Sulit sekali menjadi baik. Blubard blubard blubard. Blaburd blaburd. Blubard.
Demonstran yang berdemo, yang berunjuk rasa, kini tak lagi mencari baik. Mereka mencari menang. Lalu di manakah baik?
Barangkali itu secuil pesan yang dapat saya cerna setelah berkesempatan menonton pentas Teater Koma yang ke -131.
Ceritanya penuh kritik. Begitu yang saya kira. Siapa lagi yang dikritik kalau bukan pemegang kuasa yang dulu pada zamannya muda, sempat berjuang menggulingkan penguasa? Yang sekarang banyak harta, memegang tahta, dan tak kenal apa itu rakyat biasa?
Niken, Wiluta, dan Jiran, tiga tokoh pengikut Topan, mantan demonstran pun menanyakan hal tersebut.
Mereka bertiga adalah manusia-manusia yang sudah tua, namun masih punya semangat memperjuangkan hak-hak dan suara rakyat. Tetapi, mereka sendiri akhirnya sadar bahwa mereka tidak tahu rakyat mana yang mereka harus perjuangkan. Mana yang bisa mereka sebut sebagai rakyat sejati. Yang terlihat hanya rakyat. Sejatinya entah bersembunyi di mana.
Kita sendiri tergolong rakyat seperti apa ya di zaman sekarang?
Kisah sang demonstran.
Saya hampir lupa memperkenalkan Topan. Tokoh yang diperankan Budi Ros ini sangat penting dalam perjalanan cerita Demonstran. Topan, sang Demonstran, diceritakan pernah memimpin barisan paling depan dalam menggulingkan pemerintahan duapuluh tahun silam. Berhasil nyatanya. Perjuangannya dielukan di mana-mana. Bahkan, setiap tahun, rekonstruksi gerakan Topan selalu ditampilkan ulang. Tidak ketinggalan, patung Topan serta para rekan dihadiahkan oleh seorang jenderal, (eh atau pejabat?) bernama Pejabat-T. Sungguh hebat bukan seorang Topan itu?
Lalu, di mana Topan sekarang?
Menikmati adegan.
Pertanyaan tadi dijawab oleh adegan demi adegan selama hampir empat jam. Topan kini menjadi pedagang. Punya banyak uang. Sukses dan kaya raya. Istrinya yang cantik, dulu merupakan rekan sesama demonstran. Sama-sama berjuang hingga mencapai titik yang sekarang. Hal ini rasanya memuat pesan yang cukup miris dan membuat saya sedikit berpikir.
Tentang pikiran.
Pejuang kita yang dulu punya semangat berapi-api, perginya kemana, ya? Untuk apa dulu mereka berjuang? Apakah demi posisi yang mereka nikmati sekarang? Mungkin saya juga tidak tau jawabannya, karena kalau tidak salah, kala itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Masih lugu. Tidak mengerti apa-apa.
Secara lugas, namun tetap sedikit tersirat, Demonstran ingin mencari, menemukan, dan (kalau bisa dibilang) menuntut para ex-demonstran yang seolah menutup mata pada keadaan linglung dan bingung sekarang.
Keadaan dimana siapapun bisa punya kuasa asal ada harta. Siapapun bisa dapat tahta meski otak tak ada.
Mungkin ada ex-demonstran setia yang tersisa, tapi, apakah saat ini masih merupakan waktu mereka untuk berkata-kata. Yang muda kemana?
Yang muda, ya digambarkan sebagai tokoh yang berjuang untuk menang, bukan untuk bergerak ke arah yang lebih baik dan tenang.
Sosok Topan di zaman panik zaman bingung ini masih dalam pencarian.
(Mungkin) belum ditemukan.
Salah kesimpulan.
Topan akhirnya kembali mau turun. Ketika pikirannya terbuka, nalurinya berkata, ia segera mengambil tindakan. Melaksanakan apa yang ia rasakan benar. Tapi, Topan sungguh malang. Nyawanya hilang.
Hilang nyawa Topan akibat tak ada keadilan.
Sedikit kembali ke awal cerita, Demonstran ingin membuat kita mencari lagi di mana sosok 'keadilan' sedang bersembunyi? Sadarkah kita kalau sosok keadilan sudah hampir lenyap? Ya, seperti yang dilihat dan dialami sendiri saja. Masih adakah keadilan?
Penutup.
Saya hanya penonton biasa yang setelah berkata-kata lewat tulisan, ingin mengucapkan selamat bagi sutradara dan pementas. Tak lupa juga pada penikmat yang mau mencoba 'melihat'. Great job! :)
No comments:
Post a Comment
Thanks for leaving a comment :)