan ini, saya berangkat berlima saat libur semester tiga. Kami memutuskan untuk memakai jasa travel di Jakarta karena memang tidak tau apa-apa. Puas hati ketika kami berhasil tiba di sana. Merasakan pasir pulau Tidung yang tadinya hanya kami lihat di mesin pencari Google.

Meskipun hanya dua hari satu malam kami tinggal di sana, rasanya puas tak terkira. Makan hidangan laut (seafood), tinggal di rumah warga lengkap dengan pendingin udara, disuguhkan pemandangan pulaunya yang indah, bisa snorkeling sebebas-bebasnya dan main sepeda sepuasnya. Sedap!


Selesai dari Pulau Tidung, saya coba menjelajah pantai lagi ketika naik semester enam. Kali itu ke pantai Indrayanti bersama teman-teman yang berbeda. Kebetulan kami sedang merencanakan perjalanan ke Jogjakarta satu minggu lamanya. Pantai Indrayanti-pun jadi tujuan yang tak bisa dibilang tujuan utama. Ke sana tak sengaja. Bertemu pantai yang indah luar biasa. Pasirnya putih, airnya jernih. Hampir dua jam saya bermain di sana. Memang tak berenang dan tak mengambang di atas laut itu, tetapi aktivitas bermain pasir dan air laut, merenung menunggu matahari terbenam, sambil berbicara dan tertawa dengan teman-teman bahkan sahabat, adalah sebuah harta yang tak akan mampu saya beli dimanapun juga. Meskipun semua pantai rasanya sama dan air lautnya serupa, saya tetap akan membagi cinta saya pada pantai yang berbeda-beda. Saya sudah menjadi manusia yang sangat suka mengunjungi pantai-pantai baru yang tak biasa. Apakah ini masih di tataran awal saya menyukai pantai, air laut, dan ombak? Atau sudah masuk tataran mula? Atau bahkan sudah lewat masa awal mula-nya?


Di Pantai Indrayanti
Setelah pantai Indrayanti, beberapa kali saya mengunjungi pantai Anyer-Carita lagi. Beragam teman yang menemani. Pergi sama keluarga juga masih. Tentu, kalian tak boleh heran. Duo pantai Anyer-Carita memang pantai yang paling dekat untuk disambangi. Sayang, airnya sudah tak sejernih dulu lagi ketika saya masih kecil sekali.

Puncak saya mencintai pantai, air laut, dan ombak adalah perjalanan saya yang paling terakhir sebelum saya menulis celotehan ini. Pulau Harapan di Kepulauan Seribu. Meskipun tak ada pantai di sana, saya benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama dengan keindahan lautnya. Sungguh! Jernihnya aduhai di mata. Mata saya dapat melihat apa yang ada di bawah lapisan air laut tersebut. Ketika saya menggunakan perangkat pintar saya untuk mengabadikan gambar lautnya, saya terkagum-kagum sendiri dengan hasilnya. Bukan, bukan karena saya profesional dalam menyalin pemandangan itu ke layar telepon genggam saya, tapi justru keindahan itu yang ingin sekali rasanya mengabadikan diri ke dalam kehidupan saya. Setiap saya melihat jernihnya air laut di Pulau Harapan, saya rindu sekali ingin ke sana lagi.

Pulau Harapan
Perjalanan saya ke Pulau Harapan merupakan perjalanan saya yang agak ’nekat’. Tak menggunakan jasa travel seperti dulu ke Pulau Tidung. Tak memesan penginapan apapun. Bahkan baru memutuskan untuk berangkat adalah dihitung mundur 3 jam dari jadwal keberangkatan kapal di Muara Angke. Saya tak memikirkan sama sekali akan tidur di mana. Yang jelas adalah, saat itu saya benar-benar menginginkan pemandangan pantai, air laut, dan ombak. Saya ingin istirahat sejenak sambil melepaskan beban yang melekat. Rasanya, lega.

Kenekatan saya tak berbuah kemalangan, untungnya. Di kapal, saya bertemu tiga orang yang sudah hafal denah Kepulauan Seribu. Saya dan teman saya waktu itu diajak bermalam bersama dan berlibur bersama. Jumlah kami dari berdua berubah menjadi lima. Saya di ajak melihat keindahan Pulau Dolphin yang tak kalah cantiknya ketika kami melakukan perjalanan bersama. Kami turut melihat matahari terbenam di Pulau Bulat yang tak kalah eloknya.

Pulau Dolphin
Semenjak ini, saya jadi yakin, saya tak lagi di tataran awal dan mula. Saya tak lagi di tataran awal mula. Saya tak lagi di tataran awal atau mula. Saya sudah bermetamorfosis menjadi saya yang menjadi pengagum air laut, pantai, dan ombak. Semua ternyata bermula dari perjalanan pertama saya melihat pantai yang saya lupa kapan persis tepatnya. Saya sudah menjadi orang yang bertekad untuk bisa mengelilingi pulau sebanyak yang saya mampu. Saya ingin sekali menjadi makhluk Tuhan yang beruntung dapat melihat air laut, pantai, dan ombak di berbagai daerah di dunia. Saya ingin memanjakan indra perasa saya ketika saya merendamkan tangan saya di air laut. Saya ingin memandang pantai yang lebih luas dan lebih mengagumkan lagi dengan indra penglihatan yang saya punya. Saya ingin meningkatkan sensitivitas indra pendengaran saya ketika saya menikmati deru suara ombak. Ah, tak banyak yang saya inginkan, bukan? Hanya air laut, pantai, dan ombak. Sudah.

Hari-hari esok ini, saya hanya harus mampu menjadi berani melangkahkan kaki saya demi melihat eloknya pantai, air laut, dan ombak yang dimiliki dunia, terutama di tanah Indonesia. Saya yakin saya bisa. Ya, kita semua bisa.

Jadi, mana bagian Awal Mula – Awal dan Mula – Awal atau Mula saya?


Jawabannya sederhana. Rangkaian cerita singkat ini nyatanya merupakan sang Mula yang membuat saya akhirnya menjadi pengagum sosok pantai. Di kalimat penutup ini, saya menyadari kalau Mula dan Awal akan selalu menjadi Awal dan Mula. Awalnya, saya diajak oleh keluarga saya...dan kemudian cerita berulang dari awal. Mula ini yang akan membawa saya menjadi pengagum setia air laut, pantai, dan ombak. Ya, demikian.

3 comments:

  1. awesome! Goodluck caaaa kiss kissss!

    ReplyDelete
  2. lesgoh lah ke Bali! Makan 1x1 di warteg lah aku sok ridho da kalau sampai jadi mah :')

    ReplyDelete

Thanks for leaving a comment :)