Awal mula. Dua kata yang biasa bersama. Tapi
ternyata katanya berbeda.
Tak soal bagi saya mana yang paling utama. Awal atau mula? Atau bahkan sepasang awal dan mula? Apa malah jangan-jangan mula dahulu baru awal, sehingga menjadi mula awal?
Tak soal bagi saya mana yang paling utama. Awal atau mula? Atau bahkan sepasang awal dan mula? Apa malah jangan-jangan mula dahulu baru awal, sehingga menjadi mula awal?
Cerita ini berkaitan dengan awal dan mula dalam
hidup saya. Saya suka pantai. Tapi itu bukan awal maupun mula. Saya suka laut dan air laut. Tapi itu bukan awal maupun mula.
Saya suka ombak. Tapi, lagi-lagi itu bukan awal maupun mula. Itu semua hanya
akibat dari apa yang saya alami sebagai sebab. Sebab yang mungkin bisa jadi
awal atau mula.
Bagaimana awal mula saya
mencintai pantai, air
laut, dan ombaknya?
Saya tidak dilahirkan di pesisir pantai. Saya
tidak pula dibesarkan di atas kapal nelayan. Saya hanya tumbuh di keluarga yang
sempat menjejalkan saya pemandangan pantai sejak saya duduk di kelas 6 SD. Awalnya,
saya diajak ikut ke pantai Ancol. Tak lama, kami berganti hobi menjadi
pengunjung setia Anyer dan Carita. Hampir satu dua kali dalam satu sampai dua
bulan, saya diajak orang tua saya ke pantai. Pantai Ancol berlanjut ke Pantai
Anyer dan tetangganya, Carita menjadi kunjungan favorit kami. Pernah juga ke
Pantai Parang Tritis ketika saya berada di level yang sama. Kelas 6 SD. Semua dijalankan bersama
keluarga. Senang rasanya.
Beranjak kuliah, sudah bisa bebas kemana-mana.
Saya mulai pergi bersama teman-teman sebaya. Rencana yang tak begitu matang
tapi untungnya terlaksana. Saya lihat pantai lagi. Saya lihat laut lagi. Saya
dengar ombak lagi. Saya pergi ke pulau Tidung. Pulau yang paling terkenal dan
dikagumi semua orang kala itu. Banyak orang berbondong-bondong dan
berlomba-lomba main ke Pulau Tidung. Tak heran, airnya memang masih bersih.
Bisa bebas snorkeling sampai tangan
keriput.
Tidung! |
Dalam
perjalanan ini, saya berangkat
berlima saat libur semester tiga. Kami memutuskan untuk memakai jasa travel di
Jakarta karena memang tidak tau apa-apa. Puas hati ketika kami berhasil tiba di
sana. Merasakan pasir pulau Tidung yang tadinya hanya kami lihat di mesin
pencari Google.
Meskipun hanya dua hari satu malam kami tinggal di
sana, rasanya puas tak terkira. Makan hidangan laut (seafood), tinggal di rumah warga lengkap dengan pendingin udara,
disuguhkan pemandangan pulaunya yang indah, bisa snorkeling sebebas-bebasnya dan main sepeda sepuasnya. Sedap!
Selesai dari Pulau Tidung, saya coba menjelajah
pantai lagi ketika naik semester enam. Kali itu ke pantai Indrayanti bersama
teman-teman yang berbeda. Kebetulan kami sedang merencanakan perjalanan ke
Jogjakarta satu minggu
lamanya. Pantai Indrayanti-pun jadi tujuan yang tak bisa dibilang tujuan utama.
Ke sana tak sengaja. Bertemu pantai yang indah luar biasa. Pasirnya putih, airnya jernih. Hampir dua jam saya bermain di
sana. Memang tak berenang dan tak mengambang di atas laut itu, tetapi aktivitas
bermain pasir dan air laut, merenung menunggu matahari terbenam, sambil
berbicara dan tertawa dengan teman-teman bahkan sahabat, adalah sebuah harta
yang tak akan mampu saya beli dimanapun juga. Meskipun semua pantai rasanya
sama dan air lautnya serupa, saya tetap akan membagi cinta saya pada pantai
yang berbeda-beda. Saya sudah menjadi manusia yang sangat suka mengunjungi
pantai-pantai baru yang tak biasa. Apakah ini masih di tataran awal saya
menyukai pantai, air laut, dan ombak? Atau sudah masuk tataran mula? Atau
bahkan sudah lewat masa awal mula-nya?
Di Pantai Indrayanti |
Setelah pantai Indrayanti, beberapa kali saya
mengunjungi pantai Anyer-Carita lagi. Beragam teman yang menemani. Pergi sama
keluarga juga masih. Tentu, kalian tak boleh heran. Duo pantai Anyer-Carita memang pantai yang paling
dekat untuk disambangi. Sayang, airnya sudah tak sejernih dulu lagi ketika saya
masih kecil sekali.
Puncak saya mencintai pantai, air laut, dan ombak
adalah perjalanan saya yang paling terakhir sebelum saya menulis celotehan ini.
Pulau Harapan di Kepulauan Seribu. Meskipun tak ada pantai di sana, saya
benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama dengan keindahan lautnya. Sungguh!
Jernihnya aduhai di mata. Mata saya dapat melihat apa yang ada di bawah lapisan
air laut tersebut. Ketika saya menggunakan perangkat pintar saya untuk mengabadikan gambar
lautnya, saya terkagum-kagum sendiri dengan hasilnya. Bukan, bukan karena saya
profesional dalam menyalin pemandangan itu ke layar telepon genggam saya, tapi
justru keindahan itu yang ingin sekali rasanya mengabadikan diri ke dalam
kehidupan saya. Setiap saya melihat jernihnya air laut di Pulau Harapan, saya
rindu sekali ingin ke sana lagi.
Pulau Harapan |
Perjalanan
saya ke Pulau Harapan merupakan perjalanan saya yang agak ’nekat’. Tak
menggunakan jasa travel seperti dulu ke Pulau Tidung. Tak memesan penginapan
apapun. Bahkan baru memutuskan untuk berangkat adalah dihitung mundur 3 jam
dari jadwal keberangkatan kapal di Muara Angke. Saya tak memikirkan sama sekali
akan tidur di mana. Yang jelas adalah, saat itu saya benar-benar menginginkan
pemandangan pantai, air laut, dan ombak. Saya ingin istirahat sejenak sambil
melepaskan beban yang melekat. Rasanya, lega.
Kenekatan
saya tak berbuah kemalangan, untungnya. Di kapal, saya bertemu tiga orang yang
sudah hafal denah Kepulauan Seribu. Saya dan teman saya waktu itu diajak
bermalam bersama dan berlibur bersama. Jumlah kami dari berdua berubah menjadi
lima. Saya di ajak melihat keindahan Pulau Dolphin yang tak kalah cantiknya
ketika kami melakukan perjalanan bersama. Kami turut melihat matahari terbenam
di Pulau Bulat yang tak kalah eloknya.
Pulau Dolphin |
Semenjak ini,
saya jadi yakin, saya tak lagi di tataran awal dan mula. Saya tak lagi di
tataran awal mula. Saya tak lagi di tataran awal atau mula. Saya sudah
bermetamorfosis menjadi saya yang menjadi pengagum air laut, pantai, dan ombak.
Semua ternyata bermula dari perjalanan pertama saya melihat pantai yang saya
lupa kapan persis tepatnya. Saya sudah menjadi orang yang bertekad untuk bisa
mengelilingi pulau sebanyak yang saya mampu. Saya ingin sekali menjadi makhluk
Tuhan yang beruntung dapat melihat air laut, pantai, dan ombak di berbagai
daerah di dunia. Saya ingin memanjakan indra perasa saya ketika saya
merendamkan tangan saya di air laut. Saya ingin memandang pantai yang lebih luas
dan lebih mengagumkan lagi dengan indra penglihatan yang saya punya. Saya ingin
meningkatkan sensitivitas indra pendengaran saya ketika saya menikmati deru
suara ombak. Ah, tak banyak yang saya inginkan, bukan? Hanya air laut, pantai,
dan ombak. Sudah.
Hari-hari
esok ini, saya hanya harus mampu menjadi berani melangkahkan kaki saya demi
melihat eloknya pantai, air laut, dan ombak yang dimiliki dunia, terutama di
tanah Indonesia. Saya yakin saya bisa. Ya, kita semua bisa.
Jadi, mana bagian Awal
Mula – Awal dan Mula – Awal atau Mula saya?
Jawabannya sederhana.
Rangkaian cerita singkat ini nyatanya merupakan sang Mula yang membuat saya
akhirnya menjadi pengagum sosok pantai. Di kalimat penutup ini, saya menyadari
kalau Mula dan Awal akan selalu menjadi Awal dan Mula. Awalnya, saya diajak
oleh keluarga saya...dan kemudian cerita berulang dari awal. Mula ini yang
akan membawa saya menjadi pengagum setia air laut, pantai, dan ombak. Ya, demikian.
awesome! Goodluck caaaa kiss kissss!
ReplyDeletemakasih pinuuull :*
Deletelesgoh lah ke Bali! Makan 1x1 di warteg lah aku sok ridho da kalau sampai jadi mah :')
ReplyDelete